Jumat, September 20, 2024
32 C
Palangkaraya

Ketika Kalteng Dijadikan Salah Satu Lumbung Pangan Nasional

Pegiat Lingkungan Ingatkan Pemerintah Adopsi Sistem Pertanian Tradisional

 

PEGIAT lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng menyarankan pemerintah mengakui pola pertanian tradisional masyarakat Kalimantan Tengah (Kalteng), yang pada gilirannya akan berdampak menciptakan ketahanan pangan itu sendiri.

Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata mengatakan, rencana pemerintah untuk memperluas cetak sawah baru di Indonesia, yang teridentifikasi 900 hektare (ha) hingga 1 juta hektare, hanya akan memperparah krisis ekologis di wilayah ini.

“Dapat dibilang eksploitasi SDA oleh industri di wilayah Kalteng masih masif. Dengan adanya program cetak sawah ini, tentu akan makin memperparah kerusakan lingkungan karena proyek-proyek pemerintah, seperti optimalisasi lahan,” kata Bayu Herinata kepada Kalteng Pos, Kamis (19/9).

Bayu menjelaskan, program cetak sawah baru pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi lingkungan, khususnya wilayah-wilayah yang nanti akan dibuka. Baik itu kawasan hutan atau ekosistem gambut yang menjadi lokasi cetak sawah baru.

“Menurut kami ini merupakan suatu konsep atau upaya keliru dalam melihat akar masalah atau hal yang dapat dilakukan untuk menjawab masalah yang ada tadi,” jelasnya.

Dalam konteks Kalteng, ujar Bayu, produksi pangan dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan daerah tidak tepat dilakukan dengan konsep proyek yang digelontorkan pemerintah pusat itu. Sebab, tidak sesuai dengan kondisi masyarakat di Kalteng, khususnya petani tradisional yang sehari-harinya memenuhi kebutuhan pangan dengan berladang.

“Wilayah-wilayah yang akan menjadi sentra produksi pertanian seperti Pulang Pisau, Palangka Raya, Kapuas, Barito Selatan, ataupun Katingan, wilayah-wilayah itu kan sangat rentan kalau dilakukan aktivitas eksploitasi, karena kawasan hutan dan ekosistem gambutnya sudah sangat menurun,” ujarnya.

Baca Juga :  PT Korindo Salurkan Paket Sembako dan Kayu

Menurunnya, kualitas daya tampung dan daya dukung lingkungan di wilayah-wilayah tersebut sudah menurun karena mengalami kerusakan, imbas banyaknya industri atau perizinan-perizinan yang diberikan di wilayah itu.

“Ini hanya akan menambah kerusakan lingkungan yang terjadi, sehingga dampaknya cenderung lebih banyak merugikan, khususnya untuk masyarakat itu sendiri, karena banyak dampak turunan seperti bencana alam, kesehatan, dan ekonomi,” tuturnya.

Lebih lanjut Bayu menjelaskan, sejak awal pihaknya secara tegas menolak proyek-proyek ketahanan pangan yang dilakukan pemerintah dengan konsep pembukaan lahan skala besar melalui konversi hutan dan gambut secara luas. Cara itu dinilai tidak tepat jika melihat konteks pemenuhan pangan masyarakat. Oleh karena itu, ia menyarankan agar proyek yang akan dijalankan dibatalkan, dan yang sudah berjalan dihentikan.

“Yang penting adalah memastikan terkait pengakuan dan perlindungan sistem pertanian tradisional, sistem produksi pangan yang ada di Kalteng sendiri, karena ini terbukti bisa menyesuaikan kondisi sosial masyarakat,” katanya.

Menurut Bayu, pemerintah dapat mengadopsi konsep pertanian tradisional untuk mencapai target swasembada pangan, tanpa harus mengonversi hutan dalam skala besar. Masalah-masalah yang terjadi akhir-akhir ini juga menunjukkan makin sedikitnya lahan-lahan produktif yang tersisa, karena sudah banyak terkonversi menjadi areal industri perkebunan skala luas oleh perusahaan besar swasta.

Baca Juga :  Pemda Harus Bantu Petani Untuk Terus Berkembang

“Dengan wacana Kalteng akan membuka lahan cetak sawah baru seluas satu juta hektare, maka potensi kerusakan lingkungan akan makin besar ke depan di tengah kondisi Kalteng yang sudah darurat ekologis,” tegasnya.

Tak hanya itu, ia juga melihat adanya potensi konflik sosial dengan masyarakat adat, karena wilayah hutan dan lahan mereka berpotensi akan diambil untuk dijadikan lahan persawahan dalam proyek pangan itu. Karena areal yang akan dijadikan lahan cetak sawah baru, potensi atau indikasinya hanya tersisa dari kawasan hutan atau dari kawasan gambut untuk oplah-nya.

“Hal tersebut menjadi indikator kuat bahwa ke depan akan makin menuru fungsi lingkungan dari kawasan-kawasan tersebut, yang mana akan berdampak pada terjadinya bencana yang makin meluas dan berdampak pada sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat,” tuturnya.

Model pemenuhan pangan sampai kepada ketahanan pangan yang dibuat pemerintah melalui sistem produksi pangan skala luas dan monokultur, menurut Bayu tidak tepat dengan kondisi lingkungan dan sosial masyarakat Kalteng.

“Yang bisa dilakukan adalah melindungi dan mendukung sistem pertanian lokal dan diversifikasi pangan yang sudah dilakukan oleh masyarakat,” ungkapnya seraya menekankan pentingnya perlindungan lahan dari konversi untuk industri ekstraktif dan dukungan terhadap praktik pola pertanian lokal masyarakat Kalteng. (*/ce/ala)

 

PEGIAT lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalteng menyarankan pemerintah mengakui pola pertanian tradisional masyarakat Kalimantan Tengah (Kalteng), yang pada gilirannya akan berdampak menciptakan ketahanan pangan itu sendiri.

Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata mengatakan, rencana pemerintah untuk memperluas cetak sawah baru di Indonesia, yang teridentifikasi 900 hektare (ha) hingga 1 juta hektare, hanya akan memperparah krisis ekologis di wilayah ini.

“Dapat dibilang eksploitasi SDA oleh industri di wilayah Kalteng masih masif. Dengan adanya program cetak sawah ini, tentu akan makin memperparah kerusakan lingkungan karena proyek-proyek pemerintah, seperti optimalisasi lahan,” kata Bayu Herinata kepada Kalteng Pos, Kamis (19/9).

Bayu menjelaskan, program cetak sawah baru pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi lingkungan, khususnya wilayah-wilayah yang nanti akan dibuka. Baik itu kawasan hutan atau ekosistem gambut yang menjadi lokasi cetak sawah baru.

“Menurut kami ini merupakan suatu konsep atau upaya keliru dalam melihat akar masalah atau hal yang dapat dilakukan untuk menjawab masalah yang ada tadi,” jelasnya.

Dalam konteks Kalteng, ujar Bayu, produksi pangan dan pertanian untuk memenuhi kebutuhan daerah tidak tepat dilakukan dengan konsep proyek yang digelontorkan pemerintah pusat itu. Sebab, tidak sesuai dengan kondisi masyarakat di Kalteng, khususnya petani tradisional yang sehari-harinya memenuhi kebutuhan pangan dengan berladang.

“Wilayah-wilayah yang akan menjadi sentra produksi pertanian seperti Pulang Pisau, Palangka Raya, Kapuas, Barito Selatan, ataupun Katingan, wilayah-wilayah itu kan sangat rentan kalau dilakukan aktivitas eksploitasi, karena kawasan hutan dan ekosistem gambutnya sudah sangat menurun,” ujarnya.

Baca Juga :  PT Korindo Salurkan Paket Sembako dan Kayu

Menurunnya, kualitas daya tampung dan daya dukung lingkungan di wilayah-wilayah tersebut sudah menurun karena mengalami kerusakan, imbas banyaknya industri atau perizinan-perizinan yang diberikan di wilayah itu.

“Ini hanya akan menambah kerusakan lingkungan yang terjadi, sehingga dampaknya cenderung lebih banyak merugikan, khususnya untuk masyarakat itu sendiri, karena banyak dampak turunan seperti bencana alam, kesehatan, dan ekonomi,” tuturnya.

Lebih lanjut Bayu menjelaskan, sejak awal pihaknya secara tegas menolak proyek-proyek ketahanan pangan yang dilakukan pemerintah dengan konsep pembukaan lahan skala besar melalui konversi hutan dan gambut secara luas. Cara itu dinilai tidak tepat jika melihat konteks pemenuhan pangan masyarakat. Oleh karena itu, ia menyarankan agar proyek yang akan dijalankan dibatalkan, dan yang sudah berjalan dihentikan.

“Yang penting adalah memastikan terkait pengakuan dan perlindungan sistem pertanian tradisional, sistem produksi pangan yang ada di Kalteng sendiri, karena ini terbukti bisa menyesuaikan kondisi sosial masyarakat,” katanya.

Menurut Bayu, pemerintah dapat mengadopsi konsep pertanian tradisional untuk mencapai target swasembada pangan, tanpa harus mengonversi hutan dalam skala besar. Masalah-masalah yang terjadi akhir-akhir ini juga menunjukkan makin sedikitnya lahan-lahan produktif yang tersisa, karena sudah banyak terkonversi menjadi areal industri perkebunan skala luas oleh perusahaan besar swasta.

Baca Juga :  Pemda Harus Bantu Petani Untuk Terus Berkembang

“Dengan wacana Kalteng akan membuka lahan cetak sawah baru seluas satu juta hektare, maka potensi kerusakan lingkungan akan makin besar ke depan di tengah kondisi Kalteng yang sudah darurat ekologis,” tegasnya.

Tak hanya itu, ia juga melihat adanya potensi konflik sosial dengan masyarakat adat, karena wilayah hutan dan lahan mereka berpotensi akan diambil untuk dijadikan lahan persawahan dalam proyek pangan itu. Karena areal yang akan dijadikan lahan cetak sawah baru, potensi atau indikasinya hanya tersisa dari kawasan hutan atau dari kawasan gambut untuk oplah-nya.

“Hal tersebut menjadi indikator kuat bahwa ke depan akan makin menuru fungsi lingkungan dari kawasan-kawasan tersebut, yang mana akan berdampak pada terjadinya bencana yang makin meluas dan berdampak pada sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat,” tuturnya.

Model pemenuhan pangan sampai kepada ketahanan pangan yang dibuat pemerintah melalui sistem produksi pangan skala luas dan monokultur, menurut Bayu tidak tepat dengan kondisi lingkungan dan sosial masyarakat Kalteng.

“Yang bisa dilakukan adalah melindungi dan mendukung sistem pertanian lokal dan diversifikasi pangan yang sudah dilakukan oleh masyarakat,” ungkapnya seraya menekankan pentingnya perlindungan lahan dari konversi untuk industri ekstraktif dan dukungan terhadap praktik pola pertanian lokal masyarakat Kalteng. (*/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/