Sabtu, Oktober 5, 2024
29.4 C
Palangkaraya

Ratusan Lahan Food Estate Mangkrak,Bibit Padi Bantuan Kedaluwarsa

PULANG PISAU-Desa Pilang dan Desa Mulyasari di Kabupaten Pulang Pisau merupakan dua wilayah ekstensifikasi atau perluasan area food estate. Jika digabungkan, ada lebih 200 hektare lahan yang sudah diratakan menggunakan alat berat tahun lalu. Hampir semuanya belum tergarap. Ilalang dan semak belukar pun meninggi dan tumbuh subur. Bukan padi. Realitas itulah yang terlihat ketika wartawan Kalteng Pos meninjau langsung lokasi tersebut, akhir pekan lalu.

Ani, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng menjadi pendamping saat itu. Wanita berkacamata itu mengatakan mereka telah melakukan monitoring intens selama setahun untuk melihat perkembangan penggarapan lahan di sana. Dari hasil monitoring, pihaknya menilai antara perencanaan dan implementasi proyek food estate yang digagas pemerintah di daerah tersebut jauh dari yang diharapkan.

Baca Juga :  74 Tahun Polwan RI Berkarya di Negeri Ini

Pasalnya, masih terdapat lahan tergarap, tapi belum optimal. Bahkan ada lahan yang belum tergarap sama sekali. Perubahan pola pertanian masyarakat dan dampak lingkungan yang ditimbulkan juga harus jadi perhatian.

Desa pertama yang kami kunjungi adalah Desa Pilang. Satu jam lamanya perjalanan darat dari Kota Palangka Raya. Sesampai di sana, langsung menemui Priska, anggota Kelompok Tani (Poktan) Parit Pemerintah. Untuk sampai ke lokasi lahan yang sudah dibabat oleh alat berat itu, harus menggunakan transportasi air. Ada tumpukan karung di pinggir Jalan Temanggung Tambuang menuju pelabuhan. Ada yang berlubang, bekas gigitan tikus. Benih padi pun berceceran di sekitarnya.

“Itu bibit sumbangan pemerintah, tapi sudah kedaluwarsa, karena datang sebelum lahan digarap. Parahnya, bibit itu tidak digunakan, karena tidak cocok dengan kondisi tanah di sini,” celetuk Ani kepada Kalteng Pos.

Baca Juga :  Listyo Sigit: Polisi Lalu Lintas Tak Perlu Lakukan Tilang

Sesampai di dermaga, kami melanjutkan perjalanan ke lokasi lahan ekstensifikasi. 15 menit perjalanan dengan menumpangi perahu kecil atau kelotok berukuran empat meter. Menyusururi sungai yang airnya berwarna cokelat susu. Semak belukar tumbuh di kiri kanan sungai. Jauh mata memandang, terlihat pohon-pohon tinggi menjulang. Itulah hutan yang ada di desa setempat. Pohon-pohon endemik Kalimantan itu tak seberuntung pohon yang ada di sekitarnya yang sudah ditumbangkan. “Itu lahan yang dijadikan sawah,” tunjuk Priska. “Dahulu itu juga hutan,” tambahnya.

PULANG PISAU-Desa Pilang dan Desa Mulyasari di Kabupaten Pulang Pisau merupakan dua wilayah ekstensifikasi atau perluasan area food estate. Jika digabungkan, ada lebih 200 hektare lahan yang sudah diratakan menggunakan alat berat tahun lalu. Hampir semuanya belum tergarap. Ilalang dan semak belukar pun meninggi dan tumbuh subur. Bukan padi. Realitas itulah yang terlihat ketika wartawan Kalteng Pos meninjau langsung lokasi tersebut, akhir pekan lalu.

Ani, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng menjadi pendamping saat itu. Wanita berkacamata itu mengatakan mereka telah melakukan monitoring intens selama setahun untuk melihat perkembangan penggarapan lahan di sana. Dari hasil monitoring, pihaknya menilai antara perencanaan dan implementasi proyek food estate yang digagas pemerintah di daerah tersebut jauh dari yang diharapkan.

Baca Juga :  74 Tahun Polwan RI Berkarya di Negeri Ini

Pasalnya, masih terdapat lahan tergarap, tapi belum optimal. Bahkan ada lahan yang belum tergarap sama sekali. Perubahan pola pertanian masyarakat dan dampak lingkungan yang ditimbulkan juga harus jadi perhatian.

Desa pertama yang kami kunjungi adalah Desa Pilang. Satu jam lamanya perjalanan darat dari Kota Palangka Raya. Sesampai di sana, langsung menemui Priska, anggota Kelompok Tani (Poktan) Parit Pemerintah. Untuk sampai ke lokasi lahan yang sudah dibabat oleh alat berat itu, harus menggunakan transportasi air. Ada tumpukan karung di pinggir Jalan Temanggung Tambuang menuju pelabuhan. Ada yang berlubang, bekas gigitan tikus. Benih padi pun berceceran di sekitarnya.

“Itu bibit sumbangan pemerintah, tapi sudah kedaluwarsa, karena datang sebelum lahan digarap. Parahnya, bibit itu tidak digunakan, karena tidak cocok dengan kondisi tanah di sini,” celetuk Ani kepada Kalteng Pos.

Baca Juga :  Listyo Sigit: Polisi Lalu Lintas Tak Perlu Lakukan Tilang

Sesampai di dermaga, kami melanjutkan perjalanan ke lokasi lahan ekstensifikasi. 15 menit perjalanan dengan menumpangi perahu kecil atau kelotok berukuran empat meter. Menyusururi sungai yang airnya berwarna cokelat susu. Semak belukar tumbuh di kiri kanan sungai. Jauh mata memandang, terlihat pohon-pohon tinggi menjulang. Itulah hutan yang ada di desa setempat. Pohon-pohon endemik Kalimantan itu tak seberuntung pohon yang ada di sekitarnya yang sudah ditumbangkan. “Itu lahan yang dijadikan sawah,” tunjuk Priska. “Dahulu itu juga hutan,” tambahnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/