Site icon KaltengPos

Makna dalam Kitab Suci Tetap Terjaga, Proses Penerjemahan Sangat Teliti

TIM PENERJEMAH: Ketua MUI Kalteng Prof Khairil Anwar bersama tim penerjemah saat membahas hasil terjemah Al-Qur'an ke bahasa Dayak Ngaju di Aula Pasca sarjana IAIN Palangka Raya, Jumat (20/9/2024)

Dalam upaya menjaga keberagaman bahasa daerah dan memperluas pemahaman ajaran agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Tengah telah menginisiasi penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Dayak Ngaju.

DHEA UMILATI, Palangka Raya

PROYEK penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Dayak Ngaju terus mendapat respons positif, terutama dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat. Terjemahan ini diinisiasi sebagai bentuk penghormatan kepada masyarakat Dayak, khususnya mereka yang tidak fasih berbahasa Indonesia, sehingga lebih mudah memahami Al-Qur’an. Hal ini sejalan dengan semangat menjaga keberagaman bahasa daerah di Indonesia.

Menurut Ketua MUI Kalteng Prof. H. Khairil Anwar, proyek penerjemahan ini dimulai sejak tahun 2022, dengan fokus awal pada Juz 30. Menurut perencanaan, tahun depan terjemahan akan dilanjutkan dengan versi lengkapnya, melalui kolaborasi antara Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Kementerian Agama.

“Saat ini tinggal 3-4 provinsi di Indonesia yang belum memiliki terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa daerah, termasuk Kalimantan Tengah. Kami memulainya dengan menerjemahkan Juz 30, dan akan dilanjutkan dengan versi lengkapnya oleh tim pusat penelitian dan pengembangan bekerja sama dengan IAIN,” ujarnya, Senin (30/9/2024).

Pemilihan bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa terjemahan didasarkan pada fakta bahwa bahasa ini merupakan yang paling banyak digunakan masyarakat Dayak. Dirinya sempat mempertanyakan alasan mengapa bukan bahasa Dayak Bakumpai, mengingat mayoritas penuturnya adalah penganut Islam. Namun, pemilihan bahasa Dayak Ngaju dianggap lebih representatif, karena jumlah penuturnya yang lebih besar dan mayoritas masyarakat non-muslim di wilayah tersebut juga akan merasa lebih dihargai.

“Dengan terjemahan ini, diharapankan saat ada Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) di Kalteng, Al-Qur’an berbahasa Dayak bisa digunakan. Ini dapat menarik perhatian dan menjadi bukti nyata pelestarian bahasa daerah,” jelasnya.

Saat ini, terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Dayak Ngaju terbatas disebarluaskan di kalangan internal MUI dan beberapa komunitas terkait. Namun, rencana besar ke depan adalah agar lebih banyak masyarakat bisa mendapatkan akses ke terjemahan ini, sehingga pesan-pesan Al-Qur’an bisa dipahami oleh lebih banyak orang.

Ditambahkan Akhmad Supriadi, sekretaris sekaligus anggota tim penerjemah, ini merupakan langkah monumental, karena hingga saat ini belum ada terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa lokal, meski bahasa Dayak Ngaju sering digunakan sebagai bahasa pemersatu di Kalteng.

“Bahasa Dayak Ngaju dipilih bukan hanya karena mayoritas masyarakat Kalteng menggunakan bahasa ini, tetapi juga karena dari perspektif linguistik,” ujarnya.

Dayak Ngaju dianggap sebagai bahasa yang memiliki jangkauan paling luas di antara bahasa-bahasa daerah di Kalteng. Subbahasa lain, seperti Dayak Mendawai atau Kuala Pembuang yang juga memiliki banyak kesamaan dengan bahasa Dayak Ngaju, membuat terjemahan ini relevan bagi komunitas yang lebih luas.

Selain itu, lanjutnya, inspirasi proyek ini tidak lepas dari realita bahwa komunitas nonmuslim, khususnya yang beragama Kristen, telah lama memiliki Alkitab dalam bahasa Dayak Ngaju.

“Karena memang sudah lama saudara kita yang nonmuslim (Kristen) punya Bible dalam bahasa Dayak Ngaju, nah ini supaya ada sandingannya dan juga kepentingan dakwah,” terangnya.

Oleh karena itu, penerjemahan Al-Qur’an ke bahasa yang sama diharapkan dapat memperkuat dakwah Islam di wilayah Kalteng serta menjadi media pendidikan dan kajian bagi masyarakat.

Proyek ini juga didukung oleh kolaborasi berbagai pihak, termasuk ahli Al-Qur’an, ahli bahasa dari Balai Bahasa, serta para akademisi dari Universitas Palangka Raya. Mereka bahu-membahu bersama tokoh adat melalui Dewan Adat Dayak (DAD) dan para ulama dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah.

“Proses penerjemahan kitab suci memerlukan ketelitian ekstra. Kami harus berhati-hati, agar makna yang terkandung dalam Al-Qur’an tetap terjaga,” ungkapnya.

Meski penuh tantangan, proyek ini tetap berjalan dalam semangat tinggi. Salah satu kendala utama adalah mencari padanan kata yang tepat dalam bahasa Dayak Ngaju untuk menyampaikan makna Al-Qur’an dengan akurat. “Kami harus sering merujuk ke teks asli Al-Qur’an dan memastikan ada sinergisme dalam kolaborasi antara ahli Al-Qur’an dan ahli bahasa,” tutupnya. (*/ce/ala)

Exit mobile version