PALANGKA RAYA-Sengketa kepemilikan tanah di Jalan Hiu Putih VIII A, Palangka Raya telah menemui titik terang. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya telah mengabulkan gugatan yang diajukan Hj Musrifah. Dengan demikian, 12 sertifikat hak milik (SHM) yang dipegang warga terancam dicabut alias dibatalkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Palangka Raya.
“Saya akan banding. Yang jelas kami tidak terima dengan putusan hakim,”seru Sardi Efendi. Pria paruh baya itu merupakan satu dari 12 warga Jalan Hiu Putih VIII A yang merasa dirugikan atas putusan majelis hakim dari PTUN Palangka Raya.
Saat Kalteng Pos bercakap-cakap dengan mereka, tampak wajah-wajah kekecewaan dan kecemasan. Sudah ada 14 bangunan rumah yang telah didirikan di atas objek tanah yang disengketakan itu. Sardi mengkritik keras penyelenggaraan persidangan yang memutuskan pihak Hj Musrifah menang perkara. Warga memilih melawan dengan melakukan banding.
“Rencana kami, dari 12 sertifikat yang disengketakan, 11 di antaranya menggunakan kuasa hukum, jadi hak kuasa hukum terserah, tetapi saya berencana mengajukan banding secara mandiri, intinya kami tidak terima dengan keputusan pengadilan,” ungkap Sardi kepada wartawan saat ditemui di kediamannya, Selasa malam (12/7).
Sardi menilai, sejak awal hingga akhir persidangan kasus ini, ada satu kekurangan, yakni terkait peninjauan ke lapangan untuk memastikan koordinat bidang tanah yang dimiliki Hj Musrifah, apakah memang benar-benar berada di lokasi objek sengketa atau tidak.
“Karena waktu mediasi di polres, lokasi sertifikat milik mereka itu bukan berada di tanah milik kami, dengan kata lain bukan objek sengketa. Kami pikir seharusnya dalam rentetan sidang itu ada sidang lapangan untuk memastikan apakah koordinat lahan pada sertifikat yang disangkakan berada di lokasi tanah kami,” jelasnya.
Sardi mengaku sangat menyayangkan pengambilan keputusan oleh hakim tanpa mengecek langsung koordinat tanah di lokasi sengketa. Karena itu, saat menggugat ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta nanti, ia akan menekankan poin pengecekan lapangan.
“Kalau nanti saya ajukan banding ke PTTUN Jakarta, mereka sebaiknya mengecek langsung ke lapangan terkait koordinat tanah yang disengketakan itu, karena selama sidang di sini tidak ada pengecekan lapangan,” ujarnya.
Menurutnya, proses persidangan putusan sengketa tumpang tindih sertifikat yang dialami pihaknya ini memiliki banyak hal yang mengganjal. Sardi menyebut, dalam waktu dekat dirinya akan mengajukan banding pada hari Kamis pekan ini untuk banding ke PTTUN.
“Punyaku ini akan kuajukan banding ke PTTUN, pasti banding, sampai mana pun akan saya tuntut. Kami tahu bahwa hakim memiliki kuasa untuk memutuskan, tetapi harus berdasarkan bukti-bukti yang jelas, sementara mereka cuman menghadirkan satu saksi, bukti mereka pun tidak pernah diklarifikasi dengan kami,” tuturnya.
Sardi menegaskan pihaknya punya keinginan membawa pihak Hj Musrifah untuk membuktikan keabsahan sertifikat, apakah sertifikat milik Hj Musrifah itu berada dalam objek milik pihaknya atau tidak.
“Kami inginkan itu, ayo kita sama-sama menunjukkan bukti kepemilikan, kami ingin buktikan apakah koordinat tanah pada sertifikat milik Hj Musrifah memang benar-benar di tanah milik warga,” tandasnya.
Kasus SHM ganda tersebut mencuat setelah pihak Hj Musrifah menggugat Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palangka Raya ke PTUN, karena telah menerbitkan SHM tanah kepada sejumlah warga. Puncak bergulirnya kasus itu terjadi setelah majelis hakim sidang memutuskan mengabulkan gugatan yang diajukan Hj Musrifah. Perkara itu dimenangkan oleh Hj Musrifah. Beberapa warga yang telah memiliki sertifikat tanah pada objek yang disengketakan dianggap maladministrasi.
“Proses persidangan berjalan seperti pada umumnya. Terkait mengapa gugatan Hj Musrifah dikabulkan, karena dari sisi pembuktian sudah jelas bahwa serifikat milik Hj Musrifah terbit lebih dahulu daripada sertifikat yang menjadi objek sengketa,” kata kuasa hukum Hj Musrifah, Abdul Siddiq kepada Kalteng Pos, Rabu (12/7).
Sidiq menjelaskan, sudah banyak yurisprudensi maupun surat edaran dari Mahkamah Agung (MA) yang dapat menjawab terkait persoalan sengketa lahan seperti itu.
“Memang kalau dalam kasus sertifikat ganda, pembuktian yang lebih kuat dan memiliki kekuatan hukum adalah sertifikat yang terbit lebih dahulu ketimbang yang terbit belakangan,” ujarnya.
Dari sisi pertimbangan, Sidiq menyebut majelis hakim menilai bahwa sertifikat yang dikantongi warga untuk tanah yang menjadi objek sengketa, dilihat dari sisi prosedural maupun substansi, terdapat cacat administrasi.
“Di situ terdapat cacat administrasi, sudah jelas pada tahun 2010 mereka (warga, red) belum punya sertifikat, sedangkan sudah pernah diadakan mediasi antara warga dengan pihak Hj Musrifah tahun itu, otomatis mereka sudah tahu bahwa Bu Musrifah ini sudah punya sertifikat,” tuturnya.
Sidiq menambahkan, salah satu warga yang tanahnya disengketakan mengajukan permohonan pengembalian batas dengan membuat kesepakatan bersama Hj Musrifah.
“Kami sudah buktikan di situ, sudah ada surat pernyataannya, warga menyatakan bahwa mereka mengajukan pengembalian batas apabila benar sertifikat milik Hj Mustifah itu ada di lokasi yang mereka kuasai, mereka bersedia keluar. Hasilnya, sertifikat milik Hj Musrifah berada di objek sengketa yang mereka kuasai,” jelasnya.
Terkait dengan ketidaktepatan letak koordinat antara tanah milik warga dan tanah milik Hj Musrifah, sehingga menyebabkan lokasi objek tanah yang digugat Hj Musrifah tidak sesuai, Siddiq mengatakan, dari pihak BPN pun sudah mengonfirmasi bahwa sertifikat yang dimiliki warga memang tumpang tindih.
“Kemarin sudah kami buktikan bahwa memang benar sertifikat yang dimiliki warga diterbitkan di atas sertifikat milik Hj Musrifah. Terkait masalah ini sudah pernah diadakan rapat di kantor BPN tahun 2016 lalu, mempertimbangkan bahwa sertifikat yang terbit di atas sertifikat tanah milik Hj Musrifah harus dibatalkan karena tumpang tindih,” ujarnya seraya menyebut pihaknya memiliki notulen rapat tersebut.
Untuk upaya ke depan, lanjut Sidiq, jika tidak ada upaya damai dari pihak warga, maka akan dieksekusi pihaknya. Berdasarkan kondisi saat ini, terkait upaya perdamaian, pihaknya belum membahas dengan Hj Musrifah.
“Dari awal Ibu Hj Musrifah sendiri sudah mau mediasi dengan warga, itu sejak tahun 2010 lalu, tetapi setelah keluar berita acara pengembalian batas dan benar bahwa objek tanah milik Hj Musrifah di situ, warga malah tutup mata dan telinga,” ungkapnya.
Siddiq menyebut sampai saat ini pihaknya masih memantau dan menanti upaya damai dari pihak warga. Ia menyebut, penyelesaian perkara ini tergantung pada perkembangan ke depan. “Tergantung kondisi nantilah, bagaimana ke depannya,” tandasnya.(dan/ce/ala)