PALANGKA RAYA-Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) makin santer.
Tak hanya digaungkan aktor politik pendukung pemerintah, sistem pemilihan yang pernah diberlakukan pada era Orde Lama dan Orde Baru itu, juga didengungkan Presiden Prabowo Subianto dalam perayaan HUT ke-60 Partai Golkar. Ada pihak yang pro dan kontra jika kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Anggota Komisi II DPR RI Ahmad Irawan dari Fraksi Partai Golkar, mengaku setuju dengan wacana gubernur dipilih oleh DPRD demi efisiensi anggaran.
Meski begitu, ia menilai pemilihan bupati atau wali kota lebih baik tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat. Pernyataan itu disampaikan Irawan, menanggapi wacana yang dilontarkan Presiden Prabowo Subianto terkait perbaikan sistem pemilu.
Prabowo menyebut, sistem pilkada saat ini cukup mahal, sehingga mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung atau oleh DPRD yang notabene merupakan perwakilan rakyat.
“Paling bagus menurut saya memang gubernur dipilih oleh DPRD saja. Pertimbangan saya adalah karena kekuasaan dan wewenang gubernur hanya kepanjangan tangan pemerintah pusat. Sedangkan untuk pemilihan bupati/wali kota, lebih bagus secara langsung oleh rakyat,” kata Ahmad Irawan kepada wartawan, Minggu (15/12/2024).
Irawan menjelaskan, alasannya menyetujui gubernur dipilih oleh DPRD, sama seperti yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto.
Pertama, gubernur bisa mengurus wilayahnya berdasarkan asas otonomi daerah yang tertuang dalam Pasal 18 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 sebagai ketentuan konstitusional. Bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis.
Dalam asas otonomi daerah, pilkada disebut merupakan wujud kebijakan desentralisasi politik.
“Jadi daerah punya otonomi memilih sendiri siapa kepala daerahnya. Dalam desain kebijakan desentralisasi kita, otonomi daerah itu ada pada pemerintahan kabupaten/kota. Provinsi melakukan tugas pembantuan (dekonsentrasi) atau sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat,” tutur Irawan.
Menurut dia, prinsip dan praktik konstitusional itu dapat dimaknai bahwa pilkada bisa dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung (direct or indirect democracy).
“Dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pilkada maupun secara tidak langsung melalui DPRD provinsi dan kabupaten/kota, itu sama demokratisnya dan masih sesuai dengan prinsip konstitusionalisme,” jelasnya.
“Karena anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, anggota-anggotanya juga dipilih melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat 3 UUD 1945,” sambung Irawan.
Di sisi lain, Irawan menyebut usul Presiden Prabowo soal gubernur dipilih DPRD, sejalan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Paket Politik (Pemilu, Pilkada, dan Parpol) yang telah masuk dalam prolegnas prioritas DPR RI tahun 2025.
Paket Undang-Undang tentang Pemilu atau omnibus law politik ini akan membahas bab mengenai pemilu. Selain itu, RUU tersebut juga membahas pilkada, partai politik, hingga hukum acara sengketa kepemiluan.
“Ini bagus kita bahas lebih awal. Pak Prabowo dan Pak Bahlil telah memulainya. Pemikiran beliau berkesesuaian. Bagaimana pun Pak Prabowo adalah Presiden RI yang memegang kekuasaan pembentuk undang-undang. Hati dan pikirannya bagus,” ucapnya.
Sebelumnya, Prabowo mengisyaratkan jika kepala daerah dipilih DPRD, itu akan menekan anggaran negara. ”Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. (Seperti, red) Malaysia, Singapura, India. Sekali milih anggota DPRD, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati,” ujarnya.
Prabowo mengajak semua pihak tidak malu-malu mengakui bahwa sistem politik RI terlalu mahal. Dia pun menyinggung para pemenang pilkada yang tampak lesu kendati menang. ”Yang menang lesu, apalagi yang kalah. Kita harus berani mengoreksi diri,” kata ketua umum Partai Gerindra itu.
Presiden berharap perbaikan itu bisa mengurangi beban anggaran negara ke depan. ”Berapa puluh triliun rupiah habis dalam 1–2 hari, dari negara maupun dari tokoh-tokoh politik,” ujarnya.
Menyikapi wacana ini, Sekretaris DPD Partai Demokrat Kalteng Junaidi, menyatakan pihaknya akan mengikuti arahan dan keputusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat terkait sistem pemilihan yang akan diterapkan ke depan.
“Kami akan tunduk dan patuh pada keputusan DPP, apakah pilkada tetap dipilih secara langsung oleh rakyat atau melalui perwakilan DPRD,” ucapnya saat dikonfirmasi Kalteng Pos via WhatsApp, Selasa (17/12).
Ia mengakui bahwa biaya pilkada langsung sangatlah tinggi. Oleh sebab itu, menurutnya wacana yang disampaikan Presiden Prabowo menjadi alternatif yang bijak untuk dipertimbangkan.
“Jika memang pemilihan melalui DPRD dapat mengurangi beban anggaran, tentu ini bisa menjadi solusi yang baik untuk efisiensi keuangan negara. Namun, kami tetap menunggu arahan dan kajian lebih lanjut dari pusat,” tambahnya.
Sistem pemilihan langsung selama ini dinilai lebih demokratis, karena memberikan hak kepada masyarakat untuk memilih pemimpin secara langsung. Di sisi lain, biaya besar yang dikeluarkan dalam setiap proses pilkada sering menjadi sorotan, terutama di tengah keterbatasan anggaran negara.
Wacana ini pun diperkirakan akan menjadi bahan diskusi panjang di kalangan partai politik, legislatif, dan masyarakat. Sementara itu, Partai Demokrat di Kalteng memilih bersikap menunggu keputusan resmi dari pusat, sambil tetap memantau perkembangan.
Sementara itu, wacana pemilihan kepala daerah oleh DPRD menuai kritik dari berbagai kalangan. Menurut Farid Zaki, seorang pengamat politik, gagasan ini justru dianggap sebagai langkah mundur dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
“Saya kira ini adalah kemunduran demokrasi, karena tidak akan menyelesaikan akar masalah yang ada,” ucapnya saat dihubungi Kalteng Pos, Selasa (17/12/2024). Menurutnya, persoalan mendasar dalam sistem politik Indonesia terletak pada kegagalan kaderisasi partai politik dan perilaku koruptif politisi. Hal ini berujung pada tingginya biaya politik yang harus ditanggung calon kepala daerah.
Lebih lanjut ia menjelaskan, kondisi ini diperparah dengan rendahnya kapasitas serta minimnya gagasan yang dimiliki oleh sebagian politisi. Akibatnya, politik transaksional lebih sering menjadi jalan pintas yang dikedepankan dalam upaya menarik simpati masyarakat sebagai pemilih.
Jika pemilihan kepala daerah kembali dilakukan melalui DPRD, menurutnya pasar gelap demokrasi dan praktik transaksional hanya akan berpindah ke lingkaran elite DPRD.
“Jika kembali dipilih oleh DPRD, maka saya rasa tetap akan terjadi pasar gelap demokrasi, hanya saja transaksinya berpindah ke lingkaran elite DPRD,” tambahnya.
Ia menjelaskan, demokrasi Indonesia saat ini sedang bertumbuh, dan partisipasi langsung masyarakat dalam memilih pemimpin harus tetap dijaga.
“Jangan membunuh semangat demokrasi di masyarakat. Kita sedang bertumbuh menjadi negara yang makin demokratis. Jika pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, maka cita-cita publik untuk memiliki pemimpin berkualitas akan makin sulit terwujud,” tegasnya.
Farid menilai langkah tersebut merupakan salah obat dalam menangani persoalan politik di Indonesia. “Yang mestinya diberikan obat itu adalah partai politik dan perilaku koruptif para politisi, bukan malah mencabut hak masyarakat untuk memilih,” tandasnya.
Terpisah, pengamat politik Ricky Zulfauzan menyatakan dukungannya terhadap mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD, dengan catatan ada perbaikan dan pengetatan syarat bagi calon anggota legislatif.
“Rakyat kita belum sepenuhnya siap dengan demokrasi langsung. Jika pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD, maka kualitas anggota DPRD harus benar-benar dijaga melalui syarat yang ketat,” ujarnya.
Menurut Ricky, salah satu langkah penting adalah meningkatkan standar seleksi bagi calon anggota DPRD. “Partai politik harus melakukan seleksi ketat terhadap calon legislatif. Misalnya, calon minimal harus berpendidikan S-2 dari kampus terbaik, lulus ujian kompetensi dengan passing grade tinggi yakni antara 85 hingga 100 persen jawaban benar, serta memiliki pengalaman berkiprah di ranah politik,” jelasnya.
Selain itu, ia menekankan perlunya reformasi partai politik sebagai bagian dari upaya menciptakan pemimpin berkualitas. “Partai politik harus dibiayai oleh negara, serupa dengan konsep lembaga independen seperti Komnas HAM. Dengan begitu, partai politik dapat bebas dari intervensi pemerintah dan benar-benar fokus pada pengembangan kader berkualitas,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia menyarankan agar jumlah partai politik dibatasi hanya menjadi lima partai. “Pembatasan jumlah partai politik menjadi lima akan membuat sistem politik lebih efektif dan efisien. Dengan partai yang lebih sedikit, kaderisasi akan lebih terfokus, dan pengawasan terhadap partai pun akan lebih mudah,” katanya.
Menurutnya, jika langkah-langkah tersebut diterapkan, pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan lebih efektif dalam menghasilkan pemimpin yang berkualitas. “Dengan mekanisme seperti ini, kita bisa memastikan bahwa pemimpin yang terpilih melalui DPRD benar-benar kompeten dan memiliki kapasitas yang mumpuni,” pungkasnya. (ham/zia/jpg/ce/ala)