Selasa, November 26, 2024
24.6 C
Palangkaraya

Proyek Food Estate Menuai Sorotan

PALANGKA RAYA-Pemerintah pusat telah mencanangkan proyek food estate alias lumbung pangan sejak 2020 lalu. Sudah empat tahun berjalan, proyek ini menuai sorotan dari sejumlah pegiat lingkungan. Beberapa organisasi lingkungan menilai akibat adanya realisasi proyek ini, tujuan dari kemandirian pangan masyarakat justru sulit diwujudkan. Program srategis nasional yang berada di Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau (Pulpis), dan Gunung Mas (Gumas) ini juga disinyalir gagal menyejahterakan petani lokal. Hal ini dibahas dalam diseminasi dan diskusi laporan bertajuk Menyoal Food Estate dalam Pemenuhan Hak atas Pangan dan Gizi Keluarga Petani di Kalteng, di Jalan AIS Nasution, Palangka Raya, Selasa (14/2/2023).

Food First Information and Action Network (FIAN) Indonesia bersama Walhi Kalteng, Borneo Institut, SP Mamut Menteng, dan AMAN telah melakukan penelitian di lokasi food estate Desa Tumbang Samui dan Desa Tumbang Oroi, Manuhing Raya, Sepang Kota, Kabupaten Gunung Mas, serta Desa Kalumpang dan Mantangai Hulu Kabupaten Kapuas.

Peneliti FIAN Indonesia Gusti Nur Asla Shabia mengatakan, berdasarkan pengamatan pihaknya, proyek food estate di Kalteng yang selama ini dilihat sebagai cara untuk mengatasi kemiskinan, tetapi orientasinya yang berdasarkan sudut pandang pemerintah selalu menginginkan pemulihan dan pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga :  Food Estate, Bukan Hanya Padi Saja

“Kami dari FIAN, Walhi, serta Borneo Institut punya perhatian besar terhadap masalah ini. Mengapa urusan penurunan kemiskinan dan pemenuhan pangan warga itu selalu diputuskan dengan solusi yang berbasis pasar,” kata Shabia saat memaparkan materinya dalam diskusi, kemarin.

Petani di Kalteng, kata Shabia, dipaksa meningkatkan produktivitas kerja berdasarkan tata cara yang tidak sesuai dengan kearifan lokal masyarakat demi kepentingan ekonomi semata. Ia menjelaskan, ada banyak sekali studi yang memperlihatkan bahwa petani kecil (peladang) dalam konteks masyarakat Dayak memiliki cara tersendiri untuk meningkatkan produktivitas dan memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan tradisi budaya yang lebih efektif demi memenuhi kebutuhan pangan.

“Jadi cara memenuhi kebutuhan pangan ada secara rapi dan menjadi pengetahuan yang sesuai dengan konteks kebudayaan masyarakat. Harapan kami adalah kita bisa melihat dari suatu budaya masyarakat, bagaimana mereka memenuhi kebutuhan pangan sesuai budaya masing-masing,” jelasnya.

Shabia menjelaskan, diperlukan penjelasan yang komprehensif dan menyeluruh bahwa pemenuhan hak atas pangan tidak sama dengan hanya memperoleh makanan. Lebih luas dari itu, hak atas pangan saling kait-mengait dengan hak-hak lainnya, meliputi hak atas tanah, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan yang layak, hak atas lingkungan yang sehat, dan seterusnya. Maka dari itu, melihat hak atas pangan hanya dengan mengasosiasikannya sama dengan memperoleh makanan saja, merupakan sudut pandang yang masih kurang.

Baca Juga :  Minimnya Penyuluh Pertanian Menghambat Pengembangan SDM Petani

Dalam hal pemenuhan kebutuhan terhadap pangan, masyarakat sebaiknya tidak diajak berpikir untuk mencari untung. Sudah seharusnya pemenuhan terhadap pangan ditujukan memang benar-benar demi memenuhi kemandirian pangan masing-masing keluarga. Apalagi bagi masyarakat Dayak yang mencari makanan dengan mengandalkan cara berladang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

“Masyarakat dalam hal ini para petani yang biasanya diajak berpikir korporatif, memakai perspektif perusahaan, seringnya tidak bisa mengatasi malnutrisi dan kelaparan, padahal Indonesia saat ini berjuang mati-matian untuk menurunkan angka stunting,” jelasnya.

Temuan dari laporan masyarakat dan observasi lapangan pihaknya selama meneliti proyek lumbung pangan, kata Shabi, ada indikasi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atas pangan dan gizi di proyek food estate Kalteng.

“Ada tiga hal yang kami perhatikan terkait proyek ini. Pertama, soal kedaulatan pangan dan penggunaan SDA, kami menemukan bahwa ada minimnya partisipasi bermakna, konfirmasi, dan kesepakatan antara masyarakat dan pemerintah. Di lokasi food estate yang ditujukan untuk proyek tersebut, malah ada saling klaim antarwarga legalitas tanah yang digunakan untuk realisasi proyek itu,” bebernya.

PALANGKA RAYA-Pemerintah pusat telah mencanangkan proyek food estate alias lumbung pangan sejak 2020 lalu. Sudah empat tahun berjalan, proyek ini menuai sorotan dari sejumlah pegiat lingkungan. Beberapa organisasi lingkungan menilai akibat adanya realisasi proyek ini, tujuan dari kemandirian pangan masyarakat justru sulit diwujudkan. Program srategis nasional yang berada di Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau (Pulpis), dan Gunung Mas (Gumas) ini juga disinyalir gagal menyejahterakan petani lokal. Hal ini dibahas dalam diseminasi dan diskusi laporan bertajuk Menyoal Food Estate dalam Pemenuhan Hak atas Pangan dan Gizi Keluarga Petani di Kalteng, di Jalan AIS Nasution, Palangka Raya, Selasa (14/2/2023).

Food First Information and Action Network (FIAN) Indonesia bersama Walhi Kalteng, Borneo Institut, SP Mamut Menteng, dan AMAN telah melakukan penelitian di lokasi food estate Desa Tumbang Samui dan Desa Tumbang Oroi, Manuhing Raya, Sepang Kota, Kabupaten Gunung Mas, serta Desa Kalumpang dan Mantangai Hulu Kabupaten Kapuas.

Peneliti FIAN Indonesia Gusti Nur Asla Shabia mengatakan, berdasarkan pengamatan pihaknya, proyek food estate di Kalteng yang selama ini dilihat sebagai cara untuk mengatasi kemiskinan, tetapi orientasinya yang berdasarkan sudut pandang pemerintah selalu menginginkan pemulihan dan pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga :  Food Estate, Bukan Hanya Padi Saja

“Kami dari FIAN, Walhi, serta Borneo Institut punya perhatian besar terhadap masalah ini. Mengapa urusan penurunan kemiskinan dan pemenuhan pangan warga itu selalu diputuskan dengan solusi yang berbasis pasar,” kata Shabia saat memaparkan materinya dalam diskusi, kemarin.

Petani di Kalteng, kata Shabia, dipaksa meningkatkan produktivitas kerja berdasarkan tata cara yang tidak sesuai dengan kearifan lokal masyarakat demi kepentingan ekonomi semata. Ia menjelaskan, ada banyak sekali studi yang memperlihatkan bahwa petani kecil (peladang) dalam konteks masyarakat Dayak memiliki cara tersendiri untuk meningkatkan produktivitas dan memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan tradisi budaya yang lebih efektif demi memenuhi kebutuhan pangan.

“Jadi cara memenuhi kebutuhan pangan ada secara rapi dan menjadi pengetahuan yang sesuai dengan konteks kebudayaan masyarakat. Harapan kami adalah kita bisa melihat dari suatu budaya masyarakat, bagaimana mereka memenuhi kebutuhan pangan sesuai budaya masing-masing,” jelasnya.

Shabia menjelaskan, diperlukan penjelasan yang komprehensif dan menyeluruh bahwa pemenuhan hak atas pangan tidak sama dengan hanya memperoleh makanan. Lebih luas dari itu, hak atas pangan saling kait-mengait dengan hak-hak lainnya, meliputi hak atas tanah, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan yang layak, hak atas lingkungan yang sehat, dan seterusnya. Maka dari itu, melihat hak atas pangan hanya dengan mengasosiasikannya sama dengan memperoleh makanan saja, merupakan sudut pandang yang masih kurang.

Baca Juga :  Minimnya Penyuluh Pertanian Menghambat Pengembangan SDM Petani

Dalam hal pemenuhan kebutuhan terhadap pangan, masyarakat sebaiknya tidak diajak berpikir untuk mencari untung. Sudah seharusnya pemenuhan terhadap pangan ditujukan memang benar-benar demi memenuhi kemandirian pangan masing-masing keluarga. Apalagi bagi masyarakat Dayak yang mencari makanan dengan mengandalkan cara berladang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

“Masyarakat dalam hal ini para petani yang biasanya diajak berpikir korporatif, memakai perspektif perusahaan, seringnya tidak bisa mengatasi malnutrisi dan kelaparan, padahal Indonesia saat ini berjuang mati-matian untuk menurunkan angka stunting,” jelasnya.

Temuan dari laporan masyarakat dan observasi lapangan pihaknya selama meneliti proyek lumbung pangan, kata Shabi, ada indikasi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atas pangan dan gizi di proyek food estate Kalteng.

“Ada tiga hal yang kami perhatikan terkait proyek ini. Pertama, soal kedaulatan pangan dan penggunaan SDA, kami menemukan bahwa ada minimnya partisipasi bermakna, konfirmasi, dan kesepakatan antara masyarakat dan pemerintah. Di lokasi food estate yang ditujukan untuk proyek tersebut, malah ada saling klaim antarwarga legalitas tanah yang digunakan untuk realisasi proyek itu,” bebernya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/