Jumat, September 27, 2024
24.6 C
Palangkaraya

Ternyata Begini, Asal-usul Mihing Tercipta

PALANGKA RAYA-Mihing dipercaya oleh masyarakat Dayak di Kabupaten Gunung Mas (Gumas) sebagai alat memanggil ikan yang punya unsur mistiknya. Menurut Kitab Panaturan Suku Dayak Ngaju (Kitab Suci Hindu Kaharigan), kata mihing berasal dari bahasa Sangiang atau bahasa Sangen. Mihing juga dikenal dengan sebutan mihing manasa yang berarti memasuki. Dengan demikan, mihing manasa dapat diartikan sebagai perangkap untuk masuknya ikan, atau merupakan benda yang berisi penuh (panen) dengan ikan.

Salah satu sejarawan yang juga merupakan aparatur sipil negara (ASN) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kalteng Gauri Vidya Dhaneswara menceritakan, mihing punya kaitan erat dengan cerita legenda Rangan Mihing yang merujuk pada seorang kesatria Dayak bernama Bowak dari Desa Tumbang Danau, Kecamatan Mihing Raya, Gumas. Dari sana asal mula mihing terukir dalam kehidupan suku Dayak Ngaju di Sungai Kahayan.

Gauri menuturkan, Bowak punya pekerjaan sehari-hari sebagai pemelihara babi. Tiap hari ia bekerja dengan tekun dan rajin. Namun suatu saat ia merasa lelah dan jenuh dengan pekerjaannya itu. Kemudian ia memotong batang keladi untuk makanan ternak babi sembari mengarungut atau mandak. Bowak berujar; “Narai kajarian kea gawi kalutuh, nasang tingang dia bahelat andau, maraga kalawet isen sankelang pandang kalaman”.

“Kalau diartikan; kapan pekerjan ini berakhir,” jelas Gauri.

Ucapan Bowak rupanya terdengar oleh Sangiang (Dewa Langit), yang kemudian tertarik dan memerintahkan bawahannya menjemput Bowak ke langit. Saat sudah berada di tempat raja langit, Bowak diuji kemampuannya. Salah satu ujian yang dihadapi adalah berburu burung Tingang dengan menggunakan sipet. Karena memiliki keahlian berburu, ujian itu cukup mudah baginya. Bowak jadi terkenal seantero langit karena mampu melakukan pekerjaan dan tantangan dengan baik.

“Saat pembuatan mihing, raja khawatir Bowak akan mencuri barang yang mereka buat dan melihat cara pembuatannya. Maka Sahawung menempatkan Bowak di sebuah tempat yang disebut Sambah Gandang Garantung Manah (balai tempat penyimpanan musik Gandang Garantung).

“Karena penasaran, Bowak mengelabui para pekerja dengan berbicara seolah-olah bisa melihat. Bowak pun dipindahkan ke Balai Jala Bulau Nihing Langit. Ia kembali mengelabui bahwa dia masih bisa melihat apa yang mereka kerjakan. Kemudian dipindahkan lagi ke tempat yang terbuka. Saat itu Bowak berlagak seolah-olah tidak melihat dan berupaya mengigat cara pembuata mihing,” terang Gauri menceritakan kisah Bowak.

Namun saat mihing itu selesai dibuat, betapa terkejut Bowak melihat ada begitu banyak harta seperti balanga, gong, emas, intan, dan sebagainya masuk ke dalamnya.

“Setelah beberapa lama, Bowak kembali diturunkan ke desa asalnya. Di kampung halamannya, Bowak mulai mengingat kembali bahan-bahan dan cara atau proses membuat mihing,” cerita Gauri.

Ketika mihing selesai dibuat, alat tersebut bergoyang karena dimasuki barang-barang berharga, seperti gong, balanga, emas, intan, dan barang berharga lainnya. Karena mihing tersebut dibangun di depan rumah Bowak, orang-orang sekampung takjub saat melihat aneka barang berharga itu. Bowak pun jadi kaya mendadak. Tak lupa Bowak menyuruh orang-orang sekampungnya mengambil sebagian harta benda yang muncul dari dalam mihing itu.

Ternyata satu per satu harta benda milik raja langit hilang tertarik oleh mihing buatan Bowak. Setelah itu Sahawung lalu turun ke Pantai Danum Kalunen untuk melihat apakah kejadian itu karena ulah Bowak. Ternyata benar. Barang-barang yang hilang itu karena ulah Bowak.

“Sahawung lalu memanggil Bowak dan mengingatkan Bowak dan orang kampungnya soal barang-barang berharga yang didaptkan dari mihing, karena hanya akan membuat mereka malas bekerja, karena kodrat manusia harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang diinginkan,” tambah Gauri.

Alhasil Bowak dan orang-orang saat itu tidak diperbolehkan lagi membuat mihing. Sahawung hanya mengizinkan mihing digunakan di sungai untuk memanggil ikan. Mihing hanya boleh dibagun di Sungai Kahayan, dengan batasnya dari hilir Sungai Kahayan tepatnya di Desa Tangkahen, Kecamatan Banama Tingang, Kabupaten Pulang Pisau hingga hulu Sungai Kahayan di Desa Rangan Mihing, Kecamatan Tewah, Gunung Mas.

Gauri mengatakan, saat ini keberadaan mihing tidak ditemukan lagi. Tinggal legenda saja. Orang yang bisa membuatnya pun sudah meninggal. Bahkan mihing yang terdapat di Museum Balanga sudah lama dibuat oleh saksi mata yang pernah melihat kerangka mihing terakhir. Orang Dayak Ngaju hanya bisa mendengarkan cerita orang tua perihal alat pemanggil ikan yang dinamai mihing.

Berdasarkan cerita turun-temurun, mihing digunakan dengan cara diletakkan tepat di tengah sungai. Di mana ujung mihing di bagian kapatung ditenggelamkan ke dasar sungai, sementara ujung yang lainnya berada di permukaan sungai. Tujuannya agar ikan bisa terjebak. Setelah itu mihing diletakkan, diikatlah pada beberapa bagian agar tak hanyut oleh arus sungai yang deras.

Setelah bagian lumpat dipastikan terikat, tinggal menunggu waktu panennya. Karena arah mulut kapatung berlawanan dengan arus air sungai, alhasil ikan akan terseret arus hingga masuk ke dalam mihing.

Ikan yang terjebak akan menggelepar dan tidak bisa keluar lagi karena dorongan arus yang kuat dari kapatung. Otomatis ikan akan terdorong ke bagian mihing yang tinggi. Karena saat posisi mihing meninggi, air akan otomatis keluar dari sela-sela belahan bambu yang disusun sedemikian rupa itu.

“Saat memanen ikan, orang dahulu tidak menggunakan senjata tajam seperti tombak, karena mereka punya keyakinan tidak boleh ada darah ikan di sekitar mihing, maka dianjurkan menggunakan tangan atau pun alat tangkap seperti serok,” tegas Gauri. (irj/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Mihing dipercaya oleh masyarakat Dayak di Kabupaten Gunung Mas (Gumas) sebagai alat memanggil ikan yang punya unsur mistiknya. Menurut Kitab Panaturan Suku Dayak Ngaju (Kitab Suci Hindu Kaharigan), kata mihing berasal dari bahasa Sangiang atau bahasa Sangen. Mihing juga dikenal dengan sebutan mihing manasa yang berarti memasuki. Dengan demikan, mihing manasa dapat diartikan sebagai perangkap untuk masuknya ikan, atau merupakan benda yang berisi penuh (panen) dengan ikan.

Salah satu sejarawan yang juga merupakan aparatur sipil negara (ASN) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kalteng Gauri Vidya Dhaneswara menceritakan, mihing punya kaitan erat dengan cerita legenda Rangan Mihing yang merujuk pada seorang kesatria Dayak bernama Bowak dari Desa Tumbang Danau, Kecamatan Mihing Raya, Gumas. Dari sana asal mula mihing terukir dalam kehidupan suku Dayak Ngaju di Sungai Kahayan.

Gauri menuturkan, Bowak punya pekerjaan sehari-hari sebagai pemelihara babi. Tiap hari ia bekerja dengan tekun dan rajin. Namun suatu saat ia merasa lelah dan jenuh dengan pekerjaannya itu. Kemudian ia memotong batang keladi untuk makanan ternak babi sembari mengarungut atau mandak. Bowak berujar; “Narai kajarian kea gawi kalutuh, nasang tingang dia bahelat andau, maraga kalawet isen sankelang pandang kalaman”.

“Kalau diartikan; kapan pekerjan ini berakhir,” jelas Gauri.

Ucapan Bowak rupanya terdengar oleh Sangiang (Dewa Langit), yang kemudian tertarik dan memerintahkan bawahannya menjemput Bowak ke langit. Saat sudah berada di tempat raja langit, Bowak diuji kemampuannya. Salah satu ujian yang dihadapi adalah berburu burung Tingang dengan menggunakan sipet. Karena memiliki keahlian berburu, ujian itu cukup mudah baginya. Bowak jadi terkenal seantero langit karena mampu melakukan pekerjaan dan tantangan dengan baik.

“Saat pembuatan mihing, raja khawatir Bowak akan mencuri barang yang mereka buat dan melihat cara pembuatannya. Maka Sahawung menempatkan Bowak di sebuah tempat yang disebut Sambah Gandang Garantung Manah (balai tempat penyimpanan musik Gandang Garantung).

“Karena penasaran, Bowak mengelabui para pekerja dengan berbicara seolah-olah bisa melihat. Bowak pun dipindahkan ke Balai Jala Bulau Nihing Langit. Ia kembali mengelabui bahwa dia masih bisa melihat apa yang mereka kerjakan. Kemudian dipindahkan lagi ke tempat yang terbuka. Saat itu Bowak berlagak seolah-olah tidak melihat dan berupaya mengigat cara pembuata mihing,” terang Gauri menceritakan kisah Bowak.

Namun saat mihing itu selesai dibuat, betapa terkejut Bowak melihat ada begitu banyak harta seperti balanga, gong, emas, intan, dan sebagainya masuk ke dalamnya.

“Setelah beberapa lama, Bowak kembali diturunkan ke desa asalnya. Di kampung halamannya, Bowak mulai mengingat kembali bahan-bahan dan cara atau proses membuat mihing,” cerita Gauri.

Ketika mihing selesai dibuat, alat tersebut bergoyang karena dimasuki barang-barang berharga, seperti gong, balanga, emas, intan, dan barang berharga lainnya. Karena mihing tersebut dibangun di depan rumah Bowak, orang-orang sekampung takjub saat melihat aneka barang berharga itu. Bowak pun jadi kaya mendadak. Tak lupa Bowak menyuruh orang-orang sekampungnya mengambil sebagian harta benda yang muncul dari dalam mihing itu.

Ternyata satu per satu harta benda milik raja langit hilang tertarik oleh mihing buatan Bowak. Setelah itu Sahawung lalu turun ke Pantai Danum Kalunen untuk melihat apakah kejadian itu karena ulah Bowak. Ternyata benar. Barang-barang yang hilang itu karena ulah Bowak.

“Sahawung lalu memanggil Bowak dan mengingatkan Bowak dan orang kampungnya soal barang-barang berharga yang didaptkan dari mihing, karena hanya akan membuat mereka malas bekerja, karena kodrat manusia harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang diinginkan,” tambah Gauri.

Alhasil Bowak dan orang-orang saat itu tidak diperbolehkan lagi membuat mihing. Sahawung hanya mengizinkan mihing digunakan di sungai untuk memanggil ikan. Mihing hanya boleh dibagun di Sungai Kahayan, dengan batasnya dari hilir Sungai Kahayan tepatnya di Desa Tangkahen, Kecamatan Banama Tingang, Kabupaten Pulang Pisau hingga hulu Sungai Kahayan di Desa Rangan Mihing, Kecamatan Tewah, Gunung Mas.

Gauri mengatakan, saat ini keberadaan mihing tidak ditemukan lagi. Tinggal legenda saja. Orang yang bisa membuatnya pun sudah meninggal. Bahkan mihing yang terdapat di Museum Balanga sudah lama dibuat oleh saksi mata yang pernah melihat kerangka mihing terakhir. Orang Dayak Ngaju hanya bisa mendengarkan cerita orang tua perihal alat pemanggil ikan yang dinamai mihing.

Berdasarkan cerita turun-temurun, mihing digunakan dengan cara diletakkan tepat di tengah sungai. Di mana ujung mihing di bagian kapatung ditenggelamkan ke dasar sungai, sementara ujung yang lainnya berada di permukaan sungai. Tujuannya agar ikan bisa terjebak. Setelah itu mihing diletakkan, diikatlah pada beberapa bagian agar tak hanyut oleh arus sungai yang deras.

Setelah bagian lumpat dipastikan terikat, tinggal menunggu waktu panennya. Karena arah mulut kapatung berlawanan dengan arus air sungai, alhasil ikan akan terseret arus hingga masuk ke dalam mihing.

Ikan yang terjebak akan menggelepar dan tidak bisa keluar lagi karena dorongan arus yang kuat dari kapatung. Otomatis ikan akan terdorong ke bagian mihing yang tinggi. Karena saat posisi mihing meninggi, air akan otomatis keluar dari sela-sela belahan bambu yang disusun sedemikian rupa itu.

“Saat memanen ikan, orang dahulu tidak menggunakan senjata tajam seperti tombak, karena mereka punya keyakinan tidak boleh ada darah ikan di sekitar mihing, maka dianjurkan menggunakan tangan atau pun alat tangkap seperti serok,” tegas Gauri. (irj/ce/ala)

Artikel Terkait