Kamis, November 14, 2024
24.5 C
Palangkaraya

Tiga Seniman Dayak Melestarikan Karungut di Era Serba Digital

Syairnya Tak Hanya Indah, Namun Ada Nilai-Nilai untuk Pedoman Hidup

ALUNAN kecapi terdengar syahdu, mengisi udara pagi yang sejuk di area car free day (CFD) Palangka Raya. Seiring langkah-langkah kaki para pengunjung, nada-nada itu mengalir lembut dari perempuan baya dan teman sejawatnya.

Kerutan di wajahnya menyimpan cerita panjang, sebuah kisah dari tanah Dayak yang ia nyanyikan. Meski usianya senja, suaranya kuat dan penuh emosi. Dia adalah Titik Surya. Dia ditemani Hermanto Baluy (75), dan Mampung (56) menghibur pengunjung CFD baik tua maupun muda.

Sesekali pengunjung berhenti sejenak, menikmati paduan melodi dan suara perempuan tua itu. Tak sedikit yang berdecak kagum melihat penampilan mereka beralaskan aspal. Ada yang mengambil video, atau sekadar menganggukkan kepala sebagai bentuk apresiasi.

Titik Surya, merupakan seniman karungut asal Kalteng, yang bertekad melestarikan seni tradisional Dayak, yaitu karungut. Karungut yang dilantunkan Titik adalah seni bertutur atau berpantun menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Diiringi alat musik tradisional seperti kecapi atau gambus.

Seni ini bukan hanya hiburan, tetapi juga menyampaikan pesan moral dan nilai-nilai kebijaksanaan hidup. Baginya, karungut bukan sekadar seni, melainkan bagian dari identitas yang harus dijaga dan diwariskan.

“Karungut yang saya lantunkan adalah seni bertutur atau berpantun yang menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Seni ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan moral dan nilai-nilai kebijaksanaan hidup,”ujarnya kepada Kalteng Pos.

Perempuan berusia 55 tahun ini berasal dari Desa Kuala Kurun, Gunung Mas, dan mulai mencintai karungut sejak remaja, tepatnya saat ia masih di bangku sekolah. Kecintaannya tumbuh dari seringnya mendengarkan rekaman karungut di kaset pita pada masa itu.

Baca Juga :  Layanan Vaksinasi Berhadiah, Lansia Ngotot Minta Disuntik Dua Kali

“Pertama kali saya mengenal karungut melalui kaset pita saat masih SMP,” kenang ibu dari empat orang anak tersebut.

Karena kecintaannya terhadap kesenian ini, pada tahun 2016, muncul niat untuk bergabung dengan Kesenian Daerah (Kesda) melalui program di salah satu stasiun radio di Palangka Raya. Seiring waktu, ia mulai berani melantunkan karungut secara langsung.

“Cinta itulah yang mendorong saya bergabung di Kesenian Daerah melalui program di radio. Setelah berjalannya waktu, saya pun mulai bisa melantunkan karungut,”katanya.

Tak hanya aktif di radio, Titik juga bergabung dengan sanggar seni Guru-Guru Kalteng Harati Berkah di Palangka Raya, yang beranggotakan sekitar 30 orang dari berbagai usia. Selain menjadi seniman, Titik adalah seorang guru di SDN 6 Panarung, Palangka Raya.

Ia memiliki cara unik untuk mengajarkan karungut kepada murid-muridnya dengan mengajak mereka mengenal bunyi-bunyian dan ritme tradisional Dayak. Dalam pelajaran, ia sering menyisipkan pesan moral dan nilai luhur yang terkandung dalam syair karungut.

“Dalam setiap pelajaran, saya selalu berusaha menyisipkan pesan moral. Syair karungut tidak hanya indah didengar, tetapi juga kaya akan nilai-nilai luhur yang bisa menjadi pedoman hidup bagi anak-anak,” ungkap Titik saat menjelaskan metode pengajarannya.

“Saya ingin siswa tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga mencintai budaya mereka sendiri,” tambahnya.

Baca Juga :  Ribuan Peserta Antusias Ikut Pawai Ta’aruf

Menurutnya, dorongan untuk melestarikan seni ini semakin kuat, terutama di era modern ini. Ia merasa khawatir seni karungut akan hilang seiring berkurangnya minat generasi muda terhadap budaya tradisional. Tantangan terbesar dalam melestarikan karungut adalah maraknya budaya asing yang lebih populer di kalangan anak muda, seperti musik pop dan hip-hop. Meski begitu, Titik tak menyerah. Ia mencoba memadukan karungut dengan elemen musik modern untuk menarik minat generasi muda.

“Saya sadar zaman berubah, dan seni juga harus berkembang agar diterima. Saya mencoba menggabungkan musik modern dengan karungut, tentu tanpa menghilangkan nilai dan esensinya. Harapannya, ini bisa menjadi jembatan antara budaya tradisional dan modern,” ujarnya.

Perempuan kelahiran Kuala Kurun ini berharap langkah kecilnya dalam melestarikan karungut bisa berdampak positif bagi masyarakat. Ia juga menyerukan perhatian lebih dari pemerintah untuk seni karungut dan seni tradisional lainnya di Kalimantan Tengah, karena selama ini bantuan fasilitas dan alat musik dari pemerintah daerah masih dirasa kurang.

“Selama ini belum ada bantuan baik fasilitas maupun alat musik dari pemerintah daerah, dan itu sangat kami butuhkan,” tutur ibu dari empat anak ini.

Titik menegaskan bahwa dukungan dari pemerintah dan masyarakat sangat penting untuk memastikan budaya ini tetap hidup di masa depan. “Saya berharap dengan adanya kerja sama antara seniman, pemerintah, dan masyarakat, karungut bisa menjadi ikon budaya Kalteng yang dikenal secara nasional maupun internasional,” katanya penuh harapan.(ram)

ALUNAN kecapi terdengar syahdu, mengisi udara pagi yang sejuk di area car free day (CFD) Palangka Raya. Seiring langkah-langkah kaki para pengunjung, nada-nada itu mengalir lembut dari perempuan baya dan teman sejawatnya.

Kerutan di wajahnya menyimpan cerita panjang, sebuah kisah dari tanah Dayak yang ia nyanyikan. Meski usianya senja, suaranya kuat dan penuh emosi. Dia adalah Titik Surya. Dia ditemani Hermanto Baluy (75), dan Mampung (56) menghibur pengunjung CFD baik tua maupun muda.

Sesekali pengunjung berhenti sejenak, menikmati paduan melodi dan suara perempuan tua itu. Tak sedikit yang berdecak kagum melihat penampilan mereka beralaskan aspal. Ada yang mengambil video, atau sekadar menganggukkan kepala sebagai bentuk apresiasi.

Titik Surya, merupakan seniman karungut asal Kalteng, yang bertekad melestarikan seni tradisional Dayak, yaitu karungut. Karungut yang dilantunkan Titik adalah seni bertutur atau berpantun menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Diiringi alat musik tradisional seperti kecapi atau gambus.

Seni ini bukan hanya hiburan, tetapi juga menyampaikan pesan moral dan nilai-nilai kebijaksanaan hidup. Baginya, karungut bukan sekadar seni, melainkan bagian dari identitas yang harus dijaga dan diwariskan.

“Karungut yang saya lantunkan adalah seni bertutur atau berpantun yang menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Seni ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan moral dan nilai-nilai kebijaksanaan hidup,”ujarnya kepada Kalteng Pos.

Perempuan berusia 55 tahun ini berasal dari Desa Kuala Kurun, Gunung Mas, dan mulai mencintai karungut sejak remaja, tepatnya saat ia masih di bangku sekolah. Kecintaannya tumbuh dari seringnya mendengarkan rekaman karungut di kaset pita pada masa itu.

Baca Juga :  Layanan Vaksinasi Berhadiah, Lansia Ngotot Minta Disuntik Dua Kali

“Pertama kali saya mengenal karungut melalui kaset pita saat masih SMP,” kenang ibu dari empat orang anak tersebut.

Karena kecintaannya terhadap kesenian ini, pada tahun 2016, muncul niat untuk bergabung dengan Kesenian Daerah (Kesda) melalui program di salah satu stasiun radio di Palangka Raya. Seiring waktu, ia mulai berani melantunkan karungut secara langsung.

“Cinta itulah yang mendorong saya bergabung di Kesenian Daerah melalui program di radio. Setelah berjalannya waktu, saya pun mulai bisa melantunkan karungut,”katanya.

Tak hanya aktif di radio, Titik juga bergabung dengan sanggar seni Guru-Guru Kalteng Harati Berkah di Palangka Raya, yang beranggotakan sekitar 30 orang dari berbagai usia. Selain menjadi seniman, Titik adalah seorang guru di SDN 6 Panarung, Palangka Raya.

Ia memiliki cara unik untuk mengajarkan karungut kepada murid-muridnya dengan mengajak mereka mengenal bunyi-bunyian dan ritme tradisional Dayak. Dalam pelajaran, ia sering menyisipkan pesan moral dan nilai luhur yang terkandung dalam syair karungut.

“Dalam setiap pelajaran, saya selalu berusaha menyisipkan pesan moral. Syair karungut tidak hanya indah didengar, tetapi juga kaya akan nilai-nilai luhur yang bisa menjadi pedoman hidup bagi anak-anak,” ungkap Titik saat menjelaskan metode pengajarannya.

“Saya ingin siswa tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga mencintai budaya mereka sendiri,” tambahnya.

Baca Juga :  Ribuan Peserta Antusias Ikut Pawai Ta’aruf

Menurutnya, dorongan untuk melestarikan seni ini semakin kuat, terutama di era modern ini. Ia merasa khawatir seni karungut akan hilang seiring berkurangnya minat generasi muda terhadap budaya tradisional. Tantangan terbesar dalam melestarikan karungut adalah maraknya budaya asing yang lebih populer di kalangan anak muda, seperti musik pop dan hip-hop. Meski begitu, Titik tak menyerah. Ia mencoba memadukan karungut dengan elemen musik modern untuk menarik minat generasi muda.

“Saya sadar zaman berubah, dan seni juga harus berkembang agar diterima. Saya mencoba menggabungkan musik modern dengan karungut, tentu tanpa menghilangkan nilai dan esensinya. Harapannya, ini bisa menjadi jembatan antara budaya tradisional dan modern,” ujarnya.

Perempuan kelahiran Kuala Kurun ini berharap langkah kecilnya dalam melestarikan karungut bisa berdampak positif bagi masyarakat. Ia juga menyerukan perhatian lebih dari pemerintah untuk seni karungut dan seni tradisional lainnya di Kalimantan Tengah, karena selama ini bantuan fasilitas dan alat musik dari pemerintah daerah masih dirasa kurang.

“Selama ini belum ada bantuan baik fasilitas maupun alat musik dari pemerintah daerah, dan itu sangat kami butuhkan,” tutur ibu dari empat anak ini.

Titik menegaskan bahwa dukungan dari pemerintah dan masyarakat sangat penting untuk memastikan budaya ini tetap hidup di masa depan. “Saya berharap dengan adanya kerja sama antara seniman, pemerintah, dan masyarakat, karungut bisa menjadi ikon budaya Kalteng yang dikenal secara nasional maupun internasional,” katanya penuh harapan.(ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/