Jumat, November 22, 2024
23.5 C
Palangkaraya

Berantas Mafia Tanah, Satgas Duga Ada Puluhan Surat Verklaring Rekayasa

PALANGKA RAYA-Keberadaan mafia tanah di Kalteng harus segera diberangus. Diduga masih banyak oknum mafia tanah yang menguasai lahan secara ilegal di wilayah Kota Palangka Raya. Rata-rata mereka berhasil menguasai ratusan hektare (ha) tanah hanya bermodal surat verklaring. Padahal berdasarkan Undang-Undang (UU) Pokok Agraria Tahun 1960, dokumen verklaring sudah tidak berlaku lagi.

Satu pelaku mafia tanah, Madie Goening Sius, yang menguasai ratusan hektare lahan di kawasan Hiu Putih dan Badak telah dibekuk Polda Kalteng. Selain Madie, diduga masih ada banyak mafia tanah yang menguasai tanah dengan dokumen verklaring (data selengkapnya pada grafis). Data tersebut dibeberkan oleh Ketua Satgas Anti Mafia Tanah Kalteng Watch Ir Men Gumpul Cilan Muhammad alias Men Gumpul.

 

Menyikapi keberadaan mafia tanah di Kota Palangka Raya, Men Gumpul meminta pemerintah daerah untuk proaktif agar permasalahan konflik lahan di ibu kota Provinsi Kalteng ini bisa diminimalkan dan dicegah.

 

“Pemerintah harus bertindak proaktif mendata kepemilikan tanah di seluruh Palangka Raya, tidak cuma menunggu datangnya laporan warga atau cuman turun saat ada sengketa tanah,” kata Men Gumpul kepada Kalteng Pos saat ditemui di kediamannya, Minggu (5/2).

 

Salah satu upaya yang harus segera dilakukan oleh pemerintah, lanjut Men Gumpul, adalah melakukan penertiban data-data administrasi terkait arsip pertanahan di Kota Palangka Raya. Bank data terkait data status kepemilikan tanah atau lahan di wilayah kota harus segera dibuat.

 

“Penertiban bisa dilakukan dimulai dari tingkat RT, kemudian kelurahan, kecamatan, bahkan sampai tingkat BPN,” kata Men Gumpul sembari berharap BPN tidak sembarangan memproses pengurusan sertifikat hak milik (SHM) tanah yang diajukan warga hanya berdasarkan kelengkapan bukti surat/dokumen.

 

Dengan adanya penertiban terhadap seluruh data administrasi pertanahan atau kepemilikan tanah di Kota Palangka Raya, maka salah satu masalah yang sering muncul dalam konflik tanah, yakni terkait adanya dugaan pemalsuan surat kepemilikan tanah oleh oknum tertentu setidaknya dapat dikurangi.

 

“Bisa saja bukti yang mereka ajukan itu cuma rekayasa, di batas tanah dan warkah itu tertulis nama kelompok mafia tanah itu sendiri sebenarnya,” kata Men Gumpul yang mengakui sering menemukan kasus serupa saat ikut menangani konflik atau sengketa tanah.

 

Selain aktif melakukan penertiban terhadap data-data administrasi pertanahan di Kota Palangka Raya, kata Men Gumpul, pemerintah hendaknya melakukan penertiban terhadap oknum aparat pemerintah yang diduga ikut bermain bekerja sama dengan kelompok mafia tanah.

 

“Jangan sampai ada oknum aparat pemerintah atau penegak hukum yang ikut bermain dengan mafia tanah,” kata Men Gumpul sembari menyebut sering menerima keluhan warga terkait adanya oknum pemerintahan atau oknum penegak hukum yang ikut bermain dengan kelompok mafia tanah.

 

Menurut Men Gumpul, banyaknya permasalahan sengketa tanah di Palangka Raya, termasuk banyak warga yang menjadi korban penipuan berkaitan dengan jual beli tanah, tidak lepas dari adanya permainan kelompok mafia tanah ini.

 

Yang dimaksud dengan kelompok mafia tanah adalah sekolompok warga yang terdiri atas oknum warga sipil maupun oknum pegawai pemerintahan yang melakukan pendudukan paksa atau perebutan paksa atas objek tanah tertentu.

Baca Juga :  BPN: Dokumen Verklaring Sudah Tak Berlaku

 

“Tidak ada tanah di wilayah Kota Palangka Raya yang aman dari mafia tanah, saya katakan tidak ada,” ucap Men Gumpul dengan nada tegas.

 

Dikatakannya, sasaran kelompok mafia tanah pada umumnya adalah tanah atau lahan kosong yang dianggap tidak jelas kepemilikannya. Namun tak sedikit pula tanah atau lahan yang sudah dibangun oleh warga dan jelas status kepemilikannya, tapi tetap saja diklaim oleh kelompok mafia tanah sebagai tanah mereka.

 

Kelompok mafia tanah di Kota Palangka Raya ini terdiri dari berbagai kelompok. Modus yang sering digunakan para mafia tanah ini untuk mengklaim hak penguasaan atas sutau lahan atau tanah milik warga adalah dengan menggunakan surat keterangan yang  dikeluarkan oleh pemerintah Belanda (surat verklaring) yang menyebut bahwa tanah tersebut adalah  tanah adat.

 

“Verklaring sendiri sebenarnya adalah sebuah surat keterangan, bukan surat kepemilikan,” ungkapnya.

 

Men Gumpul menduga surat verklaring yang dimiliki para mafia tanah adalah surat verklaring palsu. Menurutnya surat verklaring asli memiliki ciri khas yakni dibuat di atas kertas verklaring. Kertas verklaring adalah produk buatan pemerintah Belanda, dengan ciri utama di dalam kertas tersebut terdapat logo dua ekor singa yang saling berhadapan.

 

“(Isi surat di dalam) kertas itu juga dibagi dua, yang satu menggunakan bahasa Indonesia bercampur bahasa Belanda dan sebelahnya lagi menggunakan bahasa Arab atau bahasa daerah setempat,” beber Men Gumpul dan menambahkan bahwa surat verklaring tersebut biasanya ditandatangani oleh pejabat wedana dan asisten wedana.

 

“Wedana itu sama dengan bupati, sedangkan asisten wedana itu setingkat camat,” ujarnya.

 

Sedangkan surat verklaring yang dimiliki oleh para mafia tanah umumnya memiliki ciri-ciri menggunakan surat kertas segel dengan tahun surat pada kertas segel dimulai tahun 1958 sampai tahun 1970-an.

 

Selain itu, ada banyak pihak yang bertanda tangan dalam surat verklaring diduga palsu tersebut. Mulai dari kepala kampung, asisten wedana, sampai pihak lembaga adat.

 

“Saya menduga semua surat verklaring itu palsu dan penuh rekayasa,” kata Men Gumpul sembari menyebut klaim kepemilikan tanah berdasarkan surat verklaring sering terjadi di wilayah Kecamatan   Jekan Raya dan Kecamatan Sebangau.

 

“Mengerucut di wilayah Jekan Raya, klaim kepemilikan tanah berdasarkan verklaring banyak terjadi di wilayah Jalan Badak dan Hiu Putih,” tambahnya.

 

Di kawasan Jalan Badak dan Hiu Putih, lanjutnya, ada sekitar 11 surat verklaring yang saling mengklaim sebagai pemilik tanah di wilayah tersebut.

 

“Semua surat verklaring itu tumpang tindih, luas yang diklaim juga tidak tanggung tanggung, mencapai ratusan hektare,” katanya.

 

Lebih lanjut ia mengatakan, surat verklaring milik para oknum tersebut justru tumpang tindih dengan surat sertifikat hak milik (SHM) warga yang dikeluarkan oleh pemerintah.

 

Satu hal yang mendasari Men Gumpul berani mengatakan bahwa surat verklaring yang dimiliki oknum warga tersebut diduga palsu, karena klaim kepemilikan tanah berdasarkan surat verklaring marak terjadi sekitar di atas tahun 2001 atau setelah terjadinya peristiwa kerusuhan etnis di wilayah Kalteng.

Baca Juga :  Keabsahan Sertifikat Hj Musrifah Diragukan

 

“Kalau verklaring tanah adat itu benar, (misalnya) tahun 1960 terbitnya, kenapa pada saat PT Kayon dulu menggarap tanah di wilayah Jota Palangka Raya sekitar tahun 1971 sampai 1976, mereka tidak menggugat, kenapa baru sekarang digugat,” ujar Men Gumpul.

Dikatakannya bahwa kebanyakan tanah yang diklaim berdasarkan surat verklaring tersebut dahulunya merupakan wilayah garapan perusahaan HPH PT Kayon. Wilayah garapan mencakup wilayah Jalan Badak dan Hiu Putih.

 

“Setelah digarap PT Kayon, tanah tersebut kemudian menjadi milik pemda,” bebernya menceritakan kronologi kepemilikan tanah di wilayah Jalan Hiu Putih dan Jalan Badak.

 

Setelah tanah garapan PT Kayon menjadi milik pemda, kemudian pemda memutuskan untuk membagi-bagikan tanah di wilayah itu kepada para warga Kota Palangka Raya, khususnya yang berprofesi sebagai ASN di kantor instansi Pemprov Kalteng maupun Pemko Palangka Raya. Tanah yang dibagi-bagikan itu dibuat sertifikat oleh pemda.

 

“Jumlah sertifikat yang diberi dan dibagikan oleh pemda sekitar 3.103 persil, termasuk tanah padum milik pemda ada di situ,” katanya sembari menyebut bahwa semua sertifikat tanah yang dibagikan itu terbit tahun 1997 dan 1998.

 

Men Gumpul menyebutkan, salah satu kasus dugaan pemalsuan surat verklaring khusus di wilayah Jalan Badak dan Hiu Putih, termasuk mengklaim wilayah tanah pemda tersebut adalah kasus tersangka Madie Goening Sius.

 

“Perkara pidana dugaan pemalsuan surat verklaring oleh Madie Goening Sius yang baru ditahan Polda Kalteng kemarin merupakan salah satu contoh, yang bersangkutan itu adalah  salah satu pihak dari 11 pihak yang mengklaim sebagai pemilik  tanah berdasarkan surat verklaring di wilayah Jalan Badak dan Hiu Putih,” ujar Men Gumpul.

 

Dengan terungkapnya kasus dugaan pemalsuan surat verklaring oleh tersangka Madie, Men Gumpul mendesak pihak kepolisian untuk meneliti keaslian surat-surat verklaring lainnya.

 

Ia juga berpesan kepada warga yang ingin membeli tanah di wilayah Kota Palangka Raya untuk selalu hati-hati dan teliti sebelum bertransaksi.  Sebelum melakukan transaksi jual beli tanah, warga sebaiknya terlebih dahulu mengumpulkan informasi terkait tanah yang akan dibeli. Terutama informasi menyangkut legalitas kepemilikan tanah yang akan dibeli.

 

Dikatakan Men Gumpul, tidak semua bukti kepemilikan tanah yang disodorkan pihak yang mengaku pemilik tanah, seperti SKT, SPPT, bahkan sertifikat merupakan surat yang benar-benar sah. Karena itu, mencari informasi sebanyak-banyaknya terkait tanah yang akan dibeli, merupakan salah satu cara terbaik bagi warga untuk menghindari terjadinya konflik kepemilikan tanah di kemudian hari.

 

“Pastikan soal sejarah tanah itu, apa yang menjadi dasarnya, siapa pemilik tanah itu, dari mana dia mendapatkan tanah itu sebelumnya, cek juga dengan pihak pemilik tanah di batas kiri dan kanan, pokoknya semua hal yang dianggap penting dan perlu diketahui,” pungkasnya. (sja/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Keberadaan mafia tanah di Kalteng harus segera diberangus. Diduga masih banyak oknum mafia tanah yang menguasai lahan secara ilegal di wilayah Kota Palangka Raya. Rata-rata mereka berhasil menguasai ratusan hektare (ha) tanah hanya bermodal surat verklaring. Padahal berdasarkan Undang-Undang (UU) Pokok Agraria Tahun 1960, dokumen verklaring sudah tidak berlaku lagi.

Satu pelaku mafia tanah, Madie Goening Sius, yang menguasai ratusan hektare lahan di kawasan Hiu Putih dan Badak telah dibekuk Polda Kalteng. Selain Madie, diduga masih ada banyak mafia tanah yang menguasai tanah dengan dokumen verklaring (data selengkapnya pada grafis). Data tersebut dibeberkan oleh Ketua Satgas Anti Mafia Tanah Kalteng Watch Ir Men Gumpul Cilan Muhammad alias Men Gumpul.

 

Menyikapi keberadaan mafia tanah di Kota Palangka Raya, Men Gumpul meminta pemerintah daerah untuk proaktif agar permasalahan konflik lahan di ibu kota Provinsi Kalteng ini bisa diminimalkan dan dicegah.

 

“Pemerintah harus bertindak proaktif mendata kepemilikan tanah di seluruh Palangka Raya, tidak cuma menunggu datangnya laporan warga atau cuman turun saat ada sengketa tanah,” kata Men Gumpul kepada Kalteng Pos saat ditemui di kediamannya, Minggu (5/2).

 

Salah satu upaya yang harus segera dilakukan oleh pemerintah, lanjut Men Gumpul, adalah melakukan penertiban data-data administrasi terkait arsip pertanahan di Kota Palangka Raya. Bank data terkait data status kepemilikan tanah atau lahan di wilayah kota harus segera dibuat.

 

“Penertiban bisa dilakukan dimulai dari tingkat RT, kemudian kelurahan, kecamatan, bahkan sampai tingkat BPN,” kata Men Gumpul sembari berharap BPN tidak sembarangan memproses pengurusan sertifikat hak milik (SHM) tanah yang diajukan warga hanya berdasarkan kelengkapan bukti surat/dokumen.

 

Dengan adanya penertiban terhadap seluruh data administrasi pertanahan atau kepemilikan tanah di Kota Palangka Raya, maka salah satu masalah yang sering muncul dalam konflik tanah, yakni terkait adanya dugaan pemalsuan surat kepemilikan tanah oleh oknum tertentu setidaknya dapat dikurangi.

 

“Bisa saja bukti yang mereka ajukan itu cuma rekayasa, di batas tanah dan warkah itu tertulis nama kelompok mafia tanah itu sendiri sebenarnya,” kata Men Gumpul yang mengakui sering menemukan kasus serupa saat ikut menangani konflik atau sengketa tanah.

 

Selain aktif melakukan penertiban terhadap data-data administrasi pertanahan di Kota Palangka Raya, kata Men Gumpul, pemerintah hendaknya melakukan penertiban terhadap oknum aparat pemerintah yang diduga ikut bermain bekerja sama dengan kelompok mafia tanah.

 

“Jangan sampai ada oknum aparat pemerintah atau penegak hukum yang ikut bermain dengan mafia tanah,” kata Men Gumpul sembari menyebut sering menerima keluhan warga terkait adanya oknum pemerintahan atau oknum penegak hukum yang ikut bermain dengan kelompok mafia tanah.

 

Menurut Men Gumpul, banyaknya permasalahan sengketa tanah di Palangka Raya, termasuk banyak warga yang menjadi korban penipuan berkaitan dengan jual beli tanah, tidak lepas dari adanya permainan kelompok mafia tanah ini.

 

Yang dimaksud dengan kelompok mafia tanah adalah sekolompok warga yang terdiri atas oknum warga sipil maupun oknum pegawai pemerintahan yang melakukan pendudukan paksa atau perebutan paksa atas objek tanah tertentu.

Baca Juga :  BPN: Dokumen Verklaring Sudah Tak Berlaku

 

“Tidak ada tanah di wilayah Kota Palangka Raya yang aman dari mafia tanah, saya katakan tidak ada,” ucap Men Gumpul dengan nada tegas.

 

Dikatakannya, sasaran kelompok mafia tanah pada umumnya adalah tanah atau lahan kosong yang dianggap tidak jelas kepemilikannya. Namun tak sedikit pula tanah atau lahan yang sudah dibangun oleh warga dan jelas status kepemilikannya, tapi tetap saja diklaim oleh kelompok mafia tanah sebagai tanah mereka.

 

Kelompok mafia tanah di Kota Palangka Raya ini terdiri dari berbagai kelompok. Modus yang sering digunakan para mafia tanah ini untuk mengklaim hak penguasaan atas sutau lahan atau tanah milik warga adalah dengan menggunakan surat keterangan yang  dikeluarkan oleh pemerintah Belanda (surat verklaring) yang menyebut bahwa tanah tersebut adalah  tanah adat.

 

“Verklaring sendiri sebenarnya adalah sebuah surat keterangan, bukan surat kepemilikan,” ungkapnya.

 

Men Gumpul menduga surat verklaring yang dimiliki para mafia tanah adalah surat verklaring palsu. Menurutnya surat verklaring asli memiliki ciri khas yakni dibuat di atas kertas verklaring. Kertas verklaring adalah produk buatan pemerintah Belanda, dengan ciri utama di dalam kertas tersebut terdapat logo dua ekor singa yang saling berhadapan.

 

“(Isi surat di dalam) kertas itu juga dibagi dua, yang satu menggunakan bahasa Indonesia bercampur bahasa Belanda dan sebelahnya lagi menggunakan bahasa Arab atau bahasa daerah setempat,” beber Men Gumpul dan menambahkan bahwa surat verklaring tersebut biasanya ditandatangani oleh pejabat wedana dan asisten wedana.

 

“Wedana itu sama dengan bupati, sedangkan asisten wedana itu setingkat camat,” ujarnya.

 

Sedangkan surat verklaring yang dimiliki oleh para mafia tanah umumnya memiliki ciri-ciri menggunakan surat kertas segel dengan tahun surat pada kertas segel dimulai tahun 1958 sampai tahun 1970-an.

 

Selain itu, ada banyak pihak yang bertanda tangan dalam surat verklaring diduga palsu tersebut. Mulai dari kepala kampung, asisten wedana, sampai pihak lembaga adat.

 

“Saya menduga semua surat verklaring itu palsu dan penuh rekayasa,” kata Men Gumpul sembari menyebut klaim kepemilikan tanah berdasarkan surat verklaring sering terjadi di wilayah Kecamatan   Jekan Raya dan Kecamatan Sebangau.

 

“Mengerucut di wilayah Jekan Raya, klaim kepemilikan tanah berdasarkan verklaring banyak terjadi di wilayah Jalan Badak dan Hiu Putih,” tambahnya.

 

Di kawasan Jalan Badak dan Hiu Putih, lanjutnya, ada sekitar 11 surat verklaring yang saling mengklaim sebagai pemilik tanah di wilayah tersebut.

 

“Semua surat verklaring itu tumpang tindih, luas yang diklaim juga tidak tanggung tanggung, mencapai ratusan hektare,” katanya.

 

Lebih lanjut ia mengatakan, surat verklaring milik para oknum tersebut justru tumpang tindih dengan surat sertifikat hak milik (SHM) warga yang dikeluarkan oleh pemerintah.

 

Satu hal yang mendasari Men Gumpul berani mengatakan bahwa surat verklaring yang dimiliki oknum warga tersebut diduga palsu, karena klaim kepemilikan tanah berdasarkan surat verklaring marak terjadi sekitar di atas tahun 2001 atau setelah terjadinya peristiwa kerusuhan etnis di wilayah Kalteng.

Baca Juga :  Keabsahan Sertifikat Hj Musrifah Diragukan

 

“Kalau verklaring tanah adat itu benar, (misalnya) tahun 1960 terbitnya, kenapa pada saat PT Kayon dulu menggarap tanah di wilayah Jota Palangka Raya sekitar tahun 1971 sampai 1976, mereka tidak menggugat, kenapa baru sekarang digugat,” ujar Men Gumpul.

Dikatakannya bahwa kebanyakan tanah yang diklaim berdasarkan surat verklaring tersebut dahulunya merupakan wilayah garapan perusahaan HPH PT Kayon. Wilayah garapan mencakup wilayah Jalan Badak dan Hiu Putih.

 

“Setelah digarap PT Kayon, tanah tersebut kemudian menjadi milik pemda,” bebernya menceritakan kronologi kepemilikan tanah di wilayah Jalan Hiu Putih dan Jalan Badak.

 

Setelah tanah garapan PT Kayon menjadi milik pemda, kemudian pemda memutuskan untuk membagi-bagikan tanah di wilayah itu kepada para warga Kota Palangka Raya, khususnya yang berprofesi sebagai ASN di kantor instansi Pemprov Kalteng maupun Pemko Palangka Raya. Tanah yang dibagi-bagikan itu dibuat sertifikat oleh pemda.

 

“Jumlah sertifikat yang diberi dan dibagikan oleh pemda sekitar 3.103 persil, termasuk tanah padum milik pemda ada di situ,” katanya sembari menyebut bahwa semua sertifikat tanah yang dibagikan itu terbit tahun 1997 dan 1998.

 

Men Gumpul menyebutkan, salah satu kasus dugaan pemalsuan surat verklaring khusus di wilayah Jalan Badak dan Hiu Putih, termasuk mengklaim wilayah tanah pemda tersebut adalah kasus tersangka Madie Goening Sius.

 

“Perkara pidana dugaan pemalsuan surat verklaring oleh Madie Goening Sius yang baru ditahan Polda Kalteng kemarin merupakan salah satu contoh, yang bersangkutan itu adalah  salah satu pihak dari 11 pihak yang mengklaim sebagai pemilik  tanah berdasarkan surat verklaring di wilayah Jalan Badak dan Hiu Putih,” ujar Men Gumpul.

 

Dengan terungkapnya kasus dugaan pemalsuan surat verklaring oleh tersangka Madie, Men Gumpul mendesak pihak kepolisian untuk meneliti keaslian surat-surat verklaring lainnya.

 

Ia juga berpesan kepada warga yang ingin membeli tanah di wilayah Kota Palangka Raya untuk selalu hati-hati dan teliti sebelum bertransaksi.  Sebelum melakukan transaksi jual beli tanah, warga sebaiknya terlebih dahulu mengumpulkan informasi terkait tanah yang akan dibeli. Terutama informasi menyangkut legalitas kepemilikan tanah yang akan dibeli.

 

Dikatakan Men Gumpul, tidak semua bukti kepemilikan tanah yang disodorkan pihak yang mengaku pemilik tanah, seperti SKT, SPPT, bahkan sertifikat merupakan surat yang benar-benar sah. Karena itu, mencari informasi sebanyak-banyaknya terkait tanah yang akan dibeli, merupakan salah satu cara terbaik bagi warga untuk menghindari terjadinya konflik kepemilikan tanah di kemudian hari.

 

“Pastikan soal sejarah tanah itu, apa yang menjadi dasarnya, siapa pemilik tanah itu, dari mana dia mendapatkan tanah itu sebelumnya, cek juga dengan pihak pemilik tanah di batas kiri dan kanan, pokoknya semua hal yang dianggap penting dan perlu diketahui,” pungkasnya. (sja/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/