PALANGKA RAYA-Sektor perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah (Kalteng) masih menjadi primadona. Terdapat jutaan hektare (ha) lahan perkebunan milik ratusan perusahaan lokal hingga mancanegara. Sayangnya, tidak sedikit hak masyarakat yang tinggal di kawasan perkebunan terabaikan. Persoalan ini yang sering memicu terjadinya konflik antara masyarakat dan perusahaan.
Direktur Lewu Itah Organization (LIO), Yulius mengungkapkan, sektor perkebunan di Bumi Tambun Bungai, dalam hal ini perkebunan kelapa sawit, masih menjadi bagian primadona selain sektor pertambangan batu bara dan perikanan. Berdasarkan data yang dihimpun pihaknya tahun 2020–2021, terdapat 3,9 juta hektare luas perkebunan kelapa sawit di Kalteng, dengan jumlah 333 unit perusahaan. Namun, lahan yang beroperasi baru seluas 1,13 juta hektare, berdasarkan sumber Kompas edisi 7 Juli 2023.
“Kendati demikian, luasan itu masih berbanding terbalik dengan luasan perkebunan sawit berbasis masyarakat yang luasnya hanya 380.836 hektare,” beber Yulius saat memberikan laporan dalam pembukaan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertemakan mendorong solusi pola kemitraan kebun sawit berkelanjutan di Kalteng, di Swiss-Belhotel Danum, Palangka Raya, Selasa (12/9).
Menurutnya, perspektif kesejahteraan masyarakat di sekitar kebun masih jauh di bawah harapan. Karena itu, permasalahan ini menjadi salah satu pemicu maraknya tuntutan dari masyarakat terhadap perusahaan perkebunan sawit untuk membangun pola kemitraan melalui pengadaan plasma 20 persen.
Buntut dari persoalan itu, lanjutnya, dapat dilihat dari kejadian demi kejadian melalui aksi damai hingga anarkistis pada beberapa perusahaan dalam tiga tahun terakhir (2021–2023). Pada 27 Oktober 2021, muncul aksi penyampaian tuntutan dari masyarakat Desa Tumbang Jalemu, Kecamatan Manuhing, Kabupaten Gunung Mas terhadap PT KHS.
“Pada 20 Oktober 2022, sebanyak 53 kepala desa yang tergabung dalam ABDESI Kabupaten Seruyan mendatangi PT TN terkait tuntutan 20 persen plasma, dan masih ada kelanjutan tuntutan yang sama dari kelompok masyarakat di wilayah lain,” ujarnya.
Terakhir yang sempat mengemuka dan jadi sorotan publik adalah kejadian pada Juli 2023, yakni aksi tuntutan masyarakat Desa Suka Mandang dan Ayawan, Kecamatan Seruyan Tengah yang menagih janji 20 persen plasma pada PT BJAP.
“Dari rangkaian kejadian itu, dikhawatirkan akan meluas, mulai dari tuntutan hingga mengarah ke konflik sosial di Kalteng. Hal itu tentunya memperburuk citra dan ketidaknyamanan investasi perkebunan kelapa sawit di wilayah ini,” tuturnya.
Berbagai hal yang menjadi pemicu konflik perkebunan kelapa sawit di Indonesia, khususnya di Kalteng, pernah diutarakan profesor antropologi politik komparatif dari Universitas Amsterdam, Ward Barenschot.
Ward bersama tim sudah melakukan penelitian untuk melihat terkait terpenuhi atau tidaknya hak-hak warga di Indonesia yang tinggal di kawasan perkebunan. Penelitian dilakukan di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, dan Sumatera Barat. Hasil penelitan termaktub dalam buku berjudul Kehampaan Hak Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia, karya tulis Ward Barenschot dan kawan-kawan (dkk).
Ward mengungkapkan, warga desa di Kalteng yang tinggal di sekitar kawasan perkebunan pernah mengutarakan sejumlah keluhan terkait PBS yang enggan merealisasikan kewajiban yang menjadi hak warga setempat.
Berdasarkan berbagai keluhan warga yang dikumpulkan pihaknya, 80 persen warga yang tinggal di kawasan perkebunan mengeluhkan tabiat perusahaan yang mengambil alih tanah tanpa persetujuan warga, 60 persen mengeluhkan permasalahan bagi keuntungan proyek kebun rakyat (plasma) yang minim realisasi, 38 persen mengeluhkan perusahaan yang melanggar aturan, dan 18 persen mengeluhkan dampak lingkungan dan polusi yang ditimbulkan karena keberadaan perusahaan.
“Masyarakat di sekitar kawasan perkebunan mengalami fenomena yang disebut dengan kehampaan hak, kondisi di mana hak-hak mereka tidak dapat terpenuhi,” ujar Ward saat mengisi kegiatan bedah buku dan kuliah umum di Universitas Palangka Raya, awal September lalu.
Staf Ahli Gubernur Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan (Ekbang) Yuas Elko menyebut, pemerintah terus mendorong pihak perusahaan agar dapat merealisasikan kewajiban plasma 20 persen. Diharapkan pihak PBS dapat memenuhi kewajiban tersebut secara bertahap.
“Karena pemahaman plasma antara masyarakat dengan perusahaan itu berbeda, apakah yang berada di dalam kawasan kebun inti atau tidak,” ujar Yuas kepada wartawan saat menghadiri kegiatan focus group discussion (FGD) mendorong solusi pola kemitraan kebun sawit berkelanjutan di Kalteng, bertempat di Swiss-Belhotel Danum Palangka Raya, Selasa (12/9).
Yuas mengatakan, berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 53 Tahun 2023, pemerintah daerah dapat melakukan inventarisasi terhadap perusahaan yang belum memenuhi kewajiban membangun kebun rakyat (plasma) 20 persen.
“Kami juga selalu berkomunikasi dan berkoordinasi dengan para pelaku usaha (PBS, red) yang saat ini masih aktif. Hanya saja kami masih belum tahu tingkat ketaatan pelaku usaha terhadap pengawasan dan pembinaan yang kami lakukan,” tuturnya.
Pria asal Katingan ini menyebut, ke depan tentu akan dilakukan penegakan perda terhadap para pelaku usaha perkebunan. Diharapkan para pelaku usaha mematuhi aturan yang berlaku, agar iklim investasi di Kalteng tetap bagus dan kesejahteraan masyarakat terwujud.
”PBS wajib menaati aturan yang sudah berlaku, karena sudah termaktub dalam pergub maupun perda. Pelaku usaha hendaknya mematuhi regulasi yang ada dengan sebenar-benarnya agar hubungan dengan masyarakat tetap kondusif,” tandas Yuas.
Di tempat yang sama, Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo menyebut, membangun kebun plasma untuk masyarakat merupakan kewajiban perusahaan. Karena itu, pihaknya berharap ada pengawasan yang intens oleh pemangku kebijakan.
“Pengawasan intens perlu dilakukan agar dapat melihat mana perusahaan yang sudah memenuhi dan mana yang belum, karena itu merupakan kewajiban mereka (PBS, red),” ungkap Surambo kepada wartawan.
Kewajiban perusahaan untuk merealisasikan kebun plasma dimaksudkan agar sektor perkebunan berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat lokal.
“Kami melihat fasilitasi perkebunan di Kalteng masih sangat rendah, dalam artian banyak yang belum memenuhi kewajiban membangun plasma 20 persen,” bebernya.
Lebih lanjut dikatakan Surambo, dalam peraturan menteri pertanian (Permentan) terbaru yang mengatur terkait kewajiban kemitraan kebun rakyat 20 persen, disebutkan bahwa kewajiban itu tidak hanya direalisasikan dalam bentuk plasma, tetapi bisa juga dalam bentuk usaha lain yang senilai dengan kewajiban plasma 20 persen.
“Harapannya kebijakan demikian dapat dikawal dalam rencana aksi oleh pemerintah daerah setempat, sesuai Pergub Nomor 53 Tahun 2023, saya kira itu bisa ditindaklanjuti,” ucapnya.
Menurutnya, Kalteng punya modal sosial yang sangat baik untuk merealisasikan kebijakan itu, karena sudah memiliki peraturan daerah dan aturan-aturan lain yang lengkap. Salah satunya, dalam aturan tersebut ada Forum Komunikasi Masyarakat Perkebunan (FKMP).
“Kalau forum itu bisa di-follow up, seperti ada tim, tata kelola, dan aturan-aturannya, kemungkinan kita bisa kelola untuk mengurangi potensi berbagai konflik yang bersifat kemitraan dan lain-lain, sehingga Kalteng bisa menjadi daerah yang minim konflik di sektor perkebunan,” jelas Surambo.
Ketika FKMP sudah eksis, lanjutnya, akan ada aksi-aksi nyata yang bisa dijalankan oleh mereka, seperti rencana aksi dan berbagai kegiatan terkait masyarakat di areal perkebunan. Tak sampai di situ, ketika FKMP sudah dijalankan, maka perlu adanya pengawasan dari pemerintah.
“Kami juga berharap dibentuk penilaian usaha perkebunan (PUP), di situ dijabarkan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pelaku usaha perkebunan, di dalamnya pemerintah bisa ikut mengawasi,” ucapnya.
Rambo memastikan bahwa PUP sebetulnya sudah ada. Namun publik perlu diajak lebih detail agar mengetahui kebijakan tersebut. Menurutnya, pengawasan perkebunan perlu dilakukan secara berjenjang. Dari tingkat pusat hingga daerah. Pusat maupun daerah memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing. Ia tak menampik bahwa masih ada kekurangan untuk mendetailkan perihal hal-hal apa saja yang perlu dilakukan pengawasan.
“Kalau kita lihat secara cermat, ada kelompok lain yang ikut mengawasi soal kemitraan, salah satunya Komisi Pengawasan Persaingan Usaha Perkebunan (KPPUP), sebenarnya mereka bisa digandeng oleh pemprov, sehingga kewajiban plasma 20 persen bisa benar-benar dijalankan oleh tiap PBS,” terangnya.
Ia menilai bahwa sejauh ini realisasi plasma di Kalteng belum sempurna. Sebab, perihal fasilitasi plasma 20 persen itu, kebijakannya memang baru muncul tahun 2013.
“Untuk calon plasma beserta subjek dan objeknya, itu pun baru clear dalam Permentan Nomor 18 Tahun 2021,” ucapnya.
Namun, alih-alih mempersoalkan karut-marut itu, Rambo menyarankan agar persoalan tersebut segera diselesaikan, seperti mengimplementasikan rencana aksi daerah yang sudah dirancang.
“Ayo kita implementasikan bareng-bareng, dengan harapan itu menjadi solusi terbaik bagi segenap pihak,” tandasnya. (dan/ce/ala)