Jumat, November 22, 2024
31.2 C
Palangkaraya

Genting di Tanjung Puting

MENJELANG sore, kapal wisata yang berangkat dari Pelabuhan Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Kalteng) membawa wartawan Kalteng Pos dan rombongan membelah Sungai Kumai. Burung walet beterbangan di sekitar Sungai Kumai dan muara Sungai Sekonyer. Sesekali burung-burung itu terbang rendah dan menyapu permukaan air yang berwarna kecokelatan.

Agus yang duduk di balik kemudi, menjalankan kapal dengan kecepatan sedang. Sementara Akbar sebagai anak buah kapal memandu dari sisi kanan dan kiri kemudi. Patung orang utan terpajang di muara Sekonyer. Kapal  berbelok pelan, lalu menyisir sisi kanan sungai yang dibingkai nipah. Sesekali tampak bekantan bergelantungan di dahan pohon. Menatap kami sembari memekik bersahutan.

Setelah tiga jam berlayar, kapal pun bersandar di Dermaga Tanjung Harapan. Lokasi itu menjadi tempat singgah bagi wisatawan yang ingin melihat petugas Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) memberi makan orang utan setiap pukul 15.00 WIB. Namun karena terlambat tiba, kami tidak sempat melihat aktivitas itu. Tepat di seberang dermaga terdapat Desa Sungai Sekonyer yang kami singgahi keesokan harinya.

Mulidah, perangkat desa yang kami temui menuturkan, hampir semua pria Desa Sungai Sekonyer bekerja di perusahaan sawit yang konsesinya berada di sekitar permukiman. Sementara sebagian kecil warga bekerja di sektor wisata dengan menyediakan kapal pengantar turis. “Adanya perusahaan cukup membantu perekonomian warga,” ujarnya.

Di Desa Sungai Sekonyer bero­perasi dua perusahaan sawit, yakni PT. Andalan Sukses Makmur dan PT. Bumi Langgeng Perdanatrada. Wilayah kerja kedua perusahaan itu berdekatan dengan TNTP. Hanya terpisahkan oleh Sungai Sekonyer.

Menurut Yayasan Madani Berkelanjutan, perusahaan sawit yang mempunyai izin konsesi di zona penyangga TNTP tidak hanya dua. Total ada 15 perusahaan. 13 perusahaan sawit lain adalah PT. Inotruba Tengah, PT. Surya Sawit Sejati, PT. Wana Sawit Subur Lestari, PT. Investa Karya Bakti, PT. Kumai Sentosa, PT. Natai Sawit Perkasa, PT. Borneo Eka Sawit Tangguh,
PT. Gawi Bahandep Sawit Mekar,
PT. Graha Indo Sawit Andal Tunggal, PT. Mega Ika Khansa, PT. RIM Capitol, PT. Rimba Sawit Utama Planindo, dan PT. Wahana Agrotama Makmur Perkasa.

Dalam catatan Madani, lahan konsesi yang dimiliki perusahaan-perusahaan tersebut menduduki kawasan TNTP. Contohnya, lahan konsesi milik PT. Bumi Langgeng Perdanatrada yang diberikan oleh pemerintah daerah pada 2004, lahan anak usaha PT. Bumitama Gunajaya Agro (2013), dan lahan milik PT. Kumai Sentosa (2015).

Staf Tata Kelola Sawit Madani, Intan Elvira, yang saat itu ikut bersama Kalteng Pos mengunjungi TNTP menyampaikan, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit alias Inpres Moratorium Sawit akan berakhir September 2021.  “Karena itu kami mendorong Inpres Moratorium Sawit diperpanjang,” kata dia.

Menurut Intan, TNTP akan berada dalam kondisi genting jika tidak ada langkah-langkah konkret untuk menyelamatkan paru-paru dunia ini. Pihaknya khawatir kawasan TNTP di luar zona inti dan zona penyangga akan beralih sepenuhnya menjadi perkebunan sawit. Dampaknya akan sangat buruk bagi habitat orang utan dan ekosistem setempat.

Berdasarkan data pengelola TNTP, ancaman terhadap hutan tidak hanya deforestasi. Ketika musim kemarau tiba, giliran karhutla yang mengancam. Pelakunya diduga adalah perusahaan-perusahaan sawit pemegang konsesi lahan dan warga setempat. Saat kemarau, karhutla bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.

Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Kalteng Inspektur Jenderal Pol Dedi Prasetyo dalam berbagai kesempatan  selalu mengatakan, 99 persen karhutla dipicu oleh ulah manusia. Ia juga menyebut bahwa TNTP merupakan salah satu wilayah yang rawan kebakaran, selain Taman Nasional Sebangau. 

Baca Juga :  Asap Karhutla Menyebabkan ISPA

Hingga memasuki Agustus, pihaknya belum menerima laporan karhutla di dua taman nasional yang ada di Kalteng ini. ”Namun kami tetap mewaspadai itu apabila kemarau cukup panjang, hal yang paling rawan dan menjadi fokus kami adalah dua taman nasional itu,” ujarnya, Selasa (10/8).

Ancaman bagi Orang Utan

TNTP sendiri berada di dua wailayah, yakni Kabupaten Seruyan dan Kotawa­ringin Barat. Berdasarkan pencatatan pada 2020, total luas TNTP sekitar 411.410,97 hektare. Mencakup zona inti 64.673,42 hektare; zona khusus 16.721,61 hektare; zona rimba 108.646,24 hektare; zona perlin­dungan bahari 11.085,2 hektare; zona pemanfaatan 36.089,97 hektare; zona tradisional 37.765,36 hektare; zona rehabilitasi 136.435,02 hektare; dan zona religi budaya 0,15 hektare. Dari seluruh luas lahan TNTP,   hanya sekitar 81.394 hektare yang masih layak menjadi habitat orang utan dan hewan liar lain.

Kepala Balai TNTP Murlan Dameria Pane menyampaikan, berdasarkan pemantauan yang dilakukan pada 2020, kerapatan individu orang utan terhadap 85.740 hektare lahan adalah 1,42 individu/km2. Jumlah tersebut naik dari data 2015 sebesar 1,14 individu/km2. “Kami mempertahan­kan keberadaan orang utan dengan menjaga habitatnya dari aktivitas ilegal melalui patroli,  pemantauan,  pemulihan ekosistem, pengayaan jenis, dan lainnya,” kata Murlan melalui pesan WhatsApp. 

Kepala Kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam Seksi Wilayah Kerja (BKSDA SKW) II Pangkalan Bun Dendi Setiadi menimpali, sebagian tutupan lahan di lanskap TNTP sudah dikonversi menjadi perkebunan sawit, baik lahan konsesi maupun lahan masyarakat. “Di sekitar TNTP masih ada hutan produksi dan tutupan lahan yang bagus, area itu juga menjadi habitat orang utan dan hewan lain,” tuturnya dalam sesi wawancara melalui Zoom.

Dia mengklaim, 70-80 persen konflik antara orang utan dengan manusia terjadi di luar kawasan konservasi. Dalam catatan BKSDA Pangkalan Bun, 2019 lalu telah dilakukan 19 kali penyelamatan terhadap 27 orang utan di area perkebunan sawit dan permukiman warga. Pada 2020 ada 21 kali penyelamatan terhadap 26 orang utan. Kemudian, periode Januari-Maret 2021 dilakukan 7 kali penyelamatan terhadap 11 orang utan. 

“Konflik dengan satwa liar atau orang utan semestinya bisa diminimalkan, tapi butuh komitmen dari perusahaan sawit,” ujar dia.

Dendi menyebut, pemegang konsesi seharusnya bisa menghalau orang utan supaya tidak masuk wilayah perkebunan mereka. Ia mengatakan, BKSDA Pangkalan Bun pernah mengajak perusahaan pemegang konsesi untuk bertemu dan mencari solusi pena­nganan terhadap orang utan. Targetnya adalah melatih perusahaan agar bisa melakukan pencegahan mandiri.

“Namun pemegang konsesi tidak merespons ajakan kami, mereka anggap diri sebagai korban juga,” ucapnya sembari menambahkan, para ahli sedang menyiapkan aturan agar pemegang konsesi dibebani dana pemulihan habitat.

Dikatakan Dendi, BKSDA Pang­kalan Bun bersama mitra kerja te­ngah mencari habitat baru bagi orang utan. Alasannya, kondisi TNTP sudah terlalu padat. Persoalannya, kawasan di luar zona inti tidak begitu baik sebagai habitat orang utan. “Masih banyak orang utan yang hidup di luar wilayah konservasi, wilayah-wilayah itu juga terancam, deforestasi kawasan hutan begitu cepat,” tuturnya.

Ia menyebut, BKSDA Pangkalan Bun pernah melakukan mitigasi di hutan produksi yang merupakan habitat orang utan. Lokasinya di bagian timur TNTP, tepatnya di Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan. Kerapatan orang utan di kawasan seluas 50 hektare itu sebesar 1,3 individu/kilometer persegi. Area itu kemudian diklaim oleh masyarakat setempat, dan saat ini sudah dibeli oleh perusahaan sawit.

“Saya sudah minta agar lokasi yang masih bagus bagi orang utan tidak dibuka dan dijadikan kebun sawit, saya sarankan tidak diberi izin,” tegas Dendi.

Berdasarkan pantauan Kalteng Pos, dalam kawasan maupun sekitar TNTP masih ada kegiatan-kegiatan ilegal yang dilakukan masyarakat. Di bagian utara TNTP misalnya, banyak pertambangan liar. Dampaknya, air Sungai Sekonyer berubah keruh, tidak lagi hitam. Pemandangan itu terlihat sampai ke Simpang Ali.

Baca Juga :  Apresiasi Baznas Adakan Bedah Rumah

Simpang Ali merupakan pertemuan aliran air dari hulu Sungai Sekonyer dan aliran yang mengarah ke feeding orang utan di Kamp Leakey yang biasa dikunjungi wisatawan. Padahal air sungai yang hitam khas wilayah gambut merupakan daya tarik bagi wisatawan. Hal lain yang mengancam keberlangsungan TNTP adalah aktivitas berburu. Pada musim kemarau, para pemburu musiman diduga membakar ilalang untuk membuka jalan, sehingga memicu karhutla.  

Wakil Bupati Kotawaringin Barat Ahmadi Riansyah menyampaikan, kawasan hutan di kabupaten tersebut terdiri dari hutan produksi dan konversi. Menurut dia, sudah tidak mungkin lagi ada izin baru bagi perusahaan sawit maupun komoditas lain. “Sudah dipenuhi sawit, sudah mentok,” ucap Ahmadi saat diwawancarai di ruang kerjanya.

Ia mengharapkan pemerintah pusat meninjau kembali perizinan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan sawit. Peraturan yang dibuat kelak, kata Ahmadi, harus menguntungkan pemerintah daerah dan mas­yarakat setempat. “Jangan sampai pajak dari perkebunan sawit lari ke pemerintah pusat, tapi kalau ada karhutla dan kejahatan lingkungan, peme­rintah daerah yang dibebani tanggung jawab,” ucapnya.

Ahmadi menuturkan, miliaran rupiah dana pembangunan infrastruktur terpaksa dialihkan untuk memadamkan kebakaran. Pada sisi lain, lanjut dia, pembagian pendapatan pajak dari hasil perkebunan kelapa sawit tidak jelas. “Berapa jumlah pajak dari perkebunan dan CPO, pemerintah daerah sendiri tidak tahu,” katanya. Ia berpendapat bahwa Inpres Moratorium Sawit merupakan kesempatan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi dan menata semua perizinan yang telah diterbitkan.  

Karhutla di TNTP, menurut Ahmadi, justru sering terjadi di area hutan tidak produktif atau telantar. Ia pun menuding status hutan tersebut adalah hutan konversi dan produksi yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. 

Ahmadi lantas meminta peme­rintah pusat mengucurkan anggaran untuk memberdayakan masyarakat, sebagai bagian dari upaya pencegahan kebakaran. Ia menilai bahwa masyarakat saat ini sudah lebih peduli terhadap hutan. “Dahulu para pelaku jasa wisata tak peduli kalau ada kebakaran, tapi sekarang mereka sudah peduli, karena me­reka sadar TNTP menjadikan me­reka sejahtera,” sebutnya.

Terkait pencegahan karhutla, Ahmadi mengklaim pemerintah daerah bersama instansi terkait selalu  melakukan patroli di daerah rawan terbakar, serta memberikan sosiali­sasi kepada masyarakat yang  tinggal di sekitar TNTP untuk sa­ling menjaga. Soal air sungai yang keruh, politikus PDIP itu mengaku kondisi tersebut sudah berlangsung lama gara-gara adanya pertamba­ngan emas liar. Pihaknya pun sedang mencari cara untuk meng­alihkan aktivitas masyarakat dari menambang ke budi daya ikan.

Pelaksana Tugas (Plt) Badan Pe­nanggulangan Bencana Daerah Kotawaringin Barat Teuku Ali Syahbana menambahkan, pemerintah daerah terus melakukan upaya antisipasi dan pencegahan kebakaran. Dia memaparkan, berdasarkan digitasi atau pemetaan citra satelit pada 2019 lalu, luas kebakaran di area TNTP mencapai 10.059 hektare, sedangkan di luar kawasan TNTP seluas 5.983 hektare.

Ihwal anggaran penanganan karhutla, dia menjelaskan, setiap tahun dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sejak 2018 didukung pula oleh Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH-DR) dari Kementerian Kehutanan.

Ali berkata, nilai anggaran pe­nanganan karhutla 2018 mencapai Rp11.142.780.000, 2019 sebesar Rp7.360.380.000, 2020 sebesar Rp10.124.744.000,  dan 2021 sebesar Rp2.769.917.300.000.  “Anggaran ini rutin diberikan untuk penanganan karhutla, selama lima tahun terakhir berubah-ubah jumlahnya, dari dana inilah tindakan antisipasi maupun penanganan karhutla dilakukan,” beber dia. (ram/ce)

MENJELANG sore, kapal wisata yang berangkat dari Pelabuhan Kumai, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Kalteng) membawa wartawan Kalteng Pos dan rombongan membelah Sungai Kumai. Burung walet beterbangan di sekitar Sungai Kumai dan muara Sungai Sekonyer. Sesekali burung-burung itu terbang rendah dan menyapu permukaan air yang berwarna kecokelatan.

Agus yang duduk di balik kemudi, menjalankan kapal dengan kecepatan sedang. Sementara Akbar sebagai anak buah kapal memandu dari sisi kanan dan kiri kemudi. Patung orang utan terpajang di muara Sekonyer. Kapal  berbelok pelan, lalu menyisir sisi kanan sungai yang dibingkai nipah. Sesekali tampak bekantan bergelantungan di dahan pohon. Menatap kami sembari memekik bersahutan.

Setelah tiga jam berlayar, kapal pun bersandar di Dermaga Tanjung Harapan. Lokasi itu menjadi tempat singgah bagi wisatawan yang ingin melihat petugas Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) memberi makan orang utan setiap pukul 15.00 WIB. Namun karena terlambat tiba, kami tidak sempat melihat aktivitas itu. Tepat di seberang dermaga terdapat Desa Sungai Sekonyer yang kami singgahi keesokan harinya.

Mulidah, perangkat desa yang kami temui menuturkan, hampir semua pria Desa Sungai Sekonyer bekerja di perusahaan sawit yang konsesinya berada di sekitar permukiman. Sementara sebagian kecil warga bekerja di sektor wisata dengan menyediakan kapal pengantar turis. “Adanya perusahaan cukup membantu perekonomian warga,” ujarnya.

Di Desa Sungai Sekonyer bero­perasi dua perusahaan sawit, yakni PT. Andalan Sukses Makmur dan PT. Bumi Langgeng Perdanatrada. Wilayah kerja kedua perusahaan itu berdekatan dengan TNTP. Hanya terpisahkan oleh Sungai Sekonyer.

Menurut Yayasan Madani Berkelanjutan, perusahaan sawit yang mempunyai izin konsesi di zona penyangga TNTP tidak hanya dua. Total ada 15 perusahaan. 13 perusahaan sawit lain adalah PT. Inotruba Tengah, PT. Surya Sawit Sejati, PT. Wana Sawit Subur Lestari, PT. Investa Karya Bakti, PT. Kumai Sentosa, PT. Natai Sawit Perkasa, PT. Borneo Eka Sawit Tangguh,
PT. Gawi Bahandep Sawit Mekar,
PT. Graha Indo Sawit Andal Tunggal, PT. Mega Ika Khansa, PT. RIM Capitol, PT. Rimba Sawit Utama Planindo, dan PT. Wahana Agrotama Makmur Perkasa.

Dalam catatan Madani, lahan konsesi yang dimiliki perusahaan-perusahaan tersebut menduduki kawasan TNTP. Contohnya, lahan konsesi milik PT. Bumi Langgeng Perdanatrada yang diberikan oleh pemerintah daerah pada 2004, lahan anak usaha PT. Bumitama Gunajaya Agro (2013), dan lahan milik PT. Kumai Sentosa (2015).

Staf Tata Kelola Sawit Madani, Intan Elvira, yang saat itu ikut bersama Kalteng Pos mengunjungi TNTP menyampaikan, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit alias Inpres Moratorium Sawit akan berakhir September 2021.  “Karena itu kami mendorong Inpres Moratorium Sawit diperpanjang,” kata dia.

Menurut Intan, TNTP akan berada dalam kondisi genting jika tidak ada langkah-langkah konkret untuk menyelamatkan paru-paru dunia ini. Pihaknya khawatir kawasan TNTP di luar zona inti dan zona penyangga akan beralih sepenuhnya menjadi perkebunan sawit. Dampaknya akan sangat buruk bagi habitat orang utan dan ekosistem setempat.

Berdasarkan data pengelola TNTP, ancaman terhadap hutan tidak hanya deforestasi. Ketika musim kemarau tiba, giliran karhutla yang mengancam. Pelakunya diduga adalah perusahaan-perusahaan sawit pemegang konsesi lahan dan warga setempat. Saat kemarau, karhutla bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.

Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Kalteng Inspektur Jenderal Pol Dedi Prasetyo dalam berbagai kesempatan  selalu mengatakan, 99 persen karhutla dipicu oleh ulah manusia. Ia juga menyebut bahwa TNTP merupakan salah satu wilayah yang rawan kebakaran, selain Taman Nasional Sebangau. 

Baca Juga :  Asap Karhutla Menyebabkan ISPA

Hingga memasuki Agustus, pihaknya belum menerima laporan karhutla di dua taman nasional yang ada di Kalteng ini. ”Namun kami tetap mewaspadai itu apabila kemarau cukup panjang, hal yang paling rawan dan menjadi fokus kami adalah dua taman nasional itu,” ujarnya, Selasa (10/8).

Ancaman bagi Orang Utan

TNTP sendiri berada di dua wailayah, yakni Kabupaten Seruyan dan Kotawa­ringin Barat. Berdasarkan pencatatan pada 2020, total luas TNTP sekitar 411.410,97 hektare. Mencakup zona inti 64.673,42 hektare; zona khusus 16.721,61 hektare; zona rimba 108.646,24 hektare; zona perlin­dungan bahari 11.085,2 hektare; zona pemanfaatan 36.089,97 hektare; zona tradisional 37.765,36 hektare; zona rehabilitasi 136.435,02 hektare; dan zona religi budaya 0,15 hektare. Dari seluruh luas lahan TNTP,   hanya sekitar 81.394 hektare yang masih layak menjadi habitat orang utan dan hewan liar lain.

Kepala Balai TNTP Murlan Dameria Pane menyampaikan, berdasarkan pemantauan yang dilakukan pada 2020, kerapatan individu orang utan terhadap 85.740 hektare lahan adalah 1,42 individu/km2. Jumlah tersebut naik dari data 2015 sebesar 1,14 individu/km2. “Kami mempertahan­kan keberadaan orang utan dengan menjaga habitatnya dari aktivitas ilegal melalui patroli,  pemantauan,  pemulihan ekosistem, pengayaan jenis, dan lainnya,” kata Murlan melalui pesan WhatsApp. 

Kepala Kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam Seksi Wilayah Kerja (BKSDA SKW) II Pangkalan Bun Dendi Setiadi menimpali, sebagian tutupan lahan di lanskap TNTP sudah dikonversi menjadi perkebunan sawit, baik lahan konsesi maupun lahan masyarakat. “Di sekitar TNTP masih ada hutan produksi dan tutupan lahan yang bagus, area itu juga menjadi habitat orang utan dan hewan lain,” tuturnya dalam sesi wawancara melalui Zoom.

Dia mengklaim, 70-80 persen konflik antara orang utan dengan manusia terjadi di luar kawasan konservasi. Dalam catatan BKSDA Pangkalan Bun, 2019 lalu telah dilakukan 19 kali penyelamatan terhadap 27 orang utan di area perkebunan sawit dan permukiman warga. Pada 2020 ada 21 kali penyelamatan terhadap 26 orang utan. Kemudian, periode Januari-Maret 2021 dilakukan 7 kali penyelamatan terhadap 11 orang utan. 

“Konflik dengan satwa liar atau orang utan semestinya bisa diminimalkan, tapi butuh komitmen dari perusahaan sawit,” ujar dia.

Dendi menyebut, pemegang konsesi seharusnya bisa menghalau orang utan supaya tidak masuk wilayah perkebunan mereka. Ia mengatakan, BKSDA Pangkalan Bun pernah mengajak perusahaan pemegang konsesi untuk bertemu dan mencari solusi pena­nganan terhadap orang utan. Targetnya adalah melatih perusahaan agar bisa melakukan pencegahan mandiri.

“Namun pemegang konsesi tidak merespons ajakan kami, mereka anggap diri sebagai korban juga,” ucapnya sembari menambahkan, para ahli sedang menyiapkan aturan agar pemegang konsesi dibebani dana pemulihan habitat.

Dikatakan Dendi, BKSDA Pang­kalan Bun bersama mitra kerja te­ngah mencari habitat baru bagi orang utan. Alasannya, kondisi TNTP sudah terlalu padat. Persoalannya, kawasan di luar zona inti tidak begitu baik sebagai habitat orang utan. “Masih banyak orang utan yang hidup di luar wilayah konservasi, wilayah-wilayah itu juga terancam, deforestasi kawasan hutan begitu cepat,” tuturnya.

Ia menyebut, BKSDA Pangkalan Bun pernah melakukan mitigasi di hutan produksi yang merupakan habitat orang utan. Lokasinya di bagian timur TNTP, tepatnya di Kecamatan Hanau, Kabupaten Seruyan. Kerapatan orang utan di kawasan seluas 50 hektare itu sebesar 1,3 individu/kilometer persegi. Area itu kemudian diklaim oleh masyarakat setempat, dan saat ini sudah dibeli oleh perusahaan sawit.

“Saya sudah minta agar lokasi yang masih bagus bagi orang utan tidak dibuka dan dijadikan kebun sawit, saya sarankan tidak diberi izin,” tegas Dendi.

Berdasarkan pantauan Kalteng Pos, dalam kawasan maupun sekitar TNTP masih ada kegiatan-kegiatan ilegal yang dilakukan masyarakat. Di bagian utara TNTP misalnya, banyak pertambangan liar. Dampaknya, air Sungai Sekonyer berubah keruh, tidak lagi hitam. Pemandangan itu terlihat sampai ke Simpang Ali.

Baca Juga :  Apresiasi Baznas Adakan Bedah Rumah

Simpang Ali merupakan pertemuan aliran air dari hulu Sungai Sekonyer dan aliran yang mengarah ke feeding orang utan di Kamp Leakey yang biasa dikunjungi wisatawan. Padahal air sungai yang hitam khas wilayah gambut merupakan daya tarik bagi wisatawan. Hal lain yang mengancam keberlangsungan TNTP adalah aktivitas berburu. Pada musim kemarau, para pemburu musiman diduga membakar ilalang untuk membuka jalan, sehingga memicu karhutla.  

Wakil Bupati Kotawaringin Barat Ahmadi Riansyah menyampaikan, kawasan hutan di kabupaten tersebut terdiri dari hutan produksi dan konversi. Menurut dia, sudah tidak mungkin lagi ada izin baru bagi perusahaan sawit maupun komoditas lain. “Sudah dipenuhi sawit, sudah mentok,” ucap Ahmadi saat diwawancarai di ruang kerjanya.

Ia mengharapkan pemerintah pusat meninjau kembali perizinan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan sawit. Peraturan yang dibuat kelak, kata Ahmadi, harus menguntungkan pemerintah daerah dan mas­yarakat setempat. “Jangan sampai pajak dari perkebunan sawit lari ke pemerintah pusat, tapi kalau ada karhutla dan kejahatan lingkungan, peme­rintah daerah yang dibebani tanggung jawab,” ucapnya.

Ahmadi menuturkan, miliaran rupiah dana pembangunan infrastruktur terpaksa dialihkan untuk memadamkan kebakaran. Pada sisi lain, lanjut dia, pembagian pendapatan pajak dari hasil perkebunan kelapa sawit tidak jelas. “Berapa jumlah pajak dari perkebunan dan CPO, pemerintah daerah sendiri tidak tahu,” katanya. Ia berpendapat bahwa Inpres Moratorium Sawit merupakan kesempatan bagi pemerintah pusat dan daerah untuk mengevaluasi dan menata semua perizinan yang telah diterbitkan.  

Karhutla di TNTP, menurut Ahmadi, justru sering terjadi di area hutan tidak produktif atau telantar. Ia pun menuding status hutan tersebut adalah hutan konversi dan produksi yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. 

Ahmadi lantas meminta peme­rintah pusat mengucurkan anggaran untuk memberdayakan masyarakat, sebagai bagian dari upaya pencegahan kebakaran. Ia menilai bahwa masyarakat saat ini sudah lebih peduli terhadap hutan. “Dahulu para pelaku jasa wisata tak peduli kalau ada kebakaran, tapi sekarang mereka sudah peduli, karena me­reka sadar TNTP menjadikan me­reka sejahtera,” sebutnya.

Terkait pencegahan karhutla, Ahmadi mengklaim pemerintah daerah bersama instansi terkait selalu  melakukan patroli di daerah rawan terbakar, serta memberikan sosiali­sasi kepada masyarakat yang  tinggal di sekitar TNTP untuk sa­ling menjaga. Soal air sungai yang keruh, politikus PDIP itu mengaku kondisi tersebut sudah berlangsung lama gara-gara adanya pertamba­ngan emas liar. Pihaknya pun sedang mencari cara untuk meng­alihkan aktivitas masyarakat dari menambang ke budi daya ikan.

Pelaksana Tugas (Plt) Badan Pe­nanggulangan Bencana Daerah Kotawaringin Barat Teuku Ali Syahbana menambahkan, pemerintah daerah terus melakukan upaya antisipasi dan pencegahan kebakaran. Dia memaparkan, berdasarkan digitasi atau pemetaan citra satelit pada 2019 lalu, luas kebakaran di area TNTP mencapai 10.059 hektare, sedangkan di luar kawasan TNTP seluas 5.983 hektare.

Ihwal anggaran penanganan karhutla, dia menjelaskan, setiap tahun dianggarkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sejak 2018 didukung pula oleh Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH-DR) dari Kementerian Kehutanan.

Ali berkata, nilai anggaran pe­nanganan karhutla 2018 mencapai Rp11.142.780.000, 2019 sebesar Rp7.360.380.000, 2020 sebesar Rp10.124.744.000,  dan 2021 sebesar Rp2.769.917.300.000.  “Anggaran ini rutin diberikan untuk penanganan karhutla, selama lima tahun terakhir berubah-ubah jumlahnya, dari dana inilah tindakan antisipasi maupun penanganan karhutla dilakukan,” beber dia. (ram/ce)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/