Taufik juga mengaku akan melaporkan Singkang kepada pihak berwenang untuk menindaknya atas dugaan penggunaan surat-surat palsu.
Dalam kesempatan itu, Rita, salah satu warga yang memiliki bukti legalitas SHM atas tanah yang diklaim oleh Singkang W Kesuma mengatakan tanahnya berlokasi di Jalan Pramuka. Rita mengungkapkan bukti kepemilikannya sudah sah dan lengkap, yaitu SHM yang diterbitkan tahun 2007.
“Tanah saya sudah punya SHM sejak tahun 2007 dan saya sudah mulai bayar pajak sejak 2005 saat masih berstatus SKT, dokumen di dalam sini lengkap semua, mulai dari cicilan pajak sampai surat-surat lainnya,” tutur Rita di tengah mediasi sembari menunjukkan setumpuk dokumen dalam map plastik.
Sejurus kemudian, Rita mengeluarkan surat tanahnya di Jalan Pramuka dengan alas hak SHM kepada seluruh peserta mediasi dan para mediator.
Rita mengaku sudah mengecek ke BPN untuk mengetahui posisi tanahnya dan warga lain yang juga menagntongi SHM. Pengakuannya itu dikuatkan dengan pernyataannya bahwa ia dan warga yang memiliki sertifikat tanah sudah mengecek ke BPN serta terbukti sah dan valid. Ia berharap pihak kelurahan bijaksana menyikapi kasus ini. Rita memastikan SHM yang ia miliki sudah terdaftar di BPN serta terbukti sah dan valid.
“Kami sudah ke BPN, setelah dicek ternyata benar, di BPN sertifikat tanah kami terdaftar dan tervalidasi, mungkinkah sertifikat kami ini tidak diakui? Aturan mana lagi yang tinggi selain ini? Kan akhirnya ini yang dikeluarkan oleh BPN. Kalau sampai ini diklaim oleh orang yang tidak bertanggung jawab, siapa yang salah? Jadi kami mohon keadilan, kami sudah memiliki sertifikat kepemilikan yang sah dan valid,” ungkap Rita.
Sementara itu, Singkang W Kesuma meminta kepada pihak warga untuk menunjukkan bukti yang autentik. Bukti autentik yang dimaksudnya adalah surat kepemilikan tanah yang betul-betul punya riwayat dari tahun ke tahun dan asli, bukan hasil fotokopi seperti yang ditunjukkan pada mediasi pertama.
“Apa yang diomongin pihak warga hanyalah pengantar, saya tidak pakai kalau ngomong tanpa data. Saya akan membuktikan validitas dokumen saya, jika dokumen saya ini palsu dan tidak jelas, pak polisi silakan tangkap dan tahan saya,” tutur Singkang sembari menunjukkan dokumen-dokumen lama yang ia miliki berkenaan legalitas tanah atas tanah yang diklaimnya di Jalan Pramuka, Jalan Jintan, dan Jalan Merica.
Dalam forum mediasi itu, Singkang menunjukkan bukti kepemilikannya berupa SK wali kota tahun 1994, berita acara pemeriksaan tanah tahun 1993, surat pernyataan H Hapid yang menyatakan bahwa tanah itu digarap sendiri sejak tahun 1985, dan setumpuk surat lainnya yang sudah menguning.
“Ini dokumen-dokumen asli, bukan sekadar ngomong, ini menjadi landasan hukum, dokumen saya ini bukan fotokopi ke fotokopi, lalu di-type-x, bukan seperti itu,” ucap pria yang berprofesi sebagai pengacara tersebut.
Singkang menyebut, apapun bentuk permohonan yang diajukan warga, jika tidak mempunyai riwayat atas kepemilikan tanah, maka ia akan tetap mempertahankan bukti kepemilikan tanah atas namanya.
“Saya siap menghadapi saudara Taufik dan teman-teman di pengadilan, jangan ikut-ikutan bagi yang tidak punya data, oleh karena itu saya minta data yang asli, lokasi itu, tolong keluarkan data asli riwayat tanah di situ,” ujarnya.
Ia juga menyangkal bukti legalitas sertifikat milik warga berupa SHM. Singkang menyebut jika hanya memiliki SHM, SHM bisa dibuat oleh calo. Singkang mengatakan, semenjak tanah yang ia beli dari H Hapid itu lunas dibayar tahun 2007, sudah berkali-kali ia mengajukan pembuatan SHM ke pihak BPN, tetapi selalu gagal karena merupakan zona merah.
“Jadi, perlu klarifikasi dokumen asli yang punya riwayat jelas itu di mana, bukan hanya sekadar ngomong,” ucapnya.
Singkang berkisah, sejak pertama kali membeli tanah seluas 6,15 hektare (ha), ia sudah membangun pos penjagaan.
“Sejak tahun 2000 ke atas pasca kerusuhan kami sudah buat pos penjagaan, portal, dan plang dari besi untuk melarang orang-orang beraktivitas di atas tanah itu. Kami pasang plang itu untuk melarang masyarakat menguasai tanah di sana seluas 6,15 hektare,” tuturnya.
Namun, lanjut Singkang, karena kesibukannya sebagai pegawai negeri saat itu, perhatian untuk mengurus tanah itu berkurang. Lalu ada beberapa orang yang mulai mengklaim tanah dan mendirikan bangunan di sana.
“Saya sempat menugaskan orang untuk menjaga tanah itu dengan melarang masyarakat menguasai tanah seluas 6,15 ha, waktu itu saya aktif sebagai pegawai negeri, masih aman, tapi kemudian ada yang membuat surat abal-abal tanpa sepengetahuan saya,” tuturnya.
Singkang menegaskan, demi mempertahankan tanah itu, ia siap menempuh jalan hukum perdata maupun pidana.
“Saya tidak akan lepaskan tanah itu, akan saya lakukan aksi di lapangan dengan beberapa orang untuk membersihkan lahan di sana, intinya langkah ke depan saya akan menguasai lahan itu,” tandasnya.
Mediasi yang digelar kemarin itu berakhir tanpa kesepakatan kedua belah pihak. Lurah Menteng Rossalinda Rahmanasari selaku moderator mengatakan, karena tidak ada kesepakatan dari kedua belah pihak pada mediasi kedua ini, maka ke depannya mediasi tidak akan diadakan lagi. Para pihak bersengketa diarahkan untuk menyelesaikan perkara ini di pengadilan.
“Untuk mediasi satu dan dua akan kami keluarkan dalam bentuk berita acara mediasi, dalam berita acara itu akan kami keluarkan pernyataan tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak, kami mengharapkan kedua belah pihak menyelesaikan persoalan ini melalui pengadilan, baik secara perdata maupun pidana,” ucapnya. (dan/ce/ala)