Sabtu, Oktober 5, 2024
29.4 C
Palangkaraya

H Maskur, Perintis Usaha Angkot Berhasil Sekolahkan Anak Jadi Dokter dan Dosen

Angkutan Kota (Angkot) mulai masuk Kota Palangka Raya era 1980-an. H Muhammad Maskur salah satu pelaku sejarah sekaligus perintis usaha transportasi umum di Ibu Kota Provinsi Kalteng ini. Sebelum redup termakan kemajuan zaman, angkot pernah berjaya pada masanya.  

AGUS JAYA, Palangka Raya

 SAYA mulai merintis usaha angkot dari sekitar tahun 1980,” terang H Maskur mengawali perbincangan dengan Kalteng Pos di kediamannya, Jalan Madang, Kelurahan Panarung, Palangka Raya.

Awal mula terjun menjadi penggusaha angkot bermula tahun 1978, ketika orang tuanya berencana memberangkatkannya ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.

Maskur muda yang tahun itu baru datang ke Palangka Raya setelah diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Kantor Kanwil Kementerian Agama (Kemang) Kalteng, meminta orang tuanya agar ongkos untuk menunaikan ibadah haji itu dialihkan menjadi modal untuk membeli sebuah angkot.

“Waktu itu saya masih bujangan, terus orang tua saya mau memberangkatkan saya menunaikan ibadah haji, tetapi saya belum siap, kemudian saya minta ke orang  tua saya untuk belikan mobil angkot dari Surabaya dan dibawa ke Palangka Raya,” jelasnya.

Alasan utamanya meminta orang tua memodali beli angkot semata-mata demi memperoleh pendapatan tambahan. Tahun 1978, penghasilan seorang PNS yang bekerja di bagian administrasi Kanwil Kalteng pas-pasan.

“Mobil angkot zaman dulu itu mobil pikap bak ledeng, namanya yang ada kerangka besi terus dikasih terpal di atasnya untuk tutupnya, waktu itu harga mobilnya kalau enggak salah sekitar Rp1.890.000,- di Surabaya,” kata H Maskur sembari menambahkan, angkot tersebut dibawa secara estafet menggunakan kapal laut dari Surabaya menuju Banjarmasin, hingga akhirnya tiba di Pelabuhan Rambang, Palangka Raya.

“Dari Banjarmasin diangkut menggunakan kapal tongkang, digandeng dengan kapal dagang turun di Pelabuhan Rambang,” tuturnya.

Awal memulai usaha angkot di Palangka Raya tahun 1980, jumlah angkot hanya 4 unit. Waktu itu belum ada trayek angkot seperti sekarang ini.

“Jalurnya itu dulu cuma satu, yaitu dari Pasar Besar atau Pelabuhan Rambang ke Jalan Tjilik Riwut Km 3,5,” katanya.

Angkot miliknya itu dikemudikannya sendiri sepulang kerja dari kantor.

“Dari pagi sampai jam 5 sore ada sopirnya, tetapi sesudah salat Magrib sampai jam 10 malam saya yang bawa sendiri,” ujarnya sembari menambahkan, waktu itu setoran angkot dari sopir masih sekitar Rp7.500 per hari.

“Dulu ongkos taksinya masih Rp100-Rp150 saja,” katanya.

Karena masih sedikit jumlah angkot kala itu, tak jarang mobil angkotnya dipinjam petugas kepolisian untuk mengangkut miras hasil razia.

“Dulu kan kantor polresnya masih di Pahandut, di tempat kantor Polsek Pahandut sekarang, jadi kalau ada razia miras di wilayah Kereng, hasil razianya diangkut pakai mobil saya,” katanya sambil tertawa.

H Maskur masih ingat jelas kondisi Kota Palangka Raya saat itu. Ia bercerita, saat itu jalan ke wilayah RTA Milono atau Jalan G Obos belum ada.

“Dulu jalan ke arah Kereng hanya sampai di samping Kantor Gubernur sekarang ini,” cerita H Maskur.

Sedangkan jalan yang sudah beraspal hanyalah Jalan Tjilik Riwut hingga ke arah Tangkiling.

“Jalan ke Tangkiling sudah ada, tapi mulai dari Km 3,5 masih berupa hutan dan sepi,” katanya  sambil bercerita berbagai pengalaman unik saat mengantar penumpang angkot pada masa itu.

Dikatakannya lagi bahwa pada waktu itu tempat keramaian yang sering dikunjungi warga kota antara  lain kompleks  Pasar Besar, Pelabuhan  Rambang, dan gedung bioskop Diana (dahulu berada di kompleks Pasar Besar depan Kantor Camat Pahandut dan merupakan satu-satunya gedung bioskop yang ada di Kota Palangka Raya).

“Dulu itu tiap  malam film diputar mulai  pukul 19.00-22.00, pukul 24.00 barulah orang keluar (dari bioskop), jadi kadang saya harus nunggu sampai orang keluar dari bioskop, kalau malam minggu saya begadang menunggu penumpang bus air turun,” ucapnya mengenang masa-masa itu.

Baca Juga :  Jangan Panik, Positif Covid Bukan Aib

Di luar dugaan, usaha yang dirintisnya itu bisa berkembang. Enam bulan kemudian, ia sudah bisa membeli angkot kedua. Dilanjutkan dengan pembelian angkot ketiga dan keempat.

“Waktu saya menikah tahun 1982, saya sudah punya 2 unit angkot,” tutur suami dari Hj Sumiriyati, yang juga merupakan pegawai Kanwil Kemenag Kalteng.

Bapak dua orang anak itu mengaku keberhasilannya merintis usaha angkot tak lepas dari kejeliannya melihat peluang usaha waktu itu.

“Karena menurut orang bijak, di mana kita berpijak kita harus tahu peluang apa yang ada untuk usaha atau bisnis, setelah melihat adanya peluang, barulah menentukan strategi,” katanya sambil tersenyum.

Seiring bergantinya tahun, makin banyak yang melirik bisnis angkot sebagai peluang usaha. Ada yang memang khusus untuk disewakan dan ada pula yang ditangani sendiri oleh pemilik.

Berkembangnya usaha angkot di Palangka Raya juga tak lepas dari cerita pengalaman para sopir angkot yang merasa mendapat penghasilan cukup besar kala itu.

“Sebetulnya kita para pengusaha ini memang pengennya agak merahasiakan supaya enggak banyak saingan, tetapi sopir-sopir itu pada cerita, membuat banyak orang tertarik,” ucapnya.

Seiring makin banyaknya jumlah angkot di Palangka Raya, pemerintah kota kemudian mengeluarkan aturan terkait keberadaan angkot sebagai transportasi umum dalam kota.

“Mungkin sekitar tahun 1983 atau 1984 itu baru pemerintah  kota  melakukan penertiban dan mengeluarkan aturan, seperti adanya trayek, angkot diberi nomor, terus dibentuk Organda dari yang nama awalnya Persatuan Taksi Kota atau Pertata,” tuturnya, lalu menerangkan waktu itu pengurusan izin trayek angkot pertama kali dikeluarkan oleh Biro Perekonomian Pemerintah Kota.

“Jadi yang pertama kali menerbitkan izin trayek itu bukan DLLAJR, tapi Kantor Biro Perekonomian Pemko, kalau urusan izin kir-nya di DLLAJR,” ceritanya lagi.

Sekitar tahun 1987 ia sudah memiliki 5 unit angkot. Kemudian orang tuanya menyarankan agar memiliki rumah sendiri. 4 unit angkot kemudian dijual untuk biaya pembangunan rumah yang ditempati bersama keluarga sampai sekarang ini.

“Setelah rumah selesai, gambar rumah sama sertifikat dimasukkan ke bank, di-sekolah-kan untuk beli angkot lagi,” ujarnya.

Semenjak itu, jumlah angkot yang dimilikinya pun makin banyak. Pertengahan 1990-an ia sudah memiliki belasan unit angkot. Menurutnya masa kejayaan angkot sebagai sarana transportasi umum di Kota Palangka Raya berkisar tahun 1990-an hingga 2017-an.

Karena profesinya sebagai pegawai, taka jarang ia diundang untuk berkhotbah dan berceramah di masjid. Hal itu membuatnya makin dikenal warga. Dengan makin banyaknya angkot yang dimiliki, usahanya pun makin berkembang. Bahkan dia sempat memiliki 29 unit angkot yang harus dikelola tiap hari.

“Angkot yang saya miliki itu bukan yang paling banyak tetapi termasuk yang cukup banyak waktu itu,” ucapnya.

Dia berceritanya bahwa saat itu, setoran angkot yang di terima nya dari para sopir yang membawa mobilnya berkisar Rp75 ribu/hari. “Selain itu, harga onderdil mobil waktu itu masih murah,” terangnya lagi.

Dengan berkembangnya usaha dikelolanya, H Maskur merasa bersyukur bisa berhasil menyekolahkan kedua anaknya hingga ke jenjang pendidikan tinggi dan hidup mapan.

“Alhamdulillah dari penghasilan usaha angkot, kami bisa menyekolahkan anak-anak kami, satu anak saya lulusan UGM dan sekarang sudah menjadi dosen di UIN Malang, satunya lagi sekolah kedokteran di Surabaya dan sekarang bekerja di Rumah Sakit Islam di Malang,” kata H Maskur sembari menambahkan, dari usaha angkot itu pula ia dan istri bisa menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.

H Maskur membenarkan saat ini bisnis angkot di Palangka Raya sedang memasuki masa-masa suram. Kondisi itu dirasakan oleh pengusaha angkot maupun sopir.

Baca Juga :  DPW ALFI/ ILFA Kalteng Siap Bersinergi Bersama Pemerintah

Sebagai seorang pengusaha angkot, ia sendiri merasakan penurunan bisnis yang terjadi saat adanya kebijakan pemko yang mewajibkan pengusaha angkot mendirikan perusahaan berbentuk CV.

“Mulai menurun itu waktu ada kebijakan kalau yang punya angkot, biarpun punya satu atau banyak harus bikin CV,” katanya dan menambahkan kebijakan itu dikeluarkan pemko sekitar tahun 2019.

Kebijakan perihal mendirikan perusahaan berbentuk CV itu dikeluarkan secara tiba tiba tanpa konsultasi maupun sosialisasi dengan para pengusaha angkot. Apabila pengusaha angkot tidak mengikuti aturan tersebut, maka ada hukuman berupa denda.

“Saya saja pernah kena denda waktu mau memperpanjang izin di Samsat,” katanya.

Demi mengikuti kebijakan pemko tersebut, H Maskur sempat mendirikan sebuah CV yang dinamai CV Al-Amin, sebagai tempat bernaung seluruh angkot yang dimilikinya. Kondisi paling sulit yang dialami pebisnis angkot adalah saat terjadi pandemi Covid-19.

“Jangankan sopir bisa mengharapkan dapat penumpang, mobil ini saja tidak bisa jalan,” kata H Maskur sambil menunjuk deretan angkot yang terparkir di halaman rumahnya.

Kondisi penurunan jumlah penumpang angkot sejak pandemi Covid 19 terus berlangsung sampai sekarang.

“Sekarang ini kalau tidak punya penumpang langganan, bagi sopir untuk bayar setoran Rp 40 ribu saja itu sudah cukup berat,” tuturnya.

Bahkan beberapa angkot miliknya tidak bisa beroperasi karena tidak ada lagi sopir yang mau menyewa.

“Percaya gak, itu ada angkot saya yang dari tahun 2020 itu sampai sekarang tidak pernah jalan,” kata H Maskur menunjuk ke salah satu angkot.

Karena kondisi tersebut, ia terpaksa menjual sebagian besar angkot yang dimilikinya. Kini mobil angkot yang dimilikinya hanya tersisa 9 unit.

“Ada sekitar 21 unit sudah saya jual,” bebernya.

Menurutnya ada banyak faktor yang ikut memengaruhi penurunan bisnis angkot. Di antaranya karena makin mudah bagi masyarakat untuk memiliki kendaraan pribadi melalui kredit.

Selain itu, banyak warga yang lebih memilih menggunakan jasa transportasi online. “Sekarang ini banyak yang milih naik Grab dan Go-Jek, karena bisa diantar sampai depan rumah,” katanya.

Ia juga mengeluhkan soal biaya pemeliharaan angkot yang makin membengkak dan mahalnya biaya memperpanjang STNK kendaraan.

“Saya dulu karena kondisi sepi, menurun kan setoran angkot jadi Rp 35 ribu aja, tetapi itu enggak nyukupin untuk biaya perawatan mobil, untuk ngetap oli saja sekali ganti Rp150 ribu, belum (perawatan) yang lain, jadi saya pikir daripada mobi jalan, mending parkir di rumah saja,” ujarnya.

Maskur juga mengaku bingung dengan adanya perbedaan biaya perpanjangan STNK mobil angkot.

“Saya sempat bingung, sama-sama mobil angkotnya, (tapi) bisa beda-beda bayar biaya STNK-nya, ada yang cuma Rp300 ribu, tapi ada yang sampai Rp900 ribu, seperti apa itu hitungannya,” kata H Maskur sambil menunjukkan STNK yang dimaksud.

Maskur mengaku sempat menanyakan masalah tersebut ke petugas Samsat, tetapi sama sekali tidak mendapat jawaban yang jelas dan memuaskan.

“Waktu ditanya mereka juga ngakunya enggak tahu kenapa beda, kan aneh,” kata Maskur.

Dengan kondisi yang terjadi seperti sekarang ini, bila tidak ada upaya pemerintah kota untuk membantu memperbaiki usaha angkot, maka dalam beberapa tahun ke depan, keberadaan angkot sebagai sarana transportasi umum di Palangka Raya akan punah dan tinggal kenangan.

H Maskur mencontohkan Kota Banjarmasin, Kalsel. Saat ini hampir tidak terlihat lagi angkot beroperasi.

“Tolong pemerintah terutama pemangku kebijakan untuk segera membantu kami para pengusaha angkot, memperbaiki kondisi perekonomian para sopir angkot, jangan sampai kondisi ini terus dibiarkan, seperti hidup segan mati pun tak mau,” pungkasnya. (*/ce/ala)

Angkutan Kota (Angkot) mulai masuk Kota Palangka Raya era 1980-an. H Muhammad Maskur salah satu pelaku sejarah sekaligus perintis usaha transportasi umum di Ibu Kota Provinsi Kalteng ini. Sebelum redup termakan kemajuan zaman, angkot pernah berjaya pada masanya.  

AGUS JAYA, Palangka Raya

 SAYA mulai merintis usaha angkot dari sekitar tahun 1980,” terang H Maskur mengawali perbincangan dengan Kalteng Pos di kediamannya, Jalan Madang, Kelurahan Panarung, Palangka Raya.

Awal mula terjun menjadi penggusaha angkot bermula tahun 1978, ketika orang tuanya berencana memberangkatkannya ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.

Maskur muda yang tahun itu baru datang ke Palangka Raya setelah diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Kantor Kanwil Kementerian Agama (Kemang) Kalteng, meminta orang tuanya agar ongkos untuk menunaikan ibadah haji itu dialihkan menjadi modal untuk membeli sebuah angkot.

“Waktu itu saya masih bujangan, terus orang tua saya mau memberangkatkan saya menunaikan ibadah haji, tetapi saya belum siap, kemudian saya minta ke orang  tua saya untuk belikan mobil angkot dari Surabaya dan dibawa ke Palangka Raya,” jelasnya.

Alasan utamanya meminta orang tua memodali beli angkot semata-mata demi memperoleh pendapatan tambahan. Tahun 1978, penghasilan seorang PNS yang bekerja di bagian administrasi Kanwil Kalteng pas-pasan.

“Mobil angkot zaman dulu itu mobil pikap bak ledeng, namanya yang ada kerangka besi terus dikasih terpal di atasnya untuk tutupnya, waktu itu harga mobilnya kalau enggak salah sekitar Rp1.890.000,- di Surabaya,” kata H Maskur sembari menambahkan, angkot tersebut dibawa secara estafet menggunakan kapal laut dari Surabaya menuju Banjarmasin, hingga akhirnya tiba di Pelabuhan Rambang, Palangka Raya.

“Dari Banjarmasin diangkut menggunakan kapal tongkang, digandeng dengan kapal dagang turun di Pelabuhan Rambang,” tuturnya.

Awal memulai usaha angkot di Palangka Raya tahun 1980, jumlah angkot hanya 4 unit. Waktu itu belum ada trayek angkot seperti sekarang ini.

“Jalurnya itu dulu cuma satu, yaitu dari Pasar Besar atau Pelabuhan Rambang ke Jalan Tjilik Riwut Km 3,5,” katanya.

Angkot miliknya itu dikemudikannya sendiri sepulang kerja dari kantor.

“Dari pagi sampai jam 5 sore ada sopirnya, tetapi sesudah salat Magrib sampai jam 10 malam saya yang bawa sendiri,” ujarnya sembari menambahkan, waktu itu setoran angkot dari sopir masih sekitar Rp7.500 per hari.

“Dulu ongkos taksinya masih Rp100-Rp150 saja,” katanya.

Karena masih sedikit jumlah angkot kala itu, tak jarang mobil angkotnya dipinjam petugas kepolisian untuk mengangkut miras hasil razia.

“Dulu kan kantor polresnya masih di Pahandut, di tempat kantor Polsek Pahandut sekarang, jadi kalau ada razia miras di wilayah Kereng, hasil razianya diangkut pakai mobil saya,” katanya sambil tertawa.

H Maskur masih ingat jelas kondisi Kota Palangka Raya saat itu. Ia bercerita, saat itu jalan ke wilayah RTA Milono atau Jalan G Obos belum ada.

“Dulu jalan ke arah Kereng hanya sampai di samping Kantor Gubernur sekarang ini,” cerita H Maskur.

Sedangkan jalan yang sudah beraspal hanyalah Jalan Tjilik Riwut hingga ke arah Tangkiling.

“Jalan ke Tangkiling sudah ada, tapi mulai dari Km 3,5 masih berupa hutan dan sepi,” katanya  sambil bercerita berbagai pengalaman unik saat mengantar penumpang angkot pada masa itu.

Dikatakannya lagi bahwa pada waktu itu tempat keramaian yang sering dikunjungi warga kota antara  lain kompleks  Pasar Besar, Pelabuhan  Rambang, dan gedung bioskop Diana (dahulu berada di kompleks Pasar Besar depan Kantor Camat Pahandut dan merupakan satu-satunya gedung bioskop yang ada di Kota Palangka Raya).

“Dulu itu tiap  malam film diputar mulai  pukul 19.00-22.00, pukul 24.00 barulah orang keluar (dari bioskop), jadi kadang saya harus nunggu sampai orang keluar dari bioskop, kalau malam minggu saya begadang menunggu penumpang bus air turun,” ucapnya mengenang masa-masa itu.

Baca Juga :  Jangan Panik, Positif Covid Bukan Aib

Di luar dugaan, usaha yang dirintisnya itu bisa berkembang. Enam bulan kemudian, ia sudah bisa membeli angkot kedua. Dilanjutkan dengan pembelian angkot ketiga dan keempat.

“Waktu saya menikah tahun 1982, saya sudah punya 2 unit angkot,” tutur suami dari Hj Sumiriyati, yang juga merupakan pegawai Kanwil Kemenag Kalteng.

Bapak dua orang anak itu mengaku keberhasilannya merintis usaha angkot tak lepas dari kejeliannya melihat peluang usaha waktu itu.

“Karena menurut orang bijak, di mana kita berpijak kita harus tahu peluang apa yang ada untuk usaha atau bisnis, setelah melihat adanya peluang, barulah menentukan strategi,” katanya sambil tersenyum.

Seiring bergantinya tahun, makin banyak yang melirik bisnis angkot sebagai peluang usaha. Ada yang memang khusus untuk disewakan dan ada pula yang ditangani sendiri oleh pemilik.

Berkembangnya usaha angkot di Palangka Raya juga tak lepas dari cerita pengalaman para sopir angkot yang merasa mendapat penghasilan cukup besar kala itu.

“Sebetulnya kita para pengusaha ini memang pengennya agak merahasiakan supaya enggak banyak saingan, tetapi sopir-sopir itu pada cerita, membuat banyak orang tertarik,” ucapnya.

Seiring makin banyaknya jumlah angkot di Palangka Raya, pemerintah kota kemudian mengeluarkan aturan terkait keberadaan angkot sebagai transportasi umum dalam kota.

“Mungkin sekitar tahun 1983 atau 1984 itu baru pemerintah  kota  melakukan penertiban dan mengeluarkan aturan, seperti adanya trayek, angkot diberi nomor, terus dibentuk Organda dari yang nama awalnya Persatuan Taksi Kota atau Pertata,” tuturnya, lalu menerangkan waktu itu pengurusan izin trayek angkot pertama kali dikeluarkan oleh Biro Perekonomian Pemerintah Kota.

“Jadi yang pertama kali menerbitkan izin trayek itu bukan DLLAJR, tapi Kantor Biro Perekonomian Pemko, kalau urusan izin kir-nya di DLLAJR,” ceritanya lagi.

Sekitar tahun 1987 ia sudah memiliki 5 unit angkot. Kemudian orang tuanya menyarankan agar memiliki rumah sendiri. 4 unit angkot kemudian dijual untuk biaya pembangunan rumah yang ditempati bersama keluarga sampai sekarang ini.

“Setelah rumah selesai, gambar rumah sama sertifikat dimasukkan ke bank, di-sekolah-kan untuk beli angkot lagi,” ujarnya.

Semenjak itu, jumlah angkot yang dimilikinya pun makin banyak. Pertengahan 1990-an ia sudah memiliki belasan unit angkot. Menurutnya masa kejayaan angkot sebagai sarana transportasi umum di Kota Palangka Raya berkisar tahun 1990-an hingga 2017-an.

Karena profesinya sebagai pegawai, taka jarang ia diundang untuk berkhotbah dan berceramah di masjid. Hal itu membuatnya makin dikenal warga. Dengan makin banyaknya angkot yang dimiliki, usahanya pun makin berkembang. Bahkan dia sempat memiliki 29 unit angkot yang harus dikelola tiap hari.

“Angkot yang saya miliki itu bukan yang paling banyak tetapi termasuk yang cukup banyak waktu itu,” ucapnya.

Dia berceritanya bahwa saat itu, setoran angkot yang di terima nya dari para sopir yang membawa mobilnya berkisar Rp75 ribu/hari. “Selain itu, harga onderdil mobil waktu itu masih murah,” terangnya lagi.

Dengan berkembangnya usaha dikelolanya, H Maskur merasa bersyukur bisa berhasil menyekolahkan kedua anaknya hingga ke jenjang pendidikan tinggi dan hidup mapan.

“Alhamdulillah dari penghasilan usaha angkot, kami bisa menyekolahkan anak-anak kami, satu anak saya lulusan UGM dan sekarang sudah menjadi dosen di UIN Malang, satunya lagi sekolah kedokteran di Surabaya dan sekarang bekerja di Rumah Sakit Islam di Malang,” kata H Maskur sembari menambahkan, dari usaha angkot itu pula ia dan istri bisa menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.

H Maskur membenarkan saat ini bisnis angkot di Palangka Raya sedang memasuki masa-masa suram. Kondisi itu dirasakan oleh pengusaha angkot maupun sopir.

Baca Juga :  DPW ALFI/ ILFA Kalteng Siap Bersinergi Bersama Pemerintah

Sebagai seorang pengusaha angkot, ia sendiri merasakan penurunan bisnis yang terjadi saat adanya kebijakan pemko yang mewajibkan pengusaha angkot mendirikan perusahaan berbentuk CV.

“Mulai menurun itu waktu ada kebijakan kalau yang punya angkot, biarpun punya satu atau banyak harus bikin CV,” katanya dan menambahkan kebijakan itu dikeluarkan pemko sekitar tahun 2019.

Kebijakan perihal mendirikan perusahaan berbentuk CV itu dikeluarkan secara tiba tiba tanpa konsultasi maupun sosialisasi dengan para pengusaha angkot. Apabila pengusaha angkot tidak mengikuti aturan tersebut, maka ada hukuman berupa denda.

“Saya saja pernah kena denda waktu mau memperpanjang izin di Samsat,” katanya.

Demi mengikuti kebijakan pemko tersebut, H Maskur sempat mendirikan sebuah CV yang dinamai CV Al-Amin, sebagai tempat bernaung seluruh angkot yang dimilikinya. Kondisi paling sulit yang dialami pebisnis angkot adalah saat terjadi pandemi Covid-19.

“Jangankan sopir bisa mengharapkan dapat penumpang, mobil ini saja tidak bisa jalan,” kata H Maskur sambil menunjuk deretan angkot yang terparkir di halaman rumahnya.

Kondisi penurunan jumlah penumpang angkot sejak pandemi Covid 19 terus berlangsung sampai sekarang.

“Sekarang ini kalau tidak punya penumpang langganan, bagi sopir untuk bayar setoran Rp 40 ribu saja itu sudah cukup berat,” tuturnya.

Bahkan beberapa angkot miliknya tidak bisa beroperasi karena tidak ada lagi sopir yang mau menyewa.

“Percaya gak, itu ada angkot saya yang dari tahun 2020 itu sampai sekarang tidak pernah jalan,” kata H Maskur menunjuk ke salah satu angkot.

Karena kondisi tersebut, ia terpaksa menjual sebagian besar angkot yang dimilikinya. Kini mobil angkot yang dimilikinya hanya tersisa 9 unit.

“Ada sekitar 21 unit sudah saya jual,” bebernya.

Menurutnya ada banyak faktor yang ikut memengaruhi penurunan bisnis angkot. Di antaranya karena makin mudah bagi masyarakat untuk memiliki kendaraan pribadi melalui kredit.

Selain itu, banyak warga yang lebih memilih menggunakan jasa transportasi online. “Sekarang ini banyak yang milih naik Grab dan Go-Jek, karena bisa diantar sampai depan rumah,” katanya.

Ia juga mengeluhkan soal biaya pemeliharaan angkot yang makin membengkak dan mahalnya biaya memperpanjang STNK kendaraan.

“Saya dulu karena kondisi sepi, menurun kan setoran angkot jadi Rp 35 ribu aja, tetapi itu enggak nyukupin untuk biaya perawatan mobil, untuk ngetap oli saja sekali ganti Rp150 ribu, belum (perawatan) yang lain, jadi saya pikir daripada mobi jalan, mending parkir di rumah saja,” ujarnya.

Maskur juga mengaku bingung dengan adanya perbedaan biaya perpanjangan STNK mobil angkot.

“Saya sempat bingung, sama-sama mobil angkotnya, (tapi) bisa beda-beda bayar biaya STNK-nya, ada yang cuma Rp300 ribu, tapi ada yang sampai Rp900 ribu, seperti apa itu hitungannya,” kata H Maskur sambil menunjukkan STNK yang dimaksud.

Maskur mengaku sempat menanyakan masalah tersebut ke petugas Samsat, tetapi sama sekali tidak mendapat jawaban yang jelas dan memuaskan.

“Waktu ditanya mereka juga ngakunya enggak tahu kenapa beda, kan aneh,” kata Maskur.

Dengan kondisi yang terjadi seperti sekarang ini, bila tidak ada upaya pemerintah kota untuk membantu memperbaiki usaha angkot, maka dalam beberapa tahun ke depan, keberadaan angkot sebagai sarana transportasi umum di Palangka Raya akan punah dan tinggal kenangan.

H Maskur mencontohkan Kota Banjarmasin, Kalsel. Saat ini hampir tidak terlihat lagi angkot beroperasi.

“Tolong pemerintah terutama pemangku kebijakan untuk segera membantu kami para pengusaha angkot, memperbaiki kondisi perekonomian para sopir angkot, jangan sampai kondisi ini terus dibiarkan, seperti hidup segan mati pun tak mau,” pungkasnya. (*/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/