PALANGKA RAYA-Sidang praperadilan kasus dugaan penyalahgunaan dana hibah Komite Olahraga Nasional (KONI) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) yang melibatkan Ketua KONI Kotim Akhyar Umar dan Bendahara Bani Purwoko digelar kembali. Tim kuasa hukum termohon menghadirkan dua saksi pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya, Senin (29/7/2024).
Dua saksi yang dihadirkan adalah saksi fakta pertama bernama Yusuf (salah satu staf KONI Kotim) dan saksi fakta kedua bernama Eka (istri Akhyar Umar).
Dalam pernyataan saksi fakta pertama, saat penggeledahan yang dilakukan oleh tim penyidik Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah dan Polisi Militer (PM) di KONI Kotim beberapa waktu lalu, Yusuf merupakan satu-satunya orang yang sedang berada di kantor itu. Ia mengaku diminta menunjukkan KTP tanpa alasan. Bahkan tak ada secarcik kertas yang ditunjukkan petugas mengenai penggeledahan.
“Tidak ada RT yang mendampingi. Saya juga disuruh untuk tanda tangan surat penyitaan. Padahal saya hanyalah staf biasa,” katanya saat diajukan pertanyaan oleh tim kuasa hukum termohon.
Saat tim datang, hanya Yusuf sendiri yang berada di kantor. Kemudian datang Bani Purwoko dan Roni setelah diteleponnya. Penggeledahan dimulai pukul 09.00 hingga 18.00 WIB. Saat itu Yusuf mengatakan tidak mengetahui keberadaan Akhyar Umar. Bahkan setelah kejadian itu, Yusuf tetap bekerja seperti biasa. Selama bekerja di KONI Kotim sampai saat ini, Yusuf tidak pernah menerima surat perintah terkait penahanan terhadap Akhyar maupun Bani, padahal sehari-hari ia selalu ngantor.
Setelah saksi fakta pertama memberi keterangan, dilanjutkan dengan agenda mendengarkan saksi fakta kedua, yakni Eka yang merupakan istri Akhyar Umar. Sebagai seorang istri, Eka mengaku mengetahui perihal penggeledahan Kantor KONI Kotim usai dihubungi rekan kerja sang suami.
Eka juga menceritakan pengalamannya saat pihak kejaksaan dan PM mendatangi rumahnya dengan didampingi ketua rukun tetangga (RT) setempat.
“Ada petugas dari kejaksaan dan PM datang ke rumah, didampingi oleh pak RT. Mereka menanyakan keberadaan suami saya. Saya dibilang bohong dan menyembunyikan suami. Lalu saya mempersilakan mereka masuk rumah untuk membuktikan, karena memang suami saya tidak berada di rumah,” kata Eka.
Eka menjelaskan, saat itu sudah satu minggu dirinya putus komunikasi dengan suami. Terakhir kali berkomunikasi, Akhyar memberitahukan bahwa dirinya sedang berada di Jakarta. Itu sekitar bulan Mei.
Setelah kunjungan pertama, pihak kejaksaan dan PM kembali lagi satu jam kemudian untuk meminta Eka membubuhi tanda tangan pada tiga lembar surat pernyataan bahwa petugas telah mendatangi rumahnya. “Mereka memberikan surat panggilan pertama, lalu kedua, dan yang ketiga datang ke rumah bersama polisi,” ujarnya.
Eka juga menyatakan bahwa sejak penahanan Akhyar, ia belum pernah bertemu atau menjenguk suaminya itu di rutan. “Saya tahu soal penahanan suami saya dari pemberitaan media sosial,” ungkapnya.
Menurut Eka, sebelum surat panggilan diberikan, Akhyar belum sempat pulang ke rumah, karena biasanya ia memang sering bepergian untuk urusan kerja.
“Sampai sekarang saya belum ketemu. Dia memang ada bertanya ke saya waktu itu, apakah ada surat mengenai saya? Takutnya ada diantar ke rumah. Saya bilang ada. Tetapi mengenai surat penahanan suami saya, saya tidak pernah menerima sampai sekarang,” ucapnya.
Pada sidang praperadilan kemarin, Mahdianoor selaku ketua tim kuasa hukum tersangka menyampaikan bahwa proses pemeriksaan saksi telah selesai. Ia mengatakan, timnya menghadirkan dua saksi fakta dan dua saksi ahli untuk memberikan kesaksian terkait penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan petugas tanpa prosedur yang jelas.
Mahdianoor mengungkapkan, saat penggeledahan di Kantor KONI Kotim, tidak ada tokoh masyarakat yang mendampingi. Hal ini membuat pihak-pihak yang berada di lokasi sempat terkejut, karena tidak ada pemberitahuan atau surat tugas yang ditunjukkan oleh petugas yang melakukan penggeledahan dan penyitaan.
“Surat tugas maupun surat penetapan penyitaan dari pengadilan tidak ada. Mereka melakukan tindakan tersebut tanpa menunjukkan surat apa pun,” ujar Mahdianoor.
Ia menambahkan, saat ini muncul surat-surat yang tidak diketahui oleh klien maupun saksi terkait. Menurut informasi yang diterima tim kuasa hukum, tidak ada surat penetapan tersangka yang diterima.
“Surat penetapan sebagai tersangka tidak ada. Kami pun mempertanyakan keberadaan surat itu, karena berdasarkan informasi dari klien kami, tidak ada surat penahanan yang diterima pihak keluarga, termasuk istri dari termohon satu,” tuturnya.
Sidang praperadilan itu, menurut Mahdianoor, merupakan kesempatan untuk menunjukkan ketidaktransparanan proses penangkapan dan penahanan terhadap kliennya yang dianggap tidak prosedural. Ia meyakini saksi-saksi yang dihadirkan bisa membuktikan perlakuan tidak adil dalam masalah ini dan tidak adanya pemberitahuan hak-hak sebagai tersangka.
Mahdianoor dan timnya optimistis ada peluang besar untuk memenangkan kasus ini. Ia menekankan bahwa ada perbedaan antara surat penetapan tersangka dan surat penyidikan yang akan diuji keabsahannya.
“Kami berharap klien kami dibebaskan dari kasus ini, karena kami menilai prosedur yang dijalankan terlalu prematur,” pungkasnya. (ovi/ce/ala)