PALANGKA RAYA-Kabut asap yang mencemari udara di Kalimantan Tengah (Kalteng) dewasa ini merupakan dampak dari meningkatnya kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Fenomena kabut asap ini dinilai cenderung berulang setiap tahunnya. Sebab, meningkatnya kejadian karhutla kadang berbanding lurus dengan pencemaran udara yang dihasilkan.
Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Puspa Dewy menilai karhutla yang terus berulang setiap tahunnya ini karena ada kaitan dengan salah urusnya negara dalam tata kelola sumber daya alam (SDA).
“Konsekuensi dari itu dapat diperhatikan bahwa persoalan karhutla saat ini dilihat hanya sebagai respons aktual namun tidak memiliki skema atau strategi untuk mengatasi akar dari persoalan kenapa karhutla terjadi setiap tahunnya,”ungkap Puspa saat memberikan paparan dalam forum diskusi bertema Bencana Kabut Asap: Mengapa Berulang yang diselenggarakan oleh Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kalimantan secara hybrid, Jumat (29/9).
Puspa mengatakan, menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), selama periode Januari-Agustus 2023 indikasi luas Karhutla di Indonesia sudah mencapai 267.935,59 hektare. Pada bulan Agustus 2023, Pantau Gambut menemukan setidaknya 271 area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang terbakar.
KHG yang terbakar tersebut pada 89 kabupaten/kota di 19 provinsi di Indonesia, di mana Provinsi Kalimantan Barat dan Kalteng menjadi dua daerah dengan kebakaran paling intens. Walhi mencatat, titik api berada di konsesi-konsesi korporasi yang terdiri dari konsesi Hak Guna Usaha (HGU) sawit, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA), dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK-HTI). Sebanyak 969 perusahaan sawit berada di wilayah gambut dan hutan dengan luasan
mencapai 5,6 juta hektare.
“Rinciannya HGU perkebunan kelapa sawit seluas 1.901.713,54 hektare, HTI seluas 2.817.880,72 hektare dan HPH seluas 888.454,07 hektare,”sebutnya.
Puspa menyebut, di Kalteng sendiri juga ada empat atau lima perusahaan yang juga terdapat titik api di dalam wilayah konsesi. Dari fenomena ini, pihaknya menarik kesimpulan bahwa hal inilah yang menjadi fenomena mendasar mengapa karhutla di Indonesia terus berulang.
Dikatakannya, pada awal tahun, Menteri Koordinator (Menko) Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) sudah menyampaikan ancaman terjadinya karhutla. Sayangnya, narasi itu tidak dilihat sebagai suatu peringatan yang harusnya menjadi ancang-ancang bagi pemerintah untuk mempersiapkan diri menghadapi potensi bencana karhutla sejak jauh-jauh hari.
“Kalau kita siapkan sejak waktu itu, kita punya waktu 6-7 bulan bagaimana cara untuk meminimalkan terjadinya karhutla. Justru kemudian mulai muncul titik api di bulan April-Mei dan puncaknya di Juli-Agustus, September masih ditemukan titik-titik api,” ujarnya.
Menurut Puspa, salah satu penyebab berulangnya kejadian karhutla di Kalteng adalah karena lemahnya penegakan hukum, terutama oada kasus karhutla yang melibatkan perusahaan izin konsesi. Izin-izin konsesi pada kawasan hutan dan gambut terus diberikan.
“Kami juga melihat adanya skema mitigasi yang taktis, mengeluarkan banyak biaya, tetapi tidak menyentuh akar permasalahan. Dampak yang dialami masyarakat diabaikan, termasuk yang dialami anak-anak dan perempuan, seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi,” sebutnya.
Oleh karena itu, ia mendorong agar pemerintah, dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera mengambil kebijakan korektif dengan mengevaluasi dan melakukan penindakan berupa penegakan hukum terhadap perusahaan yang terlibat karhutla, seperti mencabut kebijakan atau pasal-pasal yang dapat memicu terjadinya karhutla.
Menurutnya, perlu ada pencabutan izin dan penghentian pemberian izin-izin di kawasan hutan dan gambut. Tak hanya itu, pemerintah juga harus memastikan tersedianya fasilitas bagi korban-korban kabut asap, terutama fasilitas kesehatan, termasuk menyediakan sarana untuk pendidikan dan akses ekonomi warga.
“Mereka juga perlu melakukan pemulihan dan perbaikan terhadap kondisi lingkungan yang rusak akibat karhutla, termasuk mengembalikan lahan untuk dikelola dengan masyarakat,” tandasnya.
Pengamat hukum Louise Theresia berpendapat, melihat dari kondisi karhutla dan kualitas udara di Kalteng yang saat ini sudah sangat menurun, maka langkah penanggulangan sudah harus dimaksimalkan ketimbang langkah pencegahan.
“Kalau berbicara situasi saat ini kita tidak bisa lagi ambil langkah preventif, karena sudah terjadi,”ucapnya, Jumat (29/9).
Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Palangka Raya (UPR) ini menjelaskan, dalam langkah penegakan hukum terdapat tiga pola. Yakni preventif, preemtif, dan represif. Melihat dari kondisi sekarang, langkah preventif dan preemtif sudah tidak bisa digunakan lagi. Satu-satunya yang relevan saat ini adalah langkah represif mengingat kejadian karhutla semain masif.
“Melihat kondisi sekarang lebih ke tindakan yang represif. Kalau di lapangan terjadi kebakaran dalam skala besar, maka pikirkan tindakan hukum yang jelas, apa tindakan hukumnya,” ujar Louis.
Menurut dia, dalam melakukan patroli, satgas tak hanya bertugas untuk memadamkan api yang terjadi, tetapi juga melakukan upaya-upaya yang berkaitan dengan penegakan hukum, terutama terhadap pihak-pihak yang disinyalir menjadi pelaku karhutla.
“Tindakan represif yang perlu dilakukan, apabila ada pihak-pihak terduga yang melakukan pembakaran lahan, ya tangkap saja,” tuturnya.
Berkenaan dengan sulitnya penegakan hukum terhadap korporasi, tetapi mudahnya menangkap masyarakat yang membuka lahan dengan membakar, Louise berpendapat hal ini berkaitan dengan nilai tawar kedua pihak tersebut.
“Kalau masyarakat kecil tidak ada nilai tawarnya, tapi kalau korporasi punya nilai tawar, sehingga, dalam tanda kutip, ada rasa takut untuk memproses itu,” ujarnya.
Kendati Mahkamah Agung tengah berusaha menghilangkan anggapan bahwa hukum di Indonesia bersifat tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, Louise menyebut hal itu masih jauh dari harapan. Sebab, persoalan itu dapat dilihat dari peristiwa penangkapan terhadap pelaku pembakaran lahan di Kalteng sendiri.
“Tiga orang masyarakat biasa di Timpah ditangkap, tetapi di Kuala Kapuas, ada beberapa titik api di area perusahaan, tidak ada proses hukum. Makanya tindakan represif tak hanya dibutuhkan saat pemadaman, tapi juga bidang hukumnya, kalau memang perusahaan terbukti membakar lahan skala besar, tangkap,” tandasnya.
Menurut penuturan Rina Seruyana, salah satu pemateri pada diskusi tersebut kabut asap seringkali disebabkan oleh pembakaran hutan yang tidak terkendali. “Praktik-praktik ilegal seperti ini tidak hanya merusak lingkungan alam, tetapi juga menghasilkan emisi berbahaya seperti partikel Pm 2,5 dan gas-gas beracun yang dapat merusak sistem pernapasan manusia,” jelasnya.
Tidak hanya itu, sebagai perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Univeritas Palangka Raya yang juga sekaligus sebagai volunteer, ia menyampaikan jika sebagai anak muda apalagi mahasiswa sudah seharusnya untuk turut berperan aktif dan perduli terhadap lingkungan.
“Sebagai seorang mahasiswa hukum, melihat hukum mengenai karhutla ini tapi kurang tegas dan implementasi di lapangan berbeda dengan di undang-undang. Hukum seolah-olah berpihak pada pemodal terbesar,”ungkapnya.
Mengingat sejauh ini kasus karhutla yang meningkat tentunya tidak lepas dari adanya pembakaran hutan. Mereka peladang kecil yang membuat sekat bakar justru dituntut, tapi para korporat yang ukuran pembakaran lahannya jauh lebih luas justru tidak menerima sanksi apa-apa.
“Sungguh miris, karena hukum tidak berlaku seperti yang semestinya berjalan,”katanya.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBPK Provinsi Kalteng, Alpius Patanan yang juga turut berhadir pada diskusi tersebut menyampaikan jika pihaknya juga terus melakukan upaya-upaya untuk menangani permasalahan ini. “Dibandingkan dengan tahun 2019 lalu, tahun ini masih bisa diatasi dengan lebih baik. Karena tentunya setiap tahunnya upaya yang dilakukan harus lebih baik lagi,” katanya.
“Ketika kami berhadapan dengan fakta bahwa terjadi kebakaran kita harus punya tindakan cepat untuk menanggapinya,” ucapnya.
Ia menyebut pasukan darat itu sangat terbatas dan punya jangkauan yang terbatas sehingga untuk menggelar selang pun butuh waktu sekitar 20 menit. Sedangkan satu selang pun hanya bisa menjangkau beberapa meter. Oleh karena itu ketika terjadi kebakaran perlu sinergitas seluruh pihak untuk melakukan penanganan. Kalaupun pilihan yang ada adalah waterboombing maka itu wajib digunakan.
Namun, upaya pencegahan tidak selalu cukup untuk mengatasi masalah ini. Oleh karena itu, tanggapan darurat yang cepat dan terkoordinasi juga penting. Selain itu, edukasi masyarakat juga menjadi fokus penting dalam pencegahan. Informasi tentang bahaya kabut asap, cara melindungi diri dengan masker anti-polusi, dan tindakan yang harus diambil saat kualitas udara buruk telah disebarluaskan.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng, dr Suyuti Samsul yang juga hadir menyampaikan kepada masyarakat untuk menghindari kabut asap ini. Sekalipun kasus ISPA mulai meningkat seiring dengan maraknya kabut asap. Angka kematian yang disebabkan oleh ISPA itu 0 persen. Sehingga menurutnya ISPA bukanlah suatu penyakit wabah. Ia akan sembuh dengan sendirinya.
“Tidak bisa disimpulkan jika seluruh masyarakat itu terdampak ISPA karena kabut asap. Karena ISPA tidak hanya disebabkan oleh kabut asap saja,”ucapnya. “Masyarakat sering kali salah mengartikan. ISPA itu infeksi saluran pernapasan atas bukan akut,”tegasnya.(zia/dan/ram)