PALANGKA RAYA-Kasus kriminalisasi akibat konflik agraria di Kalteng marak terjadi. Fenomena ini lazim terjadi antara perusahaan dan masyarakat. Keadaan ini banyak dipicu oleh tidak sinkronnya pembagian keuntungan antara perusahaan yang mengelola lahan dan masyarakat yang tinggal di lokasi setempat. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata.
“Kami telah mendokumentasikan kasus-kasus kriminalisasi ini sejak 2007 sampai 2023, memang kalau dilihat-lihat, jumlah kejadian kriminalisasi di Kalteng itu terjadi peningkatan yang cukup tinggi,” jelas Bayu kepada Kalteng Pos, Selasa (20/6).
Bayu mengatakan, salah satu hal yang memicu munculnya konflik agraria yang berujung pada dugaan kriminalisasi itu adalah seperti sengketa pembagian plasma perkebunan kelapa sawit.
“Kebijakan seperti pembagian plasma itu merupakan salah satu pemantik aksi-aksi masyarakat di lapangan. Baik itu klaim maupun tuntutan untuk realisasi program plasma itu sendiri, jika tidak segera diselesaikan masalah ini akan terus terjadi,” ungkapnya.
Bayu mengatakan, pola kriminalisasi oleh perusahaan terhadap masyarakat itu memiliki pola-pola tertentu. Pada umumnya, lanjut Bayu, kasus ini terjadi dengan upaya oleh suatu perusahaan untuk mempidanakan orang atau masyarakat berdasarkan kesalahan yang sudah dicari-cari atau bahkan dibuat-buat.
“Contoh paling banyak adalah pelaporan yang dilakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat yang menduduki, mengklaim, atau melakukan kegiatan di atas lahan yang sedang berkonflik, ini menjadi indikator kuat kriminalisasi itu dilakukan,” jelasnya.
Sampai saat ini, lanjut Bayu, kasus kriminalisasi yang terjadi kepada masyarakat banyak dilakukan oleh perusahaan besar swasta (PBS) yang bergerak di bidang perkebunan dan pertambangan.
“Yang paling banyak terjadi kriminalisasi terhadap masyarakat dari catatan kami adalah sektor perkebunan, karena kita dapat melihat sektor perkebunan ini yang paling banyak konflik, baik dari sisi izin maupun penguasaan lahan,” tuturnya.
Bayu menjelaskan, berdasarkan pengamatan pihaknya, selama empat tahun terakhir angka kriminalisasi di Kalteng terus meninggi. Sebab, lanjut Bayu, berdasarkan kondisi di lapangan sudah banyak sekali kasus-kasus yang tidak diselesaikan oleh pemerintah maupun perusahaan terkait konflik lahan tersebut.
“Konflik lahan itu mulai muncul lagi ke permukaan seiring dengan maraknya isu-isu yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban yang harus diberikan oleh pihak perusahaan kepada masyarakat, salah satunya adalah kemitraan atau plasma tadi,” jelasnya.
Menurut Bayu, motif-motif yang mendasari terjadinya kriminalisasi terhadap masyarakat adalah keinginan atau upaya dari pihak perusahaan untuk melakukan pelemahan terhadap upaya-upaya masyarakat yang tengah berjuang untuk mempertahankan tanahnya atau merebut kembali hak atas tanahnya yang diserobot oleh pihak perusahaan.
“Kriminalisasi itu kebanyakan memang dijadikan alat untuk melemahkan masyarakat dalam perjuangan-perjuangan yang mereka lakukan,” tuturnya.
Kriminalisasi terhadap masyarakat oleh pihak perusahaan, lanjut Bayu, memiliki pola-pola umum. Kebanyakan dipicu oleh konflik yang terjadi. Menurut Bayu, konflik-konflik lahan yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan dalam beberapa kasus kadang sengaja dibiarkan berkepanjangan sehingga masyarakat dapat mencapai titik jenuh.
“Masa-masa titik jenuh itulah yang kemudian ditunggu oleh perusahaan. Karena menunggu terlalu lama dan tidak ada kepastian akan hak atas tanah, maka masyarakat terdesak untuk mengelola atau memanfaatkan lahan yang sengketa tadi, inilah yang menjadi pintu awal perusahaan melakukan kriminalisasi dengan melakukan pelaporan ke pihak keamanan atau aparat kepolisian,” jelas Bayu.
Untuk membantu agar masyarakat yang tengah berkonflik terhindar dari potensi mendapat kriminalisasi tersebut, Bayu mengatakan pihaknya sudah sering menyampaikan kepada masyarakat bahwa upaya-upaya yang berpotensi terdapat celah hukum bagi perusahaan untuk mempidanakan masyarakat seharusnya dilihat, dipahami, lantas dihindari.
“Jelas bahwa upaya ini dilakukan untuk meminimalkan potensi-potensi kriminalisasi, lagi-lagi semuanya itu pilihan atau strategi dalam penyelesaian konflik,” tandasnya. (dan/ala)