Jumat, Juli 5, 2024
23.1 C
Palangkaraya

Berantas Mafia Tanah, Ingatkan Kelurahan Jangan Teledor

PALANGKA RAYA-Kasus mafia tanah di Kota Palangka Raya sedang menjadi sorotan. Pasalnya, masalah pertahanan ini berimbas besar bagi keberlangsungan investasi di ibu kota provinsi ini. Sorotan datang dari politikus, akademisi, hingga pengusaha properti. Pihak kelurahan harus menjadi garda terdepan dalam memberantas praktik mafia pertanahan.

Seorang pengusaha pengembang properti di Palangka Raya, Eldoniel Mahar ikut menyoroti soal masalah tumpang tindih lahan yang masih kerap terjadi. Menurutnya ada beberapa hal yang menjadi pemicu sengketa tanah. Pertama, pelanggaran hukum pidana berupa surat kepemilikan palsu yang dibuat seolah-olah asli. Misalnya, surat keterangan tanah adat seperti kasus di Jalan Badak dan Hiu Putih.

Kemudian pemicu lainnya, lanjut Eldoniel Mahar, adalah pelanggaran perdata berupa surat keterangan tanah (SKT) yang umumnya ditandatangani oleh RT, RW, kelurahan, kecamatan, tapi dibuat di atas bidang tanah yang telah lebih dahulu memiliki dokumen kepemilikan, sebagaimana kasus yang terjadi di sekitar Jalan Pramuka dan Jalan Jintan.

Eldoniel juga menyoroti penandatanganan surat keterangan tanah berupa SPPT di atas tanah warga yang lebih dahulu memiliki dokumen kepemilikan sebagaimana dilakukan pihak Kelurahan Menteng.

“Sangat disayangkan jika Lurah Menteng terkesan cuci tangan dan mengkambinghitamkan masyarakat yang mengajukan permohonan penandatanganan surat tanah, karena hal itu memang tugas dan kewajiban kelurahan untuk meneliti serta memutuskan untuk menandatangani atau tidak menandatangani dokumen yang diajukan warga,” kata Eldoniel kepada wartawan, Selasa (7/2/2023).

Jika Kelurahan Menteng telah menjalankan semua standar operasional pelayanan (SOP) dalam melayani warga, lanjut kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini, tentunya tidak akan muncul SKT kepemilikan di atas tanah yg telah bersertifikat, sebagaimana terjadi di wilayah kelurahan tersebut. Seharusnya kasus ini ditelusuri lebih lanjut guna mengetahui penyebabnya, apakah akibat perbuatan kelalaian oknum ataukah kelemahan SOP yang ada.

“Saya sangat sependapat dengan Kepala BPN Kota Palangka Raya yang menyatakan bahwa pihak kelurahan adalah garda terdepan yang harus tahu dan menguasai persoalan tanah di wilayah masing-masing, sehingga tidak teledor dalam menangani SKT yang diajukan warga,” katanya.

Eldoniel sedikit berbagi pengalaman dari karut-marut penanganan SKT yang terjadi tahun 2018-2019 lalu, dimana surat perintah Wakil Wali Kota dan Inspektorat Kota Palangka Raya melalui Camat Jekan Raya serta perintah laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman Kalteng kepada Lurah Menteng kala itu untuk mencabut tanda tangan atas seluruh SKT yang berada di lahan yang telah dimenangkan secara perdata di Jalan Mahir Mahar, tidak ditaati sebagaimana mestinya dengan cara yang sangat tidak cerdas.

Saat itu, kata Eldoniel, Lurah Menteng justru mencabut tanda tangan pada SKT milik para tergugat yang nyata-nyata telah digugurkan atau dianulir oleh putusan perdata Pengadilan Negeri Palangka Raya dan malah tidak mencabut tanda tangan pada SKT yang dibuat setelah atau lebih muda dari tanggal putusan pengadilan tersebut.

Baca Juga :  Balita Kembar Siam Asal Kobar Segera Dipisah

“Saya berharap permasalahan sengketa tanah tidak akan terjadi lagi di kemudian hari. Terima kasih dan angkat topi untuk Satgas Mafia Tanah Ditreskrimum Polda Kalteng yang berhasil mengungkap modus surat palsu yang dimanfaatkan maling, rampok, penjarah tanah untuk menjalankan aksi di daerah Jalan Badak dan Jalan Hiu Putih, semoga diikuti pengungkapan kasus-kasus lainnya dan mafia tanah di kota Palangka Raya dapat diberantas habis,” tegasnya.

Terpisah, Anggota DPRD Kalteng Duwel Rawing juga menyoroti persoalan mafia tanah di Kalteng. Apalagi banyak oknum yang menguasai tanah atau lahan hanya memiliki dokumen verklaring. Mantan Bupati Katingan ini menyebut, memang berisiko apabila membeli tanah hanya bermodalkan verklaring, karena tanah tersebut belum berbadan hukum.

“Mestinyakan verklaring ini didaftarkan ke BPN, karena verklaring inikan hanya klaim sepihak dan tidak berbadan hukum,” ucap Duwel Rawing saat diwawancara di ruang Komisi III, Senin (6/2).

Duwel Rawing menjelaskan, apabila verklaring dikuatkan oleh tetangga yang tinggal di sekitar tanah itu, ada kemungkinan punya kekuatan.

“Verklaring ini banyak klaim dan pakai materai lama, kadang-kadang tetangga tidak jelas, kalau orang punya tanahkan tetangga-tentangga bisa jadi saksi, itu bisa menjadi bukti di lapangan,” ucapnya.

Lama tidaknya pembuatan verklaring bisa diperiksa di kepolisian. Bahkan menurutnya, apabila terjadi sertifikat ganda, perlu dipertanyakan, karena mengeluarkan sertifikat untuk objek tanah yang sama tentu melibatkan petugas BPN.

“Karena BPN hanya bisa mengeluarkan sertifikat, tidak bisa dicabut, yang bisa mencabut hanya pihak kejaksaan, jadi harus hati-hati,” tuturnya.

Duwel menceritakan pernah terjadi orang ingin menggadaikan sertifikat tanah. Namun saat dicek, tanah yang dimaksud merupakan tanah kuburan. Dari situlah diketahui bahwa BPN pernah menerbitkan sertifikat tanah.

Menyikapi tumpang tindih tanah di wilayah Palangka Raya, akademisi hukum tata negara Universitas Palangka Raya (UPR) Louise Theresia mengatakan, ada tiga hal yang perlu dilakukan pembenahan. Mulai dari sisi regulasi, kelembagaan, hingga masyarakat.

Dosen Fakultas Hukum (FH) UPR ini mengatakan, hal pertama yang harus dilakukan yakni menyinkronkan peraturan perundang-undangan yang selama ini mungkin saling bertentangan, baik vertikal maupun horizontal. Bertentangan secara vertikal artinya ada benturan peraturan dari atas ke bawah. Misal, ada peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan presiden, bertentangan peraturan pemerintah, ataupun undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan pertentangan horizontal dimaksud adalah benturan peraturan yang sejajar.

“Kemungkinan ada beberapa undang-undang atau peraturan pemerintah yang tidak sinkron, sehingga pelaksanaan pendaftaran tanah itu berefek di lapangan akibat karut-marut peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron itu. Bicara tata negara itu kan menyinkronkan agar serasi dan seimbang sehingga tercapai harmoni,” kata Louise saat dibincangi di Kantor Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Palangka Raya, Selasa (7/2).

Baca Juga :  Pengadilan Eksekusi Lahan Makam Desa Bumi Agung 

Hal kedua yang harus dibenahi yakni terkait kelembagaan. Dalam tata negara juga membahas kelembagaan. Terkait masalah pertanahan ini, lembaga yang menangani mulai pendaftaran hingga penyelesaian sengketa tanah adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dikatakannya, sejauh ini masih banyak pengaduan ke Ombudsman terkait pelayanan publik pendaftaran tanah.

“Kelembagaan yang mengurus tanah harus diperkuat walaupun dengan alasan SDM, biaya, dan beberapa hambatan lain. Jika kelembagaan diperkuat, saya yakin mengurus pertanahan ini tidak sulit. Selain itu juga harus dilakukan monitoring kelembagaan mulai tingkat atas sampai bawah,” jelasnya kepada Kalteng Pos.

Yang jug perlu dibenahi, lanjutnya, adalah kesadaran masyarakat. Untuk memperoleh status legalitas tanah, harus ada proses yang dilalui, terutama syarat legalitas formalnya. Namun terkadang peluang melanggar aturan muncul dari masyarakat yang ingin mendaftarkan tanah tanpa melalui proses yang benar, seperti melalui calo dan lainnya.

“Ini tidak muncul dari lembaga yang mengurus pertanahan, tetapi muncul dari masyarakat,” tegasnya.

Proses yang tidak sesuai dengan hukum berpotensi memunculkan sertifikat ganda atau berlapis, karena cara memperolah status tanah dengan proses yang keliru dan salah. Hal itu tidak bisa diselesaikan dengan konflik kepentingan, tetapi harus diselesaikan dengan konflik hukum. “Memang di tingkat masyarakat ini kurang edukasi. Dalam sosiologi hukum, masyarakat tahu hukum jika mendapatkan edukasi dan sosialisasi,” jelas Kepala Pusat Bantuan Hukum dan Anti Korupsi LPPM UPR ini.

Louise menyebut, edukasi harus dilakukan. Lantas apakah BPN sudah memberikan edukasi, evaluasi dan mengumumkan ke khalayak bahwa peran BPN penting dalam memperoleh hak atas tanah dalam bentuk sertifikat?

“Terkait ini artinya juga bicara soal hak asasi, siapa yang memiliki tanah sah dialah yang berhak mendapatkan, karena ada hak untuk mendapatkan dan memiliki seperti tanah dan rumah, berbicara hak asasi harus dilindungi negara,” ungkapnya.

Ada tiga cara memperoleh tanah dengan benar, yakni jual beli, hibah, dan wasiat. Sedangkan dasar atas hak memperoleh sertifikat dikeluarkan oleh BPN berdasarkan surat yang dikeluarkan oleh kelurahan.

“Perlu ada sinkronisasi peta bidang BPN dan kelurahan, ketidaksinkronan ini harus diperbaiki, jika bicara tata ruang, harus duduk bersama untuk memiliki peta yang sama terkait status kepemilikan tanah di BPN dan kelurahan atau peta dasar. Jika mengurus tanah di BPN tidak sesuai dengan data kelurahan, maka dampaknya akan dirasakan warga yang mengajukan pendaftaran tanah itu,” tutupnya. (yan/irj/abw/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Kasus mafia tanah di Kota Palangka Raya sedang menjadi sorotan. Pasalnya, masalah pertahanan ini berimbas besar bagi keberlangsungan investasi di ibu kota provinsi ini. Sorotan datang dari politikus, akademisi, hingga pengusaha properti. Pihak kelurahan harus menjadi garda terdepan dalam memberantas praktik mafia pertanahan.

Seorang pengusaha pengembang properti di Palangka Raya, Eldoniel Mahar ikut menyoroti soal masalah tumpang tindih lahan yang masih kerap terjadi. Menurutnya ada beberapa hal yang menjadi pemicu sengketa tanah. Pertama, pelanggaran hukum pidana berupa surat kepemilikan palsu yang dibuat seolah-olah asli. Misalnya, surat keterangan tanah adat seperti kasus di Jalan Badak dan Hiu Putih.

Kemudian pemicu lainnya, lanjut Eldoniel Mahar, adalah pelanggaran perdata berupa surat keterangan tanah (SKT) yang umumnya ditandatangani oleh RT, RW, kelurahan, kecamatan, tapi dibuat di atas bidang tanah yang telah lebih dahulu memiliki dokumen kepemilikan, sebagaimana kasus yang terjadi di sekitar Jalan Pramuka dan Jalan Jintan.

Eldoniel juga menyoroti penandatanganan surat keterangan tanah berupa SPPT di atas tanah warga yang lebih dahulu memiliki dokumen kepemilikan sebagaimana dilakukan pihak Kelurahan Menteng.

“Sangat disayangkan jika Lurah Menteng terkesan cuci tangan dan mengkambinghitamkan masyarakat yang mengajukan permohonan penandatanganan surat tanah, karena hal itu memang tugas dan kewajiban kelurahan untuk meneliti serta memutuskan untuk menandatangani atau tidak menandatangani dokumen yang diajukan warga,” kata Eldoniel kepada wartawan, Selasa (7/2/2023).

Jika Kelurahan Menteng telah menjalankan semua standar operasional pelayanan (SOP) dalam melayani warga, lanjut kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini, tentunya tidak akan muncul SKT kepemilikan di atas tanah yg telah bersertifikat, sebagaimana terjadi di wilayah kelurahan tersebut. Seharusnya kasus ini ditelusuri lebih lanjut guna mengetahui penyebabnya, apakah akibat perbuatan kelalaian oknum ataukah kelemahan SOP yang ada.

“Saya sangat sependapat dengan Kepala BPN Kota Palangka Raya yang menyatakan bahwa pihak kelurahan adalah garda terdepan yang harus tahu dan menguasai persoalan tanah di wilayah masing-masing, sehingga tidak teledor dalam menangani SKT yang diajukan warga,” katanya.

Eldoniel sedikit berbagi pengalaman dari karut-marut penanganan SKT yang terjadi tahun 2018-2019 lalu, dimana surat perintah Wakil Wali Kota dan Inspektorat Kota Palangka Raya melalui Camat Jekan Raya serta perintah laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman Kalteng kepada Lurah Menteng kala itu untuk mencabut tanda tangan atas seluruh SKT yang berada di lahan yang telah dimenangkan secara perdata di Jalan Mahir Mahar, tidak ditaati sebagaimana mestinya dengan cara yang sangat tidak cerdas.

Saat itu, kata Eldoniel, Lurah Menteng justru mencabut tanda tangan pada SKT milik para tergugat yang nyata-nyata telah digugurkan atau dianulir oleh putusan perdata Pengadilan Negeri Palangka Raya dan malah tidak mencabut tanda tangan pada SKT yang dibuat setelah atau lebih muda dari tanggal putusan pengadilan tersebut.

Baca Juga :  Balita Kembar Siam Asal Kobar Segera Dipisah

“Saya berharap permasalahan sengketa tanah tidak akan terjadi lagi di kemudian hari. Terima kasih dan angkat topi untuk Satgas Mafia Tanah Ditreskrimum Polda Kalteng yang berhasil mengungkap modus surat palsu yang dimanfaatkan maling, rampok, penjarah tanah untuk menjalankan aksi di daerah Jalan Badak dan Jalan Hiu Putih, semoga diikuti pengungkapan kasus-kasus lainnya dan mafia tanah di kota Palangka Raya dapat diberantas habis,” tegasnya.

Terpisah, Anggota DPRD Kalteng Duwel Rawing juga menyoroti persoalan mafia tanah di Kalteng. Apalagi banyak oknum yang menguasai tanah atau lahan hanya memiliki dokumen verklaring. Mantan Bupati Katingan ini menyebut, memang berisiko apabila membeli tanah hanya bermodalkan verklaring, karena tanah tersebut belum berbadan hukum.

“Mestinyakan verklaring ini didaftarkan ke BPN, karena verklaring inikan hanya klaim sepihak dan tidak berbadan hukum,” ucap Duwel Rawing saat diwawancara di ruang Komisi III, Senin (6/2).

Duwel Rawing menjelaskan, apabila verklaring dikuatkan oleh tetangga yang tinggal di sekitar tanah itu, ada kemungkinan punya kekuatan.

“Verklaring ini banyak klaim dan pakai materai lama, kadang-kadang tetangga tidak jelas, kalau orang punya tanahkan tetangga-tentangga bisa jadi saksi, itu bisa menjadi bukti di lapangan,” ucapnya.

Lama tidaknya pembuatan verklaring bisa diperiksa di kepolisian. Bahkan menurutnya, apabila terjadi sertifikat ganda, perlu dipertanyakan, karena mengeluarkan sertifikat untuk objek tanah yang sama tentu melibatkan petugas BPN.

“Karena BPN hanya bisa mengeluarkan sertifikat, tidak bisa dicabut, yang bisa mencabut hanya pihak kejaksaan, jadi harus hati-hati,” tuturnya.

Duwel menceritakan pernah terjadi orang ingin menggadaikan sertifikat tanah. Namun saat dicek, tanah yang dimaksud merupakan tanah kuburan. Dari situlah diketahui bahwa BPN pernah menerbitkan sertifikat tanah.

Menyikapi tumpang tindih tanah di wilayah Palangka Raya, akademisi hukum tata negara Universitas Palangka Raya (UPR) Louise Theresia mengatakan, ada tiga hal yang perlu dilakukan pembenahan. Mulai dari sisi regulasi, kelembagaan, hingga masyarakat.

Dosen Fakultas Hukum (FH) UPR ini mengatakan, hal pertama yang harus dilakukan yakni menyinkronkan peraturan perundang-undangan yang selama ini mungkin saling bertentangan, baik vertikal maupun horizontal. Bertentangan secara vertikal artinya ada benturan peraturan dari atas ke bawah. Misal, ada peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan presiden, bertentangan peraturan pemerintah, ataupun undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan pertentangan horizontal dimaksud adalah benturan peraturan yang sejajar.

“Kemungkinan ada beberapa undang-undang atau peraturan pemerintah yang tidak sinkron, sehingga pelaksanaan pendaftaran tanah itu berefek di lapangan akibat karut-marut peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron itu. Bicara tata negara itu kan menyinkronkan agar serasi dan seimbang sehingga tercapai harmoni,” kata Louise saat dibincangi di Kantor Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Palangka Raya, Selasa (7/2).

Baca Juga :  Pengadilan Eksekusi Lahan Makam Desa Bumi Agung 

Hal kedua yang harus dibenahi yakni terkait kelembagaan. Dalam tata negara juga membahas kelembagaan. Terkait masalah pertanahan ini, lembaga yang menangani mulai pendaftaran hingga penyelesaian sengketa tanah adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dikatakannya, sejauh ini masih banyak pengaduan ke Ombudsman terkait pelayanan publik pendaftaran tanah.

“Kelembagaan yang mengurus tanah harus diperkuat walaupun dengan alasan SDM, biaya, dan beberapa hambatan lain. Jika kelembagaan diperkuat, saya yakin mengurus pertanahan ini tidak sulit. Selain itu juga harus dilakukan monitoring kelembagaan mulai tingkat atas sampai bawah,” jelasnya kepada Kalteng Pos.

Yang jug perlu dibenahi, lanjutnya, adalah kesadaran masyarakat. Untuk memperoleh status legalitas tanah, harus ada proses yang dilalui, terutama syarat legalitas formalnya. Namun terkadang peluang melanggar aturan muncul dari masyarakat yang ingin mendaftarkan tanah tanpa melalui proses yang benar, seperti melalui calo dan lainnya.

“Ini tidak muncul dari lembaga yang mengurus pertanahan, tetapi muncul dari masyarakat,” tegasnya.

Proses yang tidak sesuai dengan hukum berpotensi memunculkan sertifikat ganda atau berlapis, karena cara memperolah status tanah dengan proses yang keliru dan salah. Hal itu tidak bisa diselesaikan dengan konflik kepentingan, tetapi harus diselesaikan dengan konflik hukum. “Memang di tingkat masyarakat ini kurang edukasi. Dalam sosiologi hukum, masyarakat tahu hukum jika mendapatkan edukasi dan sosialisasi,” jelas Kepala Pusat Bantuan Hukum dan Anti Korupsi LPPM UPR ini.

Louise menyebut, edukasi harus dilakukan. Lantas apakah BPN sudah memberikan edukasi, evaluasi dan mengumumkan ke khalayak bahwa peran BPN penting dalam memperoleh hak atas tanah dalam bentuk sertifikat?

“Terkait ini artinya juga bicara soal hak asasi, siapa yang memiliki tanah sah dialah yang berhak mendapatkan, karena ada hak untuk mendapatkan dan memiliki seperti tanah dan rumah, berbicara hak asasi harus dilindungi negara,” ungkapnya.

Ada tiga cara memperoleh tanah dengan benar, yakni jual beli, hibah, dan wasiat. Sedangkan dasar atas hak memperoleh sertifikat dikeluarkan oleh BPN berdasarkan surat yang dikeluarkan oleh kelurahan.

“Perlu ada sinkronisasi peta bidang BPN dan kelurahan, ketidaksinkronan ini harus diperbaiki, jika bicara tata ruang, harus duduk bersama untuk memiliki peta yang sama terkait status kepemilikan tanah di BPN dan kelurahan atau peta dasar. Jika mengurus tanah di BPN tidak sesuai dengan data kelurahan, maka dampaknya akan dirasakan warga yang mengajukan pendaftaran tanah itu,” tutupnya. (yan/irj/abw/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/