PALANGKA RAYA – Aroma dupa dan alunan mantra suci memenuhi udara pagi di Pura Pitamaha, Jalan Kinibalu, Palangka Raya, Rabu (23/4/2025)
Di bawah naungan langit cerah dan suasana khusyuk, ratusan umat Hindu tampak larut dalam sembahyang, menyambut Hari Raya Galungan, hari suci merayakan kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma (kejahatan).
Bagi umat Hindu, Galungan bukan sekadar seremoni keagamaan yang dirayakan tiap 210 hari sekali, melainkan momen spiritual yang dalam, suatu ajakan untuk kembali pada inti kebaikan, menata ulang pikiran, dan memurnikan hati.
Suatu perjalanan batin yang menegaskan bahwa dalam kehidupan yang penuh dinamika, kemenangan sejati tetap berpihak pada mereka yang hidup dengan berpegang pada nilai-nilai luhur.
“Galungan bukan hanya simbol. Ini saat untuk menyatukan kekuatan rohani, mengendapkan pikiran, dan menetapkan pendirian hidup,” kata Mangku Gede I Made Suparma, pemangku Pura Pitamaha.
“Dharma itu artinya kebenaran. Kita diajak untuk terus berpikir positif, berkata yang baik, dan berlaku benar dalam kehidupan,” tambahnya.Rangkaian Galungan telah dimulai sejak pekan sebelumnya.
Dimulai dari Sugihan Jawa, ritual pembersihan terhadap energi luar, hingga persembahyangan yang memusatkan pada kesucian batin. Seluruh prosesi dijalankan dengan penuh penghayatan.
“Harapannya, segala bentuk energi negatif dapat dibersihkan. Kami ingin menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia, dan Sang Pencipta,” lanjut Mangku Made.
Di balik prosesi suci ini, Galungan juga merefleksikan nilai harmoni lintas budaya yang terjaga erat di Kalimantan Tengah. Mangku Made menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai keberagaman, sebagaimana falsafah lokal Huma Betang yang menempatkan persatuan sebagai pilar utama kehidupan bermasyarakat.
“Kita semua punya tanggung jawab menjaga kedamaian, tidak hanya dalam lingkup keagamaan, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan berbangsa,” tuturnya.Ia mengajak generasi muda Hindu untuk tidak melupakan akar budaya.
“Hindu di Kalimantan Tengah sudah menyatu dengan adat daerah. Jangan sampai warisan budaya ini terkikis. Anak muda Hindu harus tetap menjaganya agar nilai-nilai leluhur tidak hilang.”
Salah satu umat, Oskar Oka Swastika, menyebut Galungan merupakan waktu untuk menengok ke dalam diri dan mensyukuri perjalanan hidup.“Selama 210 hari terakhir, kita pasti melewati banyak hal.
Ketika kita diberi kesehatan, rezeki, dan kedamaian, itu tanda dharma hadir dalam hidup kita. Itulah yang dirayakan,” katanya.Ia juga mendorong semua umat Hindu untuk memanfaatkan momen Galungan untuk introspeksi diri.
“Mari kita pilah mana sikap yang membawa kebaikan untuk dilanjutkan, dan mana yang harus kita tinggalkan karena membawa ketidakharmonisan,” ucap Oskar.Tak hanya di Palangka Raya, Galungan juga dirayakan serentak di berbagai daerah di Indonesia.
Umat Hindu memulai hari dengan sembahyang di rumah, lalu beranjak ke pura untuk mengikuti upacara utama. Semangat yang sama mengalir dari altar keluarga hingga ruang sembahyang di pura, semangat untuk menghidupkan kembali dharma dalam diri masing-masing.
“Galungan di tengah masyarakat Palangka Raya menjadi gambaran indah bagaimana tradisi dan spiritualitas dapat hidup berdampingan dalam keberagaman. Ini cerminan komitmen umat Hindu untuk menjalani kehidupan yang damai, seimbang, dan penuh makna,” pungkasnya. (ovi/ce/ram)