Kamis, November 21, 2024
28.6 C
Palangkaraya

Dari Tangan Diana Simona, Lidah Buaya Diolah Jadi Minuman Berbagai Rasa

Belajar dari Youtube, Modal Awal Hanya Rp100 Ribu

TANAMAN lidah buaya tampak subur. Berjejer memanjang di samping rumahnya. Ditutup paranet untuk menghindari pancaran langsung sinar matahari. Tanaman yang satu ini sudah dikenal sejak ribuan tahun silam.Digunakan sebagai penyubur rambut, penyembuh luka, ataupun untuk perawatan kulit. Namun di tangan kreatif Diana Simona, tanaman bernama Latin Aloe barbadensis milleer itu disulap menjadi minuman.

Beberapa hari lalu, Kalteng Pos berkunjung ke rumah Diana di Kalampangan, Palangka Raya, yang sekaligus dijadikan sebagai tempat produksi. Rumah itu dinamai Kedai Yumna. Lidah buaya diolah menjadi minuman berbagai rasa. Ada rasa original, leci, dan melon.

“Kami buat tiga rasa karena ada konsumen yang suka manis dan ada juga yang tidak,” ucap Diana mengawali perbincangan dengan Kalteng Pos.

Selain produk utama, Diana juga memanfaatkan limbah kulit lidah buaya untuk diolah menjadi minuman teh bernama Tealovera, yaitu campuran kulit lidah buaya kering dan teh hijau.

Pertama kali Diana merintis usaha adalah saat Car Free Day akhir tahun 2018, dengan menjual minuman lidah buaya rasa melon. Minuman lidah buaya ukuran 250 ml itu dijual seharga Rp10 ribu dan merupakan produk pertama Kedai Yumna. “Jadi (rasa melon, red) tetap kami pertahankan hingga sekarang,” tuturnya.

Perjalanan bisnis ini, sebutnya, dimulai tahun 2017. Sang suami, Ady Prayitno, mulai membudidayakan tanaman lidah buaya di rumah orang tuanya untuk konsumsi sendiri,sekaligus menyalurkan hobi. Dari situlah Diana mendapat ide untuk membuat usaha, meski dengan modal yang kecil.

Baca Juga :  Bahas SDM, Pantarlih sampai Zona Integritas

Saat itu suaminya mencari-cari konten di YouTube dan menemukan bahwa tanaman lidah buaya bisa diolah menjadi minuman. “Modal awal, seingat saya Rp100 ribu atau Rp200 ribu gitu,” ungkap Diana.

Awal merintis minuman lidah buaya ini pada akhir 2018. Diana berjualan di lokasi Car Free Day menggunakan gelas cup. Tidak seperti sekarang yang kemasannya sudah menggunakan botol plastik.

Tahun 2019, Kedai Yumna mulai berhenti berjualan di lokasi Car Free Day. Setelah itu, Kedai Yumna memasarkan produk minuman lidah buaya dengan menitipkan ke toko-toko makanan ringan serta menjualnya secara online melalui media sosial Instagram @kedaiyumna87.

Kemudian, tahun 2022 minuman lidah buaya produksi Kedai Yumna mendapat sertifikat halal tanpa bahan pengawet. “Awalnya daya tahan minuman ini di kulkas hanya satu minggu, sekarang bisa bertahan dua minggu,” kata ibu satu anak ini sambil tersenyum.

Pada awal produksi, sempat beberapa gagal, karena rasa minuman lidah buaya belum sesuai. Setelah berbagai uji coba dan berkat kerja kerasnya bersama sang suami, akhirnya ditemukan formula yang pas.

Mereka biasanya memilih lidah buaya berukuran besar dan berdaging tebal untuk dipanen dan diolah menjadi minuman. “Makin besar lidah buaya, makin mudah dikupas. Kalau terlalu kecil, sulit memisahkan kulit dan dagingnya,” jelas wanita berumur 32 tahun ini.

Proses produksi lidah buaya membutuhkan beberapa tahap. Mulai dari memilih tanaman berkualitas, mengupas kulit, mencuci, dan merendam hingga lendirnya hilang. Setelah itu, lidah buaya direbus, didiamkan hingga dingin, lalu dikemas dalam botol plastik bertutup hitam.

Baca Juga :  Gereja Mulai Disolek, Ibadah Menerapkan Prokes

Menurut Diana, menanam lidah buaya gampang-gampang susah, karena sangat bergantung pada cuaca. Terkadang, tanaman lidah buaya yang terpapar panas berlebih akan berpengaruh saat proses produksi.

“Masalah utama biasanya adalah busuk akar karena lahan gambut. Jika tanah terlalu banyak air, tanahnya memadat, sedangkan lidah buaya tidak bisa tumbuh di tanah padat,” jelas perempuan yang ikut dalam Komunitas Informasi Masyarakat Batuah Berkah ini.

Minuman lidah buaya ini diproduksi seminggu sekali, dengan jumlah produksi sekitar 30 botol. Namun, produksi dapat meningkat jika ada permintaan lebih dari mitra Kedai Yumna. Terkadang, stok sudah habis terjual sebelum satu minggu, sehingga perlu diproduksi lagi.

Jika ada bazar, produksi bisa mencapai hingga 100 botol. Biasanya, saat bazar mereka membagikan tester kepada pengunjung. Selain berjualan, Kedai Yumna aktif mengunggah konten di Instagram dan Facebook. “Kami juga mengedukasi masyarakat perihal manfaat lidah buaya,” terang perempuan kelahiran Pangkalan Bun ini.

Wanita kelahiran tahun 1992 ini berencana menerima kunjungan dari sekolah atau kampus yang ingin belajar dan mengolah tanaman lidah buaya menjadi produk minuman.  Diana terinspirasi dari Aloe Vera Center di Pontianak.

“Saya berharap bisa menjadi pelopor di sini dan berharap UMKM Palangka Raya terus berinovasi dan memanfaatkan sumber daya sekitar, tidak hanya mengikuti tren, tetapi juga memiliki identitas sendiri,” pungkasnya. (ce/ram)

TANAMAN lidah buaya tampak subur. Berjejer memanjang di samping rumahnya. Ditutup paranet untuk menghindari pancaran langsung sinar matahari. Tanaman yang satu ini sudah dikenal sejak ribuan tahun silam.Digunakan sebagai penyubur rambut, penyembuh luka, ataupun untuk perawatan kulit. Namun di tangan kreatif Diana Simona, tanaman bernama Latin Aloe barbadensis milleer itu disulap menjadi minuman.

Beberapa hari lalu, Kalteng Pos berkunjung ke rumah Diana di Kalampangan, Palangka Raya, yang sekaligus dijadikan sebagai tempat produksi. Rumah itu dinamai Kedai Yumna. Lidah buaya diolah menjadi minuman berbagai rasa. Ada rasa original, leci, dan melon.

“Kami buat tiga rasa karena ada konsumen yang suka manis dan ada juga yang tidak,” ucap Diana mengawali perbincangan dengan Kalteng Pos.

Selain produk utama, Diana juga memanfaatkan limbah kulit lidah buaya untuk diolah menjadi minuman teh bernama Tealovera, yaitu campuran kulit lidah buaya kering dan teh hijau.

Pertama kali Diana merintis usaha adalah saat Car Free Day akhir tahun 2018, dengan menjual minuman lidah buaya rasa melon. Minuman lidah buaya ukuran 250 ml itu dijual seharga Rp10 ribu dan merupakan produk pertama Kedai Yumna. “Jadi (rasa melon, red) tetap kami pertahankan hingga sekarang,” tuturnya.

Perjalanan bisnis ini, sebutnya, dimulai tahun 2017. Sang suami, Ady Prayitno, mulai membudidayakan tanaman lidah buaya di rumah orang tuanya untuk konsumsi sendiri,sekaligus menyalurkan hobi. Dari situlah Diana mendapat ide untuk membuat usaha, meski dengan modal yang kecil.

Baca Juga :  Bahas SDM, Pantarlih sampai Zona Integritas

Saat itu suaminya mencari-cari konten di YouTube dan menemukan bahwa tanaman lidah buaya bisa diolah menjadi minuman. “Modal awal, seingat saya Rp100 ribu atau Rp200 ribu gitu,” ungkap Diana.

Awal merintis minuman lidah buaya ini pada akhir 2018. Diana berjualan di lokasi Car Free Day menggunakan gelas cup. Tidak seperti sekarang yang kemasannya sudah menggunakan botol plastik.

Tahun 2019, Kedai Yumna mulai berhenti berjualan di lokasi Car Free Day. Setelah itu, Kedai Yumna memasarkan produk minuman lidah buaya dengan menitipkan ke toko-toko makanan ringan serta menjualnya secara online melalui media sosial Instagram @kedaiyumna87.

Kemudian, tahun 2022 minuman lidah buaya produksi Kedai Yumna mendapat sertifikat halal tanpa bahan pengawet. “Awalnya daya tahan minuman ini di kulkas hanya satu minggu, sekarang bisa bertahan dua minggu,” kata ibu satu anak ini sambil tersenyum.

Pada awal produksi, sempat beberapa gagal, karena rasa minuman lidah buaya belum sesuai. Setelah berbagai uji coba dan berkat kerja kerasnya bersama sang suami, akhirnya ditemukan formula yang pas.

Mereka biasanya memilih lidah buaya berukuran besar dan berdaging tebal untuk dipanen dan diolah menjadi minuman. “Makin besar lidah buaya, makin mudah dikupas. Kalau terlalu kecil, sulit memisahkan kulit dan dagingnya,” jelas wanita berumur 32 tahun ini.

Proses produksi lidah buaya membutuhkan beberapa tahap. Mulai dari memilih tanaman berkualitas, mengupas kulit, mencuci, dan merendam hingga lendirnya hilang. Setelah itu, lidah buaya direbus, didiamkan hingga dingin, lalu dikemas dalam botol plastik bertutup hitam.

Baca Juga :  Gereja Mulai Disolek, Ibadah Menerapkan Prokes

Menurut Diana, menanam lidah buaya gampang-gampang susah, karena sangat bergantung pada cuaca. Terkadang, tanaman lidah buaya yang terpapar panas berlebih akan berpengaruh saat proses produksi.

“Masalah utama biasanya adalah busuk akar karena lahan gambut. Jika tanah terlalu banyak air, tanahnya memadat, sedangkan lidah buaya tidak bisa tumbuh di tanah padat,” jelas perempuan yang ikut dalam Komunitas Informasi Masyarakat Batuah Berkah ini.

Minuman lidah buaya ini diproduksi seminggu sekali, dengan jumlah produksi sekitar 30 botol. Namun, produksi dapat meningkat jika ada permintaan lebih dari mitra Kedai Yumna. Terkadang, stok sudah habis terjual sebelum satu minggu, sehingga perlu diproduksi lagi.

Jika ada bazar, produksi bisa mencapai hingga 100 botol. Biasanya, saat bazar mereka membagikan tester kepada pengunjung. Selain berjualan, Kedai Yumna aktif mengunggah konten di Instagram dan Facebook. “Kami juga mengedukasi masyarakat perihal manfaat lidah buaya,” terang perempuan kelahiran Pangkalan Bun ini.

Wanita kelahiran tahun 1992 ini berencana menerima kunjungan dari sekolah atau kampus yang ingin belajar dan mengolah tanaman lidah buaya menjadi produk minuman.  Diana terinspirasi dari Aloe Vera Center di Pontianak.

“Saya berharap bisa menjadi pelopor di sini dan berharap UMKM Palangka Raya terus berinovasi dan memanfaatkan sumber daya sekitar, tidak hanya mengikuti tren, tetapi juga memiliki identitas sendiri,” pungkasnya. (ce/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/