Jumat, Mei 10, 2024
30.2 C
Palangkaraya

Kabar Duka, Guru Danau Meninggal Dunia

AMUNTAI-Kalimantan Selatan (Kalsel) berduka. Ulama karismatik Banua, KH Asmuni atau lebih dikenal sebagai Guru Danau meninggal dunia. Guru Danau meninggal di kediamannya di Desa Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Jumat (2/2) sekitar pukul 16.30 Wita, pada usia 69 tahun.

Gazali Rahman, tokoh masyarakat HSU membenarkan informasi meninggalnya sang ulama. “Iya betul, kami sangat kehilangan,” kata Gazali.

Semasa hidup, Guru Danau membuka pengajian agama pertama di Desa Bitin pada tahun 1978 dan mengajar di Pesantren Salatiah. Selajutnya, tahun 1980 ia membuka pengajian di Danau Panggang, tanah kelahirannya.

Disarikan dari berbagai sumber, nama “Danau” yang dilekatkan pada dirinya sebenarnya merupakan nama singkat dari tempat kelahiran dan tempat tinggalnya, Danau Panggang. Danau Panggang merupakan salah satu Kecamatan di daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara, yang terletak sekitar 24 km dari Kota Amuntai.

Guru Danau dilahirkan pada tahun 50-an di Danau Panggang. Ada yang menulis tahun 1951, tahun 1955, dan ada pula yang menulis 1957 sebagai tahun kelahirannya. Ayahnya bernama Haji Masuni dan ibunya bernama Hajjah Masjubah. Dia merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya berasal dari daerah Danau Panggang, sedangkan ibunya berasal dari daerah Marabahan yang pindah ke Danau Panggang.

Guru Danau hidup di lingkungan keluarga yang sederhana dan taat beragama. Orang tuanya dahulu bekerja sebagai buruh kapal atau buruh angkut dengan pendapatan yang pas-pasan. Namun, pendapatan yang pas-pasan itu tidak menghalangi semangat orang tuanya untuk membiayai pendidikan anak-anak.

Guru Danau menempuh pendidikan tingkat dasar di Madrasah Ibtidaiah di lingkungan Pesantren Mu’alimin Danau Panggang dan Madrasah Tsanawiyah Pesantren Mu’alimin Danau Panggang. Setelah itu dia meneruskan studinya ke tingkat atas (aliyah/ulya) di Pesantren Darussalam Martapura. Selama belajar di Pesantren Darussalam, Guru Danau juga belajar dengan sejumlah ulama berpengaruh (tuan guru) yang bertebaran di wilayah Martapura. Di antaranya adalah Tuan Guru Semman Mulya, Tuan Guru Royanidan, dan Tuan Guru Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Ijai. Bahkan setelah memiliki pengajian dan pesantren sendiri, secara rutin Guru Danau tetap mengikuti pengajian Guru Ijai di Martapura, baik ketika masih di Keraton (Langgar Darul Aman) maupun setelah pindah ke Sekumpul (Langgar Arraudah). Guru Danau terus mengikuti pengajian Guru Ijai hingga sang guru meninggal dunia pada tahun 2005.

Setelah tamat dari Pesantren Darussalam, Guru Danau sempat pulang ke kampung halaman. Tak lama kemudian atau pada tahun 1978, atas anjuran Guru Ijai ia kembali belajar di Pesantren Datuk Kalampaian Bangil di Jawa Timur. Di tempat itu ia belajar dari ulama karismatik keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yaitu Kyai Haji Muhammad Syarwani Abdan (w. 1989). Dari ulama besar ini, Guru Danau mendapat bimbingan spiritual (suluk) dan belajar secara khusus dengan Guru Bangil dalam waktu tertentu.

Selain ke Bangil, Guru Danau juga berkunjung ke sejumlah wilayah di Pulau Jawa, seperti Pasuruan, Jember, Malang, Wonosobo, Purwokerto, Solo, dan Yogyakarta untuk menemui ulama dan habaib yang ada di sana. Di antara ulama atau habaib yang beliau datangi adalah KH Hamid Pasuruan, Habib Saleh al-Hamid Jember, Mbah Malik Purwokerto, Kyai Syakur Wonosobo, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih Malang, Habib Anis al-Habsyi Solo, Habib Ahmad Bafaqih Tempel Yogyakarta. Dengan ulama dan habaib itu, Guru Danau belajar sejumlah ilmu, amalan, dan mengambil tarekat tertentu. Kegiatan bersilaturahmi dan belajar singkat dengan sejumlah ulama dan habaib di Jawa dilakukan oleh Guru Danau untuk mendapat berkah ilmu, dengan bertemu dan belajar dari mereka.

Pada tahun 1980, Guru Danau menikah dengan Hj Jamilah binti Maskur yang berasal dari Bitin. Dari perkawinannya itu, ia dikaruniai tiga belas orang anak (tujuh putra dan enam putri). Nama anak-anaknya adalah Wahid, Ladaniah, Musanna, Mufidah, Muktiah, Noor’Ainah, Noorhasanah, Haudi, Syahli, Mujiburrahman, Mujahidah, Syamsuddin, dan M. Naseh.

Guru Danau membuka pengajian agama di Desa Bitin pada tahun 1980 dan mengajar di Pesantren Salatiah. Kemudian tahun 1981, ia kembali membuka pengajian di kampung halamannya sendiri, Danau Panggang. Guru Danau menceritakan, ketika ingin membuka pengajian, terlebih dahulu meminta izin kepada Guru Ijai. Sang Guru mengizinkan, dengan syarat tidak boleh bapintaan (meminta dana dari masyarakat), harus memakai halat (dinding) yang memisahkan laki-laki dan perempuan, dan harus ikhlas. Agar seorang guru dapat ikhlas mengajar, ia harus memiliki kemandirian ekonomi. Dengan kemandirian ini, seorang guru dapat berkonsentrasi mengajar dan berdakwah tanpa mengharap imbalan uang.

Pada tahun-tahun awal, peserta pengajian Guru Danau di Bitin dan Danau Panggang tidak banyak. Namun, lama kelamaan jumlahnya makin banyak hingga mencapai ribuan orang. Pengajian di Bitin dan Danau Panggang dihadiri jemaah sekitar 3 hingga 6 ribuan. Pengajian di Bitin dilaksanakan pada Sabtu malam (malam Minggu), sedangkan di Danau Panggang dilaksanakan pada Senin Malam. Di Bitin, pusat pengajian bertempat di rumah Guru Danau atau sekitar Pasar Bitin. Karena tidak ada lapangan yang luas, ribuan jemaah pengajian menempati teras dan halaman rumah penduduk sekitar. Banyak dari mereka yang duduk berbaris di pinggir-pinggir jalan hingga mencapai beberapa kilometer. Hal serupa juga terjadi pada pengajian di Danau Panggang. Pusat pengajian bertempat di Mushalla Darul Aman (nama yang sama dengan Langgar Darul Aman tempat Guru Ijai mengajar) yang tepat berada di samping rumah Guru Danau.

Baca Juga :  Semua Organisasi Harus Mampu Jadi Pionir

Selain mengasuh kedua pengajian besar di atas, Guru Danau juga mendirikan dan membina beberapa pesantren. Pada tahun 1982, ia mendirikan Pesantren Darul Aman di Kecamatan Babirik (Hulu Sungai Utara). Nama Darul Aman sendiri mengikuti nama Langgar Darul Aman di Keraton tempat Guru Ijai mengajar. Guru Danau juga menamai musala di samping rumahnya dengan nama Darul Aman, sama dengan nama langgar gurunya di Keraton Martapura. Pesantren lain yang dibinanya adalah Pesantren Raudatus Sibyan di Desa Longkong, Kecamatan Danau Panggang dan Pesantren Ar Raudah I di Jaro Tabalong dan Ar Raudah II di Pangkalan Bun.

Pada dekade 1990-an (sekitar 1998), seiring dengan makin meluas pengaruh dan popularitasnya, Guru Danau kembali membuka pengajian di Mabuun Tanjung (Kabupaten Tabalong). Menurut cerita Guru Danau, pada awalnya, Mabuun merupakan sarang pelacuran dan perjudian. Guru Danau berusaha memberantas penyakit sosial ini dengan cara menghubungi pihak-pihak berwenang untuk menutupnya. Namun usaha ini tidak berhasil. Dia mengubah strategi. Dia tidak lagi mengharapkan aparat, tetapi membuka pengajian di tempat itu. Dengan adanya pengajian yang dihadiri ribuan jemaah ini, praktik pelacuran dan perjudian itu tidak mendapat tempat dan berhenti dengan sendirinya. Dengan cara ini, lokasi yang asalnya menjadi tempat maksiat, berubah menjadi kompleka pengajian.

Pengajian di Mabuun, pengajian ketiga yang diasuh oleh Guru Danau, kemudian menjadi pengajian Guru Danau yang terbesar, karena dihadiri oleh puluhan ribu jemaah. Ada yang menyebutnya mencapai 40 ribuan jemaah. Kuantitas jemaah yang hadir di tempat ini jauh lebih besar dibanding pengajian di Danau Panggang dan Bitin. Hal ini didukung oleh kompleks pengajian Guru Danau di Mabuun yang memiliki area yang lebih luas dibanding pengajian di Bitin dan Danau Panggang, sehingga memungkinkan menampung puluhan ribu jemaah. Dengan kuantitas jemaah yang mencapai puluhan ribu itu, pengajian Guru Danau di Mabuun disebut-sebut sebagai pengajian terbesar di kawasan Banua Anam.

Pengajian di Mabuun dilaksanakan pada malam Rabu tiap setengah bulan sekali. Guru Danau menyatakan, jarak setengah bulan sekali dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada jemaah pengajian untuk mengumpulkan uang untuk keperluan transportasi mendatangi tempat pengajian. Jemaah yang bertempat tinggal di kawasan Amuntai, Paringin, atau yang berada di kawasan Kalimantan Tengah memiliki persiapan yang lebih luas untuk menghadiri pengajian di Mabuun. Jarak waktu pengajian yang ditetapkan oleh Guru Danau ini cukup membantu sebagian jemaah pengajian yang merupakan orang-orang yang memiliki tingkat ekonomi rendah. Bagi murid-muridnya yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas, mendatangi pengajian di Mabuun bukan merupakan persoalan, karena mereka memiliki kendaraan pribadi yang dapat digunakan tiap saat. Karena itu, tidak mengherankan jika sekitar pengajian Guru Danau di Mabuun berjejer mobil dengan jumlah mencapai ratusan unit.

Materi pengajian yang disampaikan oleh Guru Danau di beberapa pengajiannya meliputi materi tauhid, fiqih, tasawuf, hadis, tafsir, kisah-kisah, dan lainnya. Dari beberapa kitab yang dikaji, materi tasawuf tampaknya lebih dominan. Beberapa kitab yang pernah diajarkan oleh Guru Danau di pengajiannya, di antaranya adalah Irsyad al-‘Ibad (Zainuddin al-Malibari), Nasha`ih al-‘Ibad (Nawawi al-Bantani), Muraqi al-‘Ubudiyyah (Nawawi al-Bantani), Risalah al-Mu’awanah (Abdullah al-Haddad), Nasha`ih al-Diniyyah (Abdullah al-Haddad), Tuhfah al-Raghibin (Muhammad Arsyad al-Banjari), Syarah Sittin (Ahmad Ramli), Tanqih al-Qawl (Nawawi al-Bantani). Dilihat dari daftar kitab yang digunakan, Guru Danau lebih banyak menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab daripada kitab Arab-Melayu. Walaupun begitu, pengajiannya tetap mudah diikuti oleh jemaah, karena isi kitab-kitab itu diterjemahkan dan diberi penjelasan yang ‘ringan’ oleh Guru Danau.

Cara penyampaian Guru Danau dalam pengajian maupun ceramahnya cukup unik. Guru Danau termasuk ulama yang sangat humoris. Tiap ceramah atau pengajiannya dia selalu menyampaikan cerita-cerita lucu, jokes, pantun-pantun, dan singkatan yang diplesetkan yang memancing tawa. Bahkan, Guru Danau tidak segan bercanda dengan murid-muridnya yang berada pada baris depan. Baginya, humor itu penting disisipkan dalam ceramah pengajian agar orang awam dan orang tua dapat terus mengikuti pengajian tanpa merasa bosan dan berat.

Baca Juga :  Masuk Kalteng Diusulkan Cukup Antigen

Dalam menyajikan isi kitab pengajian, Guru Danau hanya membaca beberapa baris saja. Tetapi penjelasannya cukup luas. Terkadang tidak selalu terfokus dan relevan dengan substansi kitab atau teks yang dibaca, karena banyak disisipi oleh cerita, humor, ilustrasi, canda, dan sebagainya. Teknik seperti itu tampaknya sangat disukai oleh jemaah. Selain mendapat tuntunan, mereka juga mendapat ‘hiburan’ yang menyenangkan. Teknik tersebut merupakan salah satu daya tarik orang untuk menghadiri pengajian Guru Danau.

Cara penyampaian Guru Danau juga didukung oleh bahasa yang dominan digunakannya, yaitu bahasa Banjar. Bahasa itu merupakan bahasa yang digunakan mayoritas jemaahnya. Penggunaan bahasa lokal itu kemudian dibumbui dengan contoh-contoh dan ilustrasi-ilustrasi yang pas dengan kondisi lokalitas sosiobudaya dan keseharian masyarakat, sehingga isi ceramahnya sangat merakyat. Dengan cara seperti itu, materi yang disampaikannya mudah dipahami oleh jemaah yang berasal dari berbagai lapisan sosial.

Walaupun penyampaian materi dakwahnya sederhana dan mudah dipahami, tidak lantas ia dinilai sebagai ulama biasa. Sebagai ulama yang lahir dari lulusan pesantren ternama seperti Pesantren Darussalam yang diakui kualitasnya dalam memproduksi ulama, dia juga merupakan produk dari sejumlah ulama besar, seperti Guru Ijai dan Guru Bangil yang otoritas keulamaannya diakui dan memiliki pengaruh besar. Apalagi, Guru Danau sendiri merupakan salah satu murid Guru Ijai yang dikader untuk meneruskan tradisi keulamaan gurunya di kawasan Hulu Sungai. Karena itu, tidaklah heran jika beberapa gaya berceramah dan tradisi pengajian Guru Danau, seperti pembacaan Maulid al-Habsyi menjelang pengajian, merupakan hasil ‘peniruan’ dari tradisi Guru Ijai. Ketika Guru Ijai wafat, para jemaah pengajiannya di kawasan Hulu Sungai segera mendapat figur pengganti yang mewarisi sebagian kharisma Guru Ijai, yaitu Guru Danau.

Meski mengasuh 3 pengajian besar dan 4 pesantren serta sibuk berdakwah di mana-mana, Guru Danau bukanlah tuan guru yang hanya terpaku pada aktivitas mengajar dan berdakwah. Guru Danau merupakan sosok ulama yang aktif bekerja dan berbisnis. Sejak muda ia sudah sibuk bekerja. Berbagai usaha telah beliau jalankan, seperti bertani, berdagang, dan bisnis lainnya. Dengan kegigihannya berbisnis, beliau dikenal juga sebagai ulama yang memiliki kekayaan dan penghasilan besar dari beberapa usaha bisnisnya. Dari beberapa bisnis Guru Danau yang terpenting adalah usaha emas dan sarang burung walet di daerah Tanjung. Usaha ini terutama usaha sarang burung walet mendatangkan keuntungan besar. Dari usaha sarang burung walet, Guru Danau dapat meraih keuntungan miliaran rupiah. Usaha burung walet ini dipelajarinya dari seorang habib di Jawa. Usaha lainnya adalah membeli tanah sebagai investasi. Tanah itu bisa dijual suatu saat nanti.

Dengan pendapatan yang besar dari bisnisnya, wajar jika Guru Danau menjadi orang kaya. Dia memiliki banyak rumah dan memiliki beberapa mobil mewah (Alphard). Dengan mobil Alphard yang dimilikinya, dia dapat bepergian ke mana-mana dengan nyaman. Walaupun memiliki itu semua, Guru Danau tetap berpenampilan sederhana dan bersahaja. Rezeki yang cukup berlimpah itu tidak digunakan untuk bermegah-megah, tetapi digunakannya untuk kepentingan dakwah Islam. Menurutnya, mereka yang mengurusi akhirat tidak seharusnya kalah dengan mereka yang mengurusi masalah dunia. Ulama yang memiliki usaha dan kekayaan sendiri akan lebih ikhlas dalam berdakwah dan mengajar, karena tidak memiliki kepentingan untuk mendapat bayaran dari jemaahnya.

Dengan kemandirian dan kekayaan yang dimiliki, Guru Danau dapat membiaya semua pembangunan kompleks pengajian dan pesantren yang didirikannya, tanpa bantuan pihak lain. Dia tidak mau meminta bantuan dana dari masyarakat (bapintaan) karena khawatir ada yang tidak ikhlas. Demikian juga dia tidak mau menerima dana yang berasal dari pemerintah dan partai politik. Menurutnya, jika satu kali saja mendapat bantuan pemerintah, ulama tidak bisa lagi untuk menasihati penguasa. Bahkan cenderung untuk dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kepentingan tertentu. Kemandirian itulah yang membuat dirinya tidak bisa diintervensi dan didikte oleh penguasa dan partai politik.

Figur Guru Danau sebagai ulama kaya dan mandiri tidak hanya karena faktor kegigihannya dalam berusaha, tetapi juga terinspirasi oleh sosok gurunya, Guru Ijai, yang juga menjadi ulama kaya. Guru Danau termasuk salah satu murid Guru Ijai yang berhasil meniru gurunya pada sisi ini. Tidak banyak murid Guru Ijai yang dapat mengikuti jejaknya seperti Guru Danau. (jpg/ce/ala)

AMUNTAI-Kalimantan Selatan (Kalsel) berduka. Ulama karismatik Banua, KH Asmuni atau lebih dikenal sebagai Guru Danau meninggal dunia. Guru Danau meninggal di kediamannya di Desa Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Jumat (2/2) sekitar pukul 16.30 Wita, pada usia 69 tahun.

Gazali Rahman, tokoh masyarakat HSU membenarkan informasi meninggalnya sang ulama. “Iya betul, kami sangat kehilangan,” kata Gazali.

Semasa hidup, Guru Danau membuka pengajian agama pertama di Desa Bitin pada tahun 1978 dan mengajar di Pesantren Salatiah. Selajutnya, tahun 1980 ia membuka pengajian di Danau Panggang, tanah kelahirannya.

Disarikan dari berbagai sumber, nama “Danau” yang dilekatkan pada dirinya sebenarnya merupakan nama singkat dari tempat kelahiran dan tempat tinggalnya, Danau Panggang. Danau Panggang merupakan salah satu Kecamatan di daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara, yang terletak sekitar 24 km dari Kota Amuntai.

Guru Danau dilahirkan pada tahun 50-an di Danau Panggang. Ada yang menulis tahun 1951, tahun 1955, dan ada pula yang menulis 1957 sebagai tahun kelahirannya. Ayahnya bernama Haji Masuni dan ibunya bernama Hajjah Masjubah. Dia merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya berasal dari daerah Danau Panggang, sedangkan ibunya berasal dari daerah Marabahan yang pindah ke Danau Panggang.

Guru Danau hidup di lingkungan keluarga yang sederhana dan taat beragama. Orang tuanya dahulu bekerja sebagai buruh kapal atau buruh angkut dengan pendapatan yang pas-pasan. Namun, pendapatan yang pas-pasan itu tidak menghalangi semangat orang tuanya untuk membiayai pendidikan anak-anak.

Guru Danau menempuh pendidikan tingkat dasar di Madrasah Ibtidaiah di lingkungan Pesantren Mu’alimin Danau Panggang dan Madrasah Tsanawiyah Pesantren Mu’alimin Danau Panggang. Setelah itu dia meneruskan studinya ke tingkat atas (aliyah/ulya) di Pesantren Darussalam Martapura. Selama belajar di Pesantren Darussalam, Guru Danau juga belajar dengan sejumlah ulama berpengaruh (tuan guru) yang bertebaran di wilayah Martapura. Di antaranya adalah Tuan Guru Semman Mulya, Tuan Guru Royanidan, dan Tuan Guru Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Ijai. Bahkan setelah memiliki pengajian dan pesantren sendiri, secara rutin Guru Danau tetap mengikuti pengajian Guru Ijai di Martapura, baik ketika masih di Keraton (Langgar Darul Aman) maupun setelah pindah ke Sekumpul (Langgar Arraudah). Guru Danau terus mengikuti pengajian Guru Ijai hingga sang guru meninggal dunia pada tahun 2005.

Setelah tamat dari Pesantren Darussalam, Guru Danau sempat pulang ke kampung halaman. Tak lama kemudian atau pada tahun 1978, atas anjuran Guru Ijai ia kembali belajar di Pesantren Datuk Kalampaian Bangil di Jawa Timur. Di tempat itu ia belajar dari ulama karismatik keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yaitu Kyai Haji Muhammad Syarwani Abdan (w. 1989). Dari ulama besar ini, Guru Danau mendapat bimbingan spiritual (suluk) dan belajar secara khusus dengan Guru Bangil dalam waktu tertentu.

Selain ke Bangil, Guru Danau juga berkunjung ke sejumlah wilayah di Pulau Jawa, seperti Pasuruan, Jember, Malang, Wonosobo, Purwokerto, Solo, dan Yogyakarta untuk menemui ulama dan habaib yang ada di sana. Di antara ulama atau habaib yang beliau datangi adalah KH Hamid Pasuruan, Habib Saleh al-Hamid Jember, Mbah Malik Purwokerto, Kyai Syakur Wonosobo, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih Malang, Habib Anis al-Habsyi Solo, Habib Ahmad Bafaqih Tempel Yogyakarta. Dengan ulama dan habaib itu, Guru Danau belajar sejumlah ilmu, amalan, dan mengambil tarekat tertentu. Kegiatan bersilaturahmi dan belajar singkat dengan sejumlah ulama dan habaib di Jawa dilakukan oleh Guru Danau untuk mendapat berkah ilmu, dengan bertemu dan belajar dari mereka.

Pada tahun 1980, Guru Danau menikah dengan Hj Jamilah binti Maskur yang berasal dari Bitin. Dari perkawinannya itu, ia dikaruniai tiga belas orang anak (tujuh putra dan enam putri). Nama anak-anaknya adalah Wahid, Ladaniah, Musanna, Mufidah, Muktiah, Noor’Ainah, Noorhasanah, Haudi, Syahli, Mujiburrahman, Mujahidah, Syamsuddin, dan M. Naseh.

Guru Danau membuka pengajian agama di Desa Bitin pada tahun 1980 dan mengajar di Pesantren Salatiah. Kemudian tahun 1981, ia kembali membuka pengajian di kampung halamannya sendiri, Danau Panggang. Guru Danau menceritakan, ketika ingin membuka pengajian, terlebih dahulu meminta izin kepada Guru Ijai. Sang Guru mengizinkan, dengan syarat tidak boleh bapintaan (meminta dana dari masyarakat), harus memakai halat (dinding) yang memisahkan laki-laki dan perempuan, dan harus ikhlas. Agar seorang guru dapat ikhlas mengajar, ia harus memiliki kemandirian ekonomi. Dengan kemandirian ini, seorang guru dapat berkonsentrasi mengajar dan berdakwah tanpa mengharap imbalan uang.

Pada tahun-tahun awal, peserta pengajian Guru Danau di Bitin dan Danau Panggang tidak banyak. Namun, lama kelamaan jumlahnya makin banyak hingga mencapai ribuan orang. Pengajian di Bitin dan Danau Panggang dihadiri jemaah sekitar 3 hingga 6 ribuan. Pengajian di Bitin dilaksanakan pada Sabtu malam (malam Minggu), sedangkan di Danau Panggang dilaksanakan pada Senin Malam. Di Bitin, pusat pengajian bertempat di rumah Guru Danau atau sekitar Pasar Bitin. Karena tidak ada lapangan yang luas, ribuan jemaah pengajian menempati teras dan halaman rumah penduduk sekitar. Banyak dari mereka yang duduk berbaris di pinggir-pinggir jalan hingga mencapai beberapa kilometer. Hal serupa juga terjadi pada pengajian di Danau Panggang. Pusat pengajian bertempat di Mushalla Darul Aman (nama yang sama dengan Langgar Darul Aman tempat Guru Ijai mengajar) yang tepat berada di samping rumah Guru Danau.

Baca Juga :  Semua Organisasi Harus Mampu Jadi Pionir

Selain mengasuh kedua pengajian besar di atas, Guru Danau juga mendirikan dan membina beberapa pesantren. Pada tahun 1982, ia mendirikan Pesantren Darul Aman di Kecamatan Babirik (Hulu Sungai Utara). Nama Darul Aman sendiri mengikuti nama Langgar Darul Aman di Keraton tempat Guru Ijai mengajar. Guru Danau juga menamai musala di samping rumahnya dengan nama Darul Aman, sama dengan nama langgar gurunya di Keraton Martapura. Pesantren lain yang dibinanya adalah Pesantren Raudatus Sibyan di Desa Longkong, Kecamatan Danau Panggang dan Pesantren Ar Raudah I di Jaro Tabalong dan Ar Raudah II di Pangkalan Bun.

Pada dekade 1990-an (sekitar 1998), seiring dengan makin meluas pengaruh dan popularitasnya, Guru Danau kembali membuka pengajian di Mabuun Tanjung (Kabupaten Tabalong). Menurut cerita Guru Danau, pada awalnya, Mabuun merupakan sarang pelacuran dan perjudian. Guru Danau berusaha memberantas penyakit sosial ini dengan cara menghubungi pihak-pihak berwenang untuk menutupnya. Namun usaha ini tidak berhasil. Dia mengubah strategi. Dia tidak lagi mengharapkan aparat, tetapi membuka pengajian di tempat itu. Dengan adanya pengajian yang dihadiri ribuan jemaah ini, praktik pelacuran dan perjudian itu tidak mendapat tempat dan berhenti dengan sendirinya. Dengan cara ini, lokasi yang asalnya menjadi tempat maksiat, berubah menjadi kompleka pengajian.

Pengajian di Mabuun, pengajian ketiga yang diasuh oleh Guru Danau, kemudian menjadi pengajian Guru Danau yang terbesar, karena dihadiri oleh puluhan ribu jemaah. Ada yang menyebutnya mencapai 40 ribuan jemaah. Kuantitas jemaah yang hadir di tempat ini jauh lebih besar dibanding pengajian di Danau Panggang dan Bitin. Hal ini didukung oleh kompleks pengajian Guru Danau di Mabuun yang memiliki area yang lebih luas dibanding pengajian di Bitin dan Danau Panggang, sehingga memungkinkan menampung puluhan ribu jemaah. Dengan kuantitas jemaah yang mencapai puluhan ribu itu, pengajian Guru Danau di Mabuun disebut-sebut sebagai pengajian terbesar di kawasan Banua Anam.

Pengajian di Mabuun dilaksanakan pada malam Rabu tiap setengah bulan sekali. Guru Danau menyatakan, jarak setengah bulan sekali dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada jemaah pengajian untuk mengumpulkan uang untuk keperluan transportasi mendatangi tempat pengajian. Jemaah yang bertempat tinggal di kawasan Amuntai, Paringin, atau yang berada di kawasan Kalimantan Tengah memiliki persiapan yang lebih luas untuk menghadiri pengajian di Mabuun. Jarak waktu pengajian yang ditetapkan oleh Guru Danau ini cukup membantu sebagian jemaah pengajian yang merupakan orang-orang yang memiliki tingkat ekonomi rendah. Bagi murid-muridnya yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas, mendatangi pengajian di Mabuun bukan merupakan persoalan, karena mereka memiliki kendaraan pribadi yang dapat digunakan tiap saat. Karena itu, tidak mengherankan jika sekitar pengajian Guru Danau di Mabuun berjejer mobil dengan jumlah mencapai ratusan unit.

Materi pengajian yang disampaikan oleh Guru Danau di beberapa pengajiannya meliputi materi tauhid, fiqih, tasawuf, hadis, tafsir, kisah-kisah, dan lainnya. Dari beberapa kitab yang dikaji, materi tasawuf tampaknya lebih dominan. Beberapa kitab yang pernah diajarkan oleh Guru Danau di pengajiannya, di antaranya adalah Irsyad al-‘Ibad (Zainuddin al-Malibari), Nasha`ih al-‘Ibad (Nawawi al-Bantani), Muraqi al-‘Ubudiyyah (Nawawi al-Bantani), Risalah al-Mu’awanah (Abdullah al-Haddad), Nasha`ih al-Diniyyah (Abdullah al-Haddad), Tuhfah al-Raghibin (Muhammad Arsyad al-Banjari), Syarah Sittin (Ahmad Ramli), Tanqih al-Qawl (Nawawi al-Bantani). Dilihat dari daftar kitab yang digunakan, Guru Danau lebih banyak menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab daripada kitab Arab-Melayu. Walaupun begitu, pengajiannya tetap mudah diikuti oleh jemaah, karena isi kitab-kitab itu diterjemahkan dan diberi penjelasan yang ‘ringan’ oleh Guru Danau.

Cara penyampaian Guru Danau dalam pengajian maupun ceramahnya cukup unik. Guru Danau termasuk ulama yang sangat humoris. Tiap ceramah atau pengajiannya dia selalu menyampaikan cerita-cerita lucu, jokes, pantun-pantun, dan singkatan yang diplesetkan yang memancing tawa. Bahkan, Guru Danau tidak segan bercanda dengan murid-muridnya yang berada pada baris depan. Baginya, humor itu penting disisipkan dalam ceramah pengajian agar orang awam dan orang tua dapat terus mengikuti pengajian tanpa merasa bosan dan berat.

Baca Juga :  Masuk Kalteng Diusulkan Cukup Antigen

Dalam menyajikan isi kitab pengajian, Guru Danau hanya membaca beberapa baris saja. Tetapi penjelasannya cukup luas. Terkadang tidak selalu terfokus dan relevan dengan substansi kitab atau teks yang dibaca, karena banyak disisipi oleh cerita, humor, ilustrasi, canda, dan sebagainya. Teknik seperti itu tampaknya sangat disukai oleh jemaah. Selain mendapat tuntunan, mereka juga mendapat ‘hiburan’ yang menyenangkan. Teknik tersebut merupakan salah satu daya tarik orang untuk menghadiri pengajian Guru Danau.

Cara penyampaian Guru Danau juga didukung oleh bahasa yang dominan digunakannya, yaitu bahasa Banjar. Bahasa itu merupakan bahasa yang digunakan mayoritas jemaahnya. Penggunaan bahasa lokal itu kemudian dibumbui dengan contoh-contoh dan ilustrasi-ilustrasi yang pas dengan kondisi lokalitas sosiobudaya dan keseharian masyarakat, sehingga isi ceramahnya sangat merakyat. Dengan cara seperti itu, materi yang disampaikannya mudah dipahami oleh jemaah yang berasal dari berbagai lapisan sosial.

Walaupun penyampaian materi dakwahnya sederhana dan mudah dipahami, tidak lantas ia dinilai sebagai ulama biasa. Sebagai ulama yang lahir dari lulusan pesantren ternama seperti Pesantren Darussalam yang diakui kualitasnya dalam memproduksi ulama, dia juga merupakan produk dari sejumlah ulama besar, seperti Guru Ijai dan Guru Bangil yang otoritas keulamaannya diakui dan memiliki pengaruh besar. Apalagi, Guru Danau sendiri merupakan salah satu murid Guru Ijai yang dikader untuk meneruskan tradisi keulamaan gurunya di kawasan Hulu Sungai. Karena itu, tidaklah heran jika beberapa gaya berceramah dan tradisi pengajian Guru Danau, seperti pembacaan Maulid al-Habsyi menjelang pengajian, merupakan hasil ‘peniruan’ dari tradisi Guru Ijai. Ketika Guru Ijai wafat, para jemaah pengajiannya di kawasan Hulu Sungai segera mendapat figur pengganti yang mewarisi sebagian kharisma Guru Ijai, yaitu Guru Danau.

Meski mengasuh 3 pengajian besar dan 4 pesantren serta sibuk berdakwah di mana-mana, Guru Danau bukanlah tuan guru yang hanya terpaku pada aktivitas mengajar dan berdakwah. Guru Danau merupakan sosok ulama yang aktif bekerja dan berbisnis. Sejak muda ia sudah sibuk bekerja. Berbagai usaha telah beliau jalankan, seperti bertani, berdagang, dan bisnis lainnya. Dengan kegigihannya berbisnis, beliau dikenal juga sebagai ulama yang memiliki kekayaan dan penghasilan besar dari beberapa usaha bisnisnya. Dari beberapa bisnis Guru Danau yang terpenting adalah usaha emas dan sarang burung walet di daerah Tanjung. Usaha ini terutama usaha sarang burung walet mendatangkan keuntungan besar. Dari usaha sarang burung walet, Guru Danau dapat meraih keuntungan miliaran rupiah. Usaha burung walet ini dipelajarinya dari seorang habib di Jawa. Usaha lainnya adalah membeli tanah sebagai investasi. Tanah itu bisa dijual suatu saat nanti.

Dengan pendapatan yang besar dari bisnisnya, wajar jika Guru Danau menjadi orang kaya. Dia memiliki banyak rumah dan memiliki beberapa mobil mewah (Alphard). Dengan mobil Alphard yang dimilikinya, dia dapat bepergian ke mana-mana dengan nyaman. Walaupun memiliki itu semua, Guru Danau tetap berpenampilan sederhana dan bersahaja. Rezeki yang cukup berlimpah itu tidak digunakan untuk bermegah-megah, tetapi digunakannya untuk kepentingan dakwah Islam. Menurutnya, mereka yang mengurusi akhirat tidak seharusnya kalah dengan mereka yang mengurusi masalah dunia. Ulama yang memiliki usaha dan kekayaan sendiri akan lebih ikhlas dalam berdakwah dan mengajar, karena tidak memiliki kepentingan untuk mendapat bayaran dari jemaahnya.

Dengan kemandirian dan kekayaan yang dimiliki, Guru Danau dapat membiaya semua pembangunan kompleks pengajian dan pesantren yang didirikannya, tanpa bantuan pihak lain. Dia tidak mau meminta bantuan dana dari masyarakat (bapintaan) karena khawatir ada yang tidak ikhlas. Demikian juga dia tidak mau menerima dana yang berasal dari pemerintah dan partai politik. Menurutnya, jika satu kali saja mendapat bantuan pemerintah, ulama tidak bisa lagi untuk menasihati penguasa. Bahkan cenderung untuk dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kepentingan tertentu. Kemandirian itulah yang membuat dirinya tidak bisa diintervensi dan didikte oleh penguasa dan partai politik.

Figur Guru Danau sebagai ulama kaya dan mandiri tidak hanya karena faktor kegigihannya dalam berusaha, tetapi juga terinspirasi oleh sosok gurunya, Guru Ijai, yang juga menjadi ulama kaya. Guru Danau termasuk salah satu murid Guru Ijai yang berhasil meniru gurunya pada sisi ini. Tidak banyak murid Guru Ijai yang dapat mengikuti jejaknya seperti Guru Danau. (jpg/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/