Jumat, November 22, 2024
30.8 C
Palangkaraya

Penyandang Disabilitas yang Enggan Menyerah dengan Keadaan (6)

Mulyansah dan Risnawati Buka Layanan Pijet Kesehatan

Keterbatasan bukan halangan bagi pasangan suami istri Mulyansah dan Risnawati. Pasangan suami istri itu pernah mengalami momen-momen sulit. Tapi, keduanya saling menguatkan dan berhasil bangkit.

 

MUTOHAROH, Palangka Raya

 

MULYANSAH tinggal bersama istri dan anaknya  di rumah Jalan RTA Milono Km 6,5, Palangka Raya. Rumah yang tidak begitu besar. Terpampang spanduk berisikan informasi pijat tunanetra lengkap dengan foto istrinya Risnawati di depan rumah. Tukang pijat. Itulah profesi Mulyansah bersama Risnawati. Setiap kali ada yang ingin menggunakan jasa pijatnya, pria yang sudah berusia 43 tahun itu selalu dipanggil untuk datang ke rumah pelanggan dengan diantar oleh keluarga atau dijemput oleh pelanggannya.

Pria asal Desa Muara Pulau, Kecamatan Tabukan, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan itu terlahir normal. Namun, pria kelahiran 1980 itu terkena penyakit mata yang disebut orang sekitar dengan nama putik atau tumbuh benjolan pada kedua matanya. Tidak pernah ke rumah sakit. Sampai pada akhirnya benjolan itu pecah dan berakibat tidak bisa melihat lagi.

Ketika orang tua Mulyansah meninggal, sang neneklah yang merawatnya dengan penuh kasih sayang, sampai pada usia  20 tahun pihak Panti Fajar Harapan yang merupakan panti orang berkebutuhan khusus itu datang ke rumahnya. Memberikan saran agar anak kedua dari empat bersaudara itu dibawa ke panti khusus disabilitas yang terletak di Martapura.

Baca Juga :  Satpol PP Bersama DWP Berbagi Kasih

 

Menginjak usia remaja, beratnya kehidupan mulai dirasakan. Mulyansyah sempat berfikir untuk mengakhiri hidup karena merasa minder dengan keadaan dirinya. Titik balik itu datang ketika mengikuti pelatihan bagi disabilitas di Bandung. Di sana pria yang sudah bekerja selama 15 tahun sebagai tukang pijat itu pun bertemu dengan orang yang juga memiliki kekurangan sepertinya.

“Semangat hidup saya muncul kembali. Saya berkembang menjadi orang yang lebih baik,”ujarnya kepada Kalteng Pos.

Mulyansah piawai dalam memijat. Lihai membaca buku braille dan cara menulisnya. Buku braille merupakan buku khusus untuk tunanetra. Selesai pelatihan disabilitas pada tahun 2008, Mulyansah memutuskan untuk kembali ke Palangka Raya dan mulai membuka jasa klinik pijat kesehatan.

Pada tahun 2010, Mulyansah menikah dengan Risnawati yang juga merupakan penyandang tunanetra. Pertentangan pihak keluarga tentu terjadi. Orang tua selalu ingin anaknya mendapatkan pasangan yang baik juga dan bisa melengkapi kekurangannya.

Pernikahan sesama tunanetra dikhawatirkan tidak bisa berjalan dengan baik karena memiliki kekurangan yang sama. Namun hal itu tidak terbukti, 12 tahun sudah usia pernikahan dan kini sudah memiliki dua orang anak yang tidak ada kekurangan apa pun.

Tahun 2011 organisasi Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Provinsi Kalimantan Tengah itu terbentuk, yang dikarenakan rasa prihatin Mulyansah kepada tunanetra yang ada di Kalteng. Jika dibandingkan dengan provinsi lain ada yang juga memiliki Pertuni ini seperti Kaltim, Kalsel dan pusatnya Jakarta. Tidak banyak yang bergabung untuk daerah Palangka Raya. Hanya sekitar 10 orang. Tidak hanya sekedar orang organisasi saja, Pertuni Kalteng juga kerap melakukan kegiatan pelatihan keterampilan, bagi para penyandang disabilitas untuk meningkatkan kemampuan juga bersilaturahmi antarsesama. 10 tahun sudah Mulyansah menjadi penggagas sekaligus ketua pertama dari Pertuni Kalteng dan kini dilanjutkan oleh istrinya.

Baca Juga :  Hujan Turun saat Peresmian meski Cuaca Terang

Mulyansah kerap bertemu dengan beberapa pejabat pemerintah salah satunya wali Kota Palangka Raya Fairid Naparin, untuk menyampaikan aspirasi dari penyandang disabilitas. Pemerintah tentu menyambung baik hal itu, salah satu halnya yang hingga saat ini masih terus diperjuangkan ialah BPJS ketenagakerjaan kategori non penerima upah bagi 50 orang disabilitas yang ada di Palangka Raya.

Dengan adanya BPJS ketenagakerjaan diharapkan para disabilitas yang bekerja di jalan dapat mendapatkan penanganan medis yang dijamin serta asuransi yang dapat dicairkan.

“Dari Albert Einstein saya belajar, meski memiliki kekurangan namun bisa membuat peradapan dunia, jadi jika dia yang memiliki kekurangan namun bisa membawa perubahan kenapa tidak dengan kita yang sesama memiliki kekurangan, dari situ saya termotivasi untuk setidaknya bisa membantu para disabilitas lainnya agar tidak minder dan khawatir lagi saat bekerja,”terangnya.(ram)

 

Keterbatasan bukan halangan bagi pasangan suami istri Mulyansah dan Risnawati. Pasangan suami istri itu pernah mengalami momen-momen sulit. Tapi, keduanya saling menguatkan dan berhasil bangkit.

 

MUTOHAROH, Palangka Raya

 

MULYANSAH tinggal bersama istri dan anaknya  di rumah Jalan RTA Milono Km 6,5, Palangka Raya. Rumah yang tidak begitu besar. Terpampang spanduk berisikan informasi pijat tunanetra lengkap dengan foto istrinya Risnawati di depan rumah. Tukang pijat. Itulah profesi Mulyansah bersama Risnawati. Setiap kali ada yang ingin menggunakan jasa pijatnya, pria yang sudah berusia 43 tahun itu selalu dipanggil untuk datang ke rumah pelanggan dengan diantar oleh keluarga atau dijemput oleh pelanggannya.

Pria asal Desa Muara Pulau, Kecamatan Tabukan, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan itu terlahir normal. Namun, pria kelahiran 1980 itu terkena penyakit mata yang disebut orang sekitar dengan nama putik atau tumbuh benjolan pada kedua matanya. Tidak pernah ke rumah sakit. Sampai pada akhirnya benjolan itu pecah dan berakibat tidak bisa melihat lagi.

Ketika orang tua Mulyansah meninggal, sang neneklah yang merawatnya dengan penuh kasih sayang, sampai pada usia  20 tahun pihak Panti Fajar Harapan yang merupakan panti orang berkebutuhan khusus itu datang ke rumahnya. Memberikan saran agar anak kedua dari empat bersaudara itu dibawa ke panti khusus disabilitas yang terletak di Martapura.

Baca Juga :  Satpol PP Bersama DWP Berbagi Kasih

 

Menginjak usia remaja, beratnya kehidupan mulai dirasakan. Mulyansyah sempat berfikir untuk mengakhiri hidup karena merasa minder dengan keadaan dirinya. Titik balik itu datang ketika mengikuti pelatihan bagi disabilitas di Bandung. Di sana pria yang sudah bekerja selama 15 tahun sebagai tukang pijat itu pun bertemu dengan orang yang juga memiliki kekurangan sepertinya.

“Semangat hidup saya muncul kembali. Saya berkembang menjadi orang yang lebih baik,”ujarnya kepada Kalteng Pos.

Mulyansah piawai dalam memijat. Lihai membaca buku braille dan cara menulisnya. Buku braille merupakan buku khusus untuk tunanetra. Selesai pelatihan disabilitas pada tahun 2008, Mulyansah memutuskan untuk kembali ke Palangka Raya dan mulai membuka jasa klinik pijat kesehatan.

Pada tahun 2010, Mulyansah menikah dengan Risnawati yang juga merupakan penyandang tunanetra. Pertentangan pihak keluarga tentu terjadi. Orang tua selalu ingin anaknya mendapatkan pasangan yang baik juga dan bisa melengkapi kekurangannya.

Pernikahan sesama tunanetra dikhawatirkan tidak bisa berjalan dengan baik karena memiliki kekurangan yang sama. Namun hal itu tidak terbukti, 12 tahun sudah usia pernikahan dan kini sudah memiliki dua orang anak yang tidak ada kekurangan apa pun.

Tahun 2011 organisasi Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Provinsi Kalimantan Tengah itu terbentuk, yang dikarenakan rasa prihatin Mulyansah kepada tunanetra yang ada di Kalteng. Jika dibandingkan dengan provinsi lain ada yang juga memiliki Pertuni ini seperti Kaltim, Kalsel dan pusatnya Jakarta. Tidak banyak yang bergabung untuk daerah Palangka Raya. Hanya sekitar 10 orang. Tidak hanya sekedar orang organisasi saja, Pertuni Kalteng juga kerap melakukan kegiatan pelatihan keterampilan, bagi para penyandang disabilitas untuk meningkatkan kemampuan juga bersilaturahmi antarsesama. 10 tahun sudah Mulyansah menjadi penggagas sekaligus ketua pertama dari Pertuni Kalteng dan kini dilanjutkan oleh istrinya.

Baca Juga :  Hujan Turun saat Peresmian meski Cuaca Terang

Mulyansah kerap bertemu dengan beberapa pejabat pemerintah salah satunya wali Kota Palangka Raya Fairid Naparin, untuk menyampaikan aspirasi dari penyandang disabilitas. Pemerintah tentu menyambung baik hal itu, salah satu halnya yang hingga saat ini masih terus diperjuangkan ialah BPJS ketenagakerjaan kategori non penerima upah bagi 50 orang disabilitas yang ada di Palangka Raya.

Dengan adanya BPJS ketenagakerjaan diharapkan para disabilitas yang bekerja di jalan dapat mendapatkan penanganan medis yang dijamin serta asuransi yang dapat dicairkan.

“Dari Albert Einstein saya belajar, meski memiliki kekurangan namun bisa membuat peradapan dunia, jadi jika dia yang memiliki kekurangan namun bisa membawa perubahan kenapa tidak dengan kita yang sesama memiliki kekurangan, dari situ saya termotivasi untuk setidaknya bisa membantu para disabilitas lainnya agar tidak minder dan khawatir lagi saat bekerja,”terangnya.(ram)

 

Artikel sebelumnya
Artikel selanjutnya

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/