Jumat, November 22, 2024
25.1 C
Palangkaraya

Produksi Bawang Merah Lokal Belum Mencukupi

Empat Daerah di Kalteng Penghasil Bawang Merah

PALANGKA RAYA-Sejumlah pedagang di Pasar Besar Palangka Raya yang menjual bahan-bahan keperluan dapur, tak menampik jika harga bahan pokok (bapok) mulai merangkak naik menjelang bulan Ramadan. Contohnya bawang merah, bawang putih, tahu, dan tempe.

Pedagang bernama Muhammad Azis menjelaskan, harga bawang merah saat ini berkisar Rp40-45 ribu/kilogram. Sebelumnya hanya Rp34-35 ribu/ kilogram. Sedangkan harga jual bawang putih berkisar Rp27-28 ribu/kilogram.

“Naiknya harga memang sudah dari tempat kami mengambil barang. Enggak tahu kenapa (harga, red) naik terus nih,” kata Azis kepada Kalteng Pos, Kamis (3/3).

Pria yang sudah dua tahun berjualan di pasar tersebut berharap kenaikan harga bawang khususnya bawang merah tidak berlanjut. “Kasian juga yang beli kalau harga bawang terus mahal,” ucapnya seraya melayani pembeli.

Pedagang lain, Soni menyebut kenaikan harga bawang dianggap merupakan hal yang biasa terjadi. Menurut prediksinya, kenaikan harga bawang tidak akan berlangsung lama. Kenaikan harga disebabkan karena kurangnya pasokan dari Pulau Jawa.

“Nanti kalau di Jawa sudah panen raya, pasti harganya turun lagi,” ucapnya.

Yang diutarakan Soni dibenarkan Azis, yang merupakan penyuplai bawang ke pedagang di Pasar Besar, tepatnya yang berjualan malam hingga subuh. Dikatakannya, ketika daerah-daerah penghasil bawang seperti Jawa Tengah, NTB, NTT, dan sejumlah daerah di Sulawesi panen secara serentak, otomatis harga bawang akan turun.

Azis yang sejak 2017 lalu menyuplai bawang ke pedagang Pasar Besar, sudah hafal waktu naik turunnya harga bawang. Ia sendiri biasa menyuplai 3-10 ton bawang merah dan putih. Disuplai tiga hari sekali ke pedagang di Pasar Besar. “Saat ini harga di Pulau Jawa sudah mencapai Rp30 ribu/kilogram,” ucapnya.

Sementara itu, pemerintah memprediksi bahwa kondisi paceklik akan terjadi pada pertengahan Mei- Juni. Sangat mungkin harga bawang merah akan mengalami kenaikan, bahkan hingga akhir tahun nanti.

Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagperin) Kalteng Aster Bonawaty mengatakan, kondisi paceklik harus diwaspadai. Apalagi bawang merah yang beredar di Kalteng ini sebagian besar disuplai dari luar Kalteng.

Hal ini masih dalam perkiraan berdasarkan hitung-hitungan prediksi adanya paceklik. Namun jika para petani bisa mempertahankan produksi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, maka produksi bawang merah tidak akan mengalami perubahan. Juga tidak akan ada masalah soal harga maupun stok atau persediaan.

“Jika di Kalteng ini ada produksi dan bisa mem-back up, maka stok bawang merah akan aman, tapi sejauh ini paling banyak disuplai dari luar Kalteng,” ujarnya kepada Kalteng Pos.

Baca Juga :  Wilayah Utara Kotim Kembali Terendam Banjir

Kepala Dinas Ketahanan Pangan (DKP) Kalteng Sunarti mengatakan, dalam rangka menjaga stabilitas harga dan ketersediaan bawang merah, pihaknya berharap agar dinas terkait dalam hal ini Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Peternakan (DTPHP) Kalteng tetap menggalakkan penanaman selama masa paceklik.

“Karena pada bulan-bulan tersebut, petani kita sedang melakukan penanaman bawang, karena anggaran baru berjalan di bulan itu,” ucapnya.

“Hampir seluruh kabupaten ada petani bawang merah. Hanya saja persoalan utamanya, mereka cuman menanam sekali dalam setahun, yakni saat mendapat bantuan benih,” tambahnya.

Padahal dari segi hasil produksi tidak kalah dengan petani bawang di Pulau Jawa. Petani di Kalteng sebenarnya tidak hanya di sektor hortikultura, tapi juga di sektor pangan.

“Rata-rata petani Kalteng masih menggunakan pola memanam sekali setahun, untuk itu kami mulai mengubah mindset mereka (petani, red) untuk bisa menanam lebih dari sekali dalam setahun dengan varietas yang bagus,” ucapnya.

Saat ini di Kalteng sudah ada empat daerah yang memproduski bawang merah, meski bukan skala usaha. Yakni di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kotawaringin Timur (Kotim), Pulang Pisau (Pulpis), dan Kapuas.

Selain empat daerah itu, Kabupaten Barito Timur (Bartim) dan Barito Utara (Batara) sebetulnya juga berpotensi menghasilkan bawang merah, karena memiliki tanah yang subur.

“Secara umum Kalteng ini memang berpotensi memproduski bawang merah, kecuali bawang putih yang harus dekat dengan laut. Kontur tanah di Kalteng ini sebenarnya mendukung, karena bawang merah harus ditanam di dataran rendah,” kata Kepala DTPHP Kalteng Riza Rahmadi.

Namun ada beberapa kendala petani di Kalteng dalam membudidayakan bawang merah. Di antaranya, sumber benih dan tingkat keribetan serta risiko yang besar bagi petani, lantaran budi daya bawang merah tidaklah mudah.

“Karena itu perlu ada pendampingan kepada para petani,” tegasnya.

Lebih lanjut dikatakannya, saat ini pihaknya tengah memprogramkan rencana pengembangan bawang merah di Kalteng menggunakan benih biji. Tidak lagi mengandalakan benih umbi. Namun petani Kalteng belum familiar dengan budi daya benih dari biji melalui semai. Budi daya ini tidak memakan biaya yang besar.

“Menggunakan benih dari umbi ini juga penangkar masih dari Jawa Tengah dan biaya masih cukup besar, ketersediaan benih juga menjadi masalah, karena setelah panen di penangkar, tidak bisa langsung dikirim, harus dikeringkan dahulu, apalagi mau dikirim ke luar pulau, mesti melalui proses karantina,” ucapnya.

Baca Juga :  Selamat Datang Bayu Permana, Terima Kasih Yudianto Putrajaya

Saat ini, lanjut dia, ada satu petani penangkar di Kabupaten Kapuas yang sedang mencoba mengembangkan budi daya ini, meski masih dalam skala kecil. Apabila terus dibina dan didukung, maka akan sangat membantu para petani bawang di Kalteng ke depan.

Ia menambahkan, tahun ini Kalteng mendapat bantuan benih biji dari Dirjen Hortikultura.

“Tahun ini kita dapat 40 hektare benih biji, 20 hektare di Kobar dan 20 hektare di Kapuas, tapi dua daerah ini tidak sanggup karena belum familiar dengan biji,” ujarnya.

Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran melalui APBD Kalteng juga memberikan bantuan 20 hektare benih umbi bawang merah untuk Kabupaten Kotim. “Mudah-mudahan dengan adanya bantuan ini, bisa membantu mencukupi kebutuhan bawang merah di Kalteng, terlebih saat masa paceklik nanti,” pungkasnya.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai bahwa kenaikan harga bapok khususnya bawang merupakan keteledoran pemerintah dalam pengawasan dan penindakan terhadap oknum-oknum tertentu.

“Ini kan jadi banyaknya penunggang bebas kayak penimbun, harusnya diproses secara hukum, apalagi dalam situasi pandemi seperti sekarang ini,” jelasnya kepada Jawa Pos, Kamis (3/3).

Apalagi kenaikan terjadi berbarengan. Hal ini tentu memunculkan kecurigaan publik soal pengendalian harga kebutuhan pokok di pasaran. Pemerintah diminta agar memiliki kemauan lebih dalam menurunkan harga pangan ini.

“Yang punya kapasitas memperbaiki itu adalah pemerintah,” tutur dia.

Trubus menilai pemerintah perlu konsisten dalam menjalankan kebijakan. Seperti segera melakukan intervensi apabila ada lonjakan harga yang tidak wajar. Jika seperti ini terus, kata dia, masyarakat bisa ‘mati’ perlahan.

“Yang punya kekuasaan itu kan pemerintah, jadi harus mereka yang mengatur, kalau diserahkan sama pasar, ya terjadi seperti ini, yang lemah makin tidak bertahan, sementara yang kaya itu tidak masalah,” imbuhnya.

Indonesia memiliki landasan UUD 1945, di mana tertulis di dalamnya perihal masyarakat adil dan makmur. Melihat kondisi saat ini, menurutnya, jauh dari filosofi bangsa.

“Sekarang negara sudah mau diarahkan ke kapitalistik, mengarah ke sana, jadi yang punya untung itu yang punya modal. Harusnya negara melarang. Undang-undang terkait monopoli kan ada, itu perlu ditegakkan,” pungkas dia. (abw/sja/ce/ram/ko)

Empat Daerah di Kalteng Penghasil Bawang Merah

PALANGKA RAYA-Sejumlah pedagang di Pasar Besar Palangka Raya yang menjual bahan-bahan keperluan dapur, tak menampik jika harga bahan pokok (bapok) mulai merangkak naik menjelang bulan Ramadan. Contohnya bawang merah, bawang putih, tahu, dan tempe.

Pedagang bernama Muhammad Azis menjelaskan, harga bawang merah saat ini berkisar Rp40-45 ribu/kilogram. Sebelumnya hanya Rp34-35 ribu/ kilogram. Sedangkan harga jual bawang putih berkisar Rp27-28 ribu/kilogram.

“Naiknya harga memang sudah dari tempat kami mengambil barang. Enggak tahu kenapa (harga, red) naik terus nih,” kata Azis kepada Kalteng Pos, Kamis (3/3).

Pria yang sudah dua tahun berjualan di pasar tersebut berharap kenaikan harga bawang khususnya bawang merah tidak berlanjut. “Kasian juga yang beli kalau harga bawang terus mahal,” ucapnya seraya melayani pembeli.

Pedagang lain, Soni menyebut kenaikan harga bawang dianggap merupakan hal yang biasa terjadi. Menurut prediksinya, kenaikan harga bawang tidak akan berlangsung lama. Kenaikan harga disebabkan karena kurangnya pasokan dari Pulau Jawa.

“Nanti kalau di Jawa sudah panen raya, pasti harganya turun lagi,” ucapnya.

Yang diutarakan Soni dibenarkan Azis, yang merupakan penyuplai bawang ke pedagang di Pasar Besar, tepatnya yang berjualan malam hingga subuh. Dikatakannya, ketika daerah-daerah penghasil bawang seperti Jawa Tengah, NTB, NTT, dan sejumlah daerah di Sulawesi panen secara serentak, otomatis harga bawang akan turun.

Azis yang sejak 2017 lalu menyuplai bawang ke pedagang Pasar Besar, sudah hafal waktu naik turunnya harga bawang. Ia sendiri biasa menyuplai 3-10 ton bawang merah dan putih. Disuplai tiga hari sekali ke pedagang di Pasar Besar. “Saat ini harga di Pulau Jawa sudah mencapai Rp30 ribu/kilogram,” ucapnya.

Sementara itu, pemerintah memprediksi bahwa kondisi paceklik akan terjadi pada pertengahan Mei- Juni. Sangat mungkin harga bawang merah akan mengalami kenaikan, bahkan hingga akhir tahun nanti.

Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagperin) Kalteng Aster Bonawaty mengatakan, kondisi paceklik harus diwaspadai. Apalagi bawang merah yang beredar di Kalteng ini sebagian besar disuplai dari luar Kalteng.

Hal ini masih dalam perkiraan berdasarkan hitung-hitungan prediksi adanya paceklik. Namun jika para petani bisa mempertahankan produksi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, maka produksi bawang merah tidak akan mengalami perubahan. Juga tidak akan ada masalah soal harga maupun stok atau persediaan.

“Jika di Kalteng ini ada produksi dan bisa mem-back up, maka stok bawang merah akan aman, tapi sejauh ini paling banyak disuplai dari luar Kalteng,” ujarnya kepada Kalteng Pos.

Baca Juga :  Wilayah Utara Kotim Kembali Terendam Banjir

Kepala Dinas Ketahanan Pangan (DKP) Kalteng Sunarti mengatakan, dalam rangka menjaga stabilitas harga dan ketersediaan bawang merah, pihaknya berharap agar dinas terkait dalam hal ini Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Peternakan (DTPHP) Kalteng tetap menggalakkan penanaman selama masa paceklik.

“Karena pada bulan-bulan tersebut, petani kita sedang melakukan penanaman bawang, karena anggaran baru berjalan di bulan itu,” ucapnya.

“Hampir seluruh kabupaten ada petani bawang merah. Hanya saja persoalan utamanya, mereka cuman menanam sekali dalam setahun, yakni saat mendapat bantuan benih,” tambahnya.

Padahal dari segi hasil produksi tidak kalah dengan petani bawang di Pulau Jawa. Petani di Kalteng sebenarnya tidak hanya di sektor hortikultura, tapi juga di sektor pangan.

“Rata-rata petani Kalteng masih menggunakan pola memanam sekali setahun, untuk itu kami mulai mengubah mindset mereka (petani, red) untuk bisa menanam lebih dari sekali dalam setahun dengan varietas yang bagus,” ucapnya.

Saat ini di Kalteng sudah ada empat daerah yang memproduski bawang merah, meski bukan skala usaha. Yakni di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kotawaringin Timur (Kotim), Pulang Pisau (Pulpis), dan Kapuas.

Selain empat daerah itu, Kabupaten Barito Timur (Bartim) dan Barito Utara (Batara) sebetulnya juga berpotensi menghasilkan bawang merah, karena memiliki tanah yang subur.

“Secara umum Kalteng ini memang berpotensi memproduski bawang merah, kecuali bawang putih yang harus dekat dengan laut. Kontur tanah di Kalteng ini sebenarnya mendukung, karena bawang merah harus ditanam di dataran rendah,” kata Kepala DTPHP Kalteng Riza Rahmadi.

Namun ada beberapa kendala petani di Kalteng dalam membudidayakan bawang merah. Di antaranya, sumber benih dan tingkat keribetan serta risiko yang besar bagi petani, lantaran budi daya bawang merah tidaklah mudah.

“Karena itu perlu ada pendampingan kepada para petani,” tegasnya.

Lebih lanjut dikatakannya, saat ini pihaknya tengah memprogramkan rencana pengembangan bawang merah di Kalteng menggunakan benih biji. Tidak lagi mengandalakan benih umbi. Namun petani Kalteng belum familiar dengan budi daya benih dari biji melalui semai. Budi daya ini tidak memakan biaya yang besar.

“Menggunakan benih dari umbi ini juga penangkar masih dari Jawa Tengah dan biaya masih cukup besar, ketersediaan benih juga menjadi masalah, karena setelah panen di penangkar, tidak bisa langsung dikirim, harus dikeringkan dahulu, apalagi mau dikirim ke luar pulau, mesti melalui proses karantina,” ucapnya.

Baca Juga :  Selamat Datang Bayu Permana, Terima Kasih Yudianto Putrajaya

Saat ini, lanjut dia, ada satu petani penangkar di Kabupaten Kapuas yang sedang mencoba mengembangkan budi daya ini, meski masih dalam skala kecil. Apabila terus dibina dan didukung, maka akan sangat membantu para petani bawang di Kalteng ke depan.

Ia menambahkan, tahun ini Kalteng mendapat bantuan benih biji dari Dirjen Hortikultura.

“Tahun ini kita dapat 40 hektare benih biji, 20 hektare di Kobar dan 20 hektare di Kapuas, tapi dua daerah ini tidak sanggup karena belum familiar dengan biji,” ujarnya.

Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran melalui APBD Kalteng juga memberikan bantuan 20 hektare benih umbi bawang merah untuk Kabupaten Kotim. “Mudah-mudahan dengan adanya bantuan ini, bisa membantu mencukupi kebutuhan bawang merah di Kalteng, terlebih saat masa paceklik nanti,” pungkasnya.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai bahwa kenaikan harga bapok khususnya bawang merupakan keteledoran pemerintah dalam pengawasan dan penindakan terhadap oknum-oknum tertentu.

“Ini kan jadi banyaknya penunggang bebas kayak penimbun, harusnya diproses secara hukum, apalagi dalam situasi pandemi seperti sekarang ini,” jelasnya kepada Jawa Pos, Kamis (3/3).

Apalagi kenaikan terjadi berbarengan. Hal ini tentu memunculkan kecurigaan publik soal pengendalian harga kebutuhan pokok di pasaran. Pemerintah diminta agar memiliki kemauan lebih dalam menurunkan harga pangan ini.

“Yang punya kapasitas memperbaiki itu adalah pemerintah,” tutur dia.

Trubus menilai pemerintah perlu konsisten dalam menjalankan kebijakan. Seperti segera melakukan intervensi apabila ada lonjakan harga yang tidak wajar. Jika seperti ini terus, kata dia, masyarakat bisa ‘mati’ perlahan.

“Yang punya kekuasaan itu kan pemerintah, jadi harus mereka yang mengatur, kalau diserahkan sama pasar, ya terjadi seperti ini, yang lemah makin tidak bertahan, sementara yang kaya itu tidak masalah,” imbuhnya.

Indonesia memiliki landasan UUD 1945, di mana tertulis di dalamnya perihal masyarakat adil dan makmur. Melihat kondisi saat ini, menurutnya, jauh dari filosofi bangsa.

“Sekarang negara sudah mau diarahkan ke kapitalistik, mengarah ke sana, jadi yang punya untung itu yang punya modal. Harusnya negara melarang. Undang-undang terkait monopoli kan ada, itu perlu ditegakkan,” pungkas dia. (abw/sja/ce/ram/ko)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/