PALANGKA RAYA-Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Palangka Raya dari Komisi I dan III memanggil Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Cabang Kota Palangka Raya untuk mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) di Gedung DPRD Kota Palangka Raya, Kamis (2/1/2025) lalu.
Pemanggilan BPJS dalam RDP tersebut diduga karena fasilitas kesehatan di Kota Palangka Raya tidak menyediakan obat yang diperlukan pasien secara lengkap.
Anggota Komisi III DPRD Kota Palangka Raya, Arif M Norkim, menegaskan bahwa fasilitas kesehatan wajib memastikan ketersediaan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai indikasi medis.
Hal ini sejalan dengan aturan yang tertuang dalam regulasi terkait, yang menegaskan bahwa fasilitas kesehatan harus menjamin kebutuhan pasien tanpa terkecuali.
Arif menyoroti bahwa fasilitas kesehatan yang tidak memiliki sarana penunjang wajib menjalin kerja sama dengan fasilitas lain untuk menjamin ketersediaan obat.
Artinya, tidak ada alasan apotek menyatakan obat tidak tersedia. BPJS siap membayarkan berapa pun biaya obat yang dibutuhkan.
“Jika ada apotek yang mengatakan obat tidak ada, mereka harus mencarinya. Biayanya akan ditanggung BPJS, karena sudah ada peraturan yang mengaturnya,” ujarnya saat mengikuti RDP.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini juga mengingatkan agar masyarakat tidak dipersulit dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.
“Jangan sampai ada masyarakat yang susah itu disusahkan lagi. Kasian mereka. Saya sudah pernah menyampaikan hal ini sebelumnya. Kami bertindak berdasarkan fakta dan aturan yang ada. Bukan sekadar opini,” ungkapnya.
Sementara itu, perwakilan BPJS Kesehatan Kota Palangka Raya Linda mengatakan, semua obat yang terakomodir atau diklaim di BPJS Kesehatan merupakan obat yang telah terdaftar di formularium.
Diketahui obat formularium adalah obat yang tercantum dalam daftar obat yang disusun oleh negara, pemerintah daerah, atau rumah sakit.
Daftar obat ini digunakan sebagai acuan untuk memilih obat, menulis resep, dan mengelola obat.
Di Indonesia, daftar obat formularium disebut formularium nasional (fornas).
Fornas disusun oleh Komite Nasional Penyusunan Fornas berdasarkan bukti ilmiah mutakhir.
“Fornas berisi obat-obatan yang disetujui Kementerian Kesehatan untuk diresepkan di seluruh Indonesia,” ungkapnya.
Sebelum apoteker memberikan obat kepada pasien, tentu ada peran dokter dalam meresep obat sesuai kebutuhan.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Palangka Raya dr Tagor Sibarani menjelaskan, prinsip peresepan obat oleh dokter yang harus berlandaskan pada diagnosa dan panduan praktik kedokteran.
Dalam proses peresepan obat, dokter melakukan prosedur yang disebut pesidiagnostik untuk menentukan diagnosa.
Setelah itu, obat diberikan sesuai kebutuhan medis berdasarkan panduan praktik kedokteran nasional (PPK) atau standard operating procedure (SOP) di rumah sakit.
Menurutnya, saat ini dokter tidak bisa bebas meresepkan obat tanpa memperhatikan kebijakan rumah sakit.
Jika obat yang diresepkan dokter tidak termasuk dalam formularium nasional atau tidak tersedia di rumah sakit, pihak rumah sakit harus memiliki regulasi untuk mengganti obat tersebut dengan yang tersedia, asalkan memiliki fungsi yang sama.
Lebih lanjut, ia juga menyoroti perubahan dalam sistem pelayanan kesehatan.
Jika sebelumnya dokter hanya memiliki loyalitas kepada pasien (monoloyalitas), kini mereka juga harus mematuhi kebijakan rumah sakit (dualoyalitas).
“Dulu dokter fokus pada kebutuhan medis pasien. Namun, karena keterbatasan sistem paket layanan kesehatan saat ini, dokter harus menyeimbangkan antara kebutuhan pasien dan aturan rumah sakit,” ungkapnya.
Meski begitu, ia menekankan pentingnya kolaborasi antara dokter, rumah sakit, dan tim farmasi untuk memastikan pelayanan kesehatan yang optimal tanpa mengorbankan hak pasien untuk mendapatkan pengobatan terbaik.
Dengan adanya panduan praktik dan regulasi yang jelas, diharapkan tidak ada lagi konflik antara kebutuhan pasien dan kebijakan institusi kesehatan.(ham/ens)