Shabia juga menyoroti hak atas tanah yang mengabaikan sistem tenurial (konflik tumpang tindih lahan) di masyarakat. Juga tidak ada ganti rugi kepada warga yang lahannya sudah digunakan. “Ketika kami melakukan pengamatan di lokasi sekitar food estate, tidak sedikit warga yang mengaku memiliki tanah dengan berbagai alas hak, baik SHM, SKT, dan lain-lain,” bebernya.
Perlu ada pergeseran tujuan dari realisasi proyek ini. Bukan untuk pertumbuhan atau segala yang berembel-embel ekonomi, melainkan murni demi tujuan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.
Sejatinya, lanjut Shabia, masyarakat lokal memiliki cara tersendiri sesuai dengan tradisi pengetahuan turun-temurun dalam hal memenuhi kebutuhan pangan. Maka dari itu, pemerintah harus memandang bahwa dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan dengan bertani. Sebaiknya disesuaikan dengan pengetahuan masyarakat lokal. Keberagaman cara memperoleh pangan menjadi sesuatu yang mutlak harus dihargai pemerintah.
“Pemerintah wajib menghargai, melindungi, dan mengakui keberagaman pangan dan sumber daya produktif untuk pemenuhan kebutuhan pangan sesuai konteks budaya masyarakat,” jelasnya.
Atas refleksi dari observasi pihaknya itu, Shabi mengatakan pemerintah sebagai pemegang kewajiban wajib menghargai, melindungi, memenuhi keberagaman pangan, dan sumber daya produktif untuk pemenuhan pangan masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah perlu menghargai cara bertani sesuai hukum adat lokal melalui jalan pembuatan regulasi yang mendukung hal tersebut.
“Pemerintah daerah, baik provinsi maupun abupaten harus memberikan kepastian hukum dengan memperjelas definisi masyarakat hukum adat yang dimaksud dalam Perda Kalteng Nomor 1 Tahun 2020 dan Pergub Kalteng Nomor 4 Tahun 2021,” tuturnya.
Shabia menyebut perlu ada kebijakan tertulis yang memberikan rasa aman bagi petani untuk melakukan sistem pertanian tradisional, seperti pengakuan dan perlindungan terhadap sistem menyeha tana, membuka lahan dengan luasan tertentu untuk masyarakat dalam rangka pemenuhan pangan.
“Masyarakat butuh rasa aman untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai kearifan lokal, pemerintah perlu memberikan pengakuan atas hal itu, sehingga masyarakat dapat mewujudkan kemandirian pangan,” tandasnya.
Tak hanya itu, proyek lumbung pangan juga disinyalir mengabaikan regulasi dan konsitusi yang berlaku. Asisten Manajer Hak Atas Tanah Borneo Institut Andi Kristianto menyebut, food estate singkong seluas 30.000 hekatre (ha) tahun 2021 di Desa Tewai Baru telah dibuka sekitar kurang lebih 600 ha terlebih dahulu tanpa (kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
“Hal ini sebelumnya didukung dengan dikeluarkannya PermenLHK Nomor P.24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate,” tuturnya.
Andi menilai dasar hukum realisasi proyek food estate ini juga kontradiktif. Realisasi proyek ini cenderung dipaksakan dengan cara melegitimasikan dua dasar hukum penggunaan kawasan hutan, yakni izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP).
Sejalan dengan hasil penelitian FIAN Indonesia, Andi juga menyoroti konflik tenurial akibat alih fungsi hutan. Alih fungsi hutan menyebabkan pengambilalihan lahan yang dikuasai dan dikelola oleh masyarakat turun-temurun. Akibat dialihfungsikan, masyarakat setempat jadi kehilangan akses terhadap tanah, air, dan hutan.
“Masyarakat sekitar lahan food estate, terutama desa-desa di Kecamatan Sepang belum merasakan dampak nyata, tapi tempat mereka bergantung hidup justru sudah dibabat,” tuturnya.
Dalam forum yang sama, Manajer Keorganisasian, Pendidikan, dan Gender Walhi Kalteng Tri Oktafiani menyebut bahwa food estate merupakan sektor pangan yang dapat memperparah krisis iklim. Belajar dari pengalaman masa lalu, sudah beberapa kali pemerintah merealisasikan proyek food estate di Kalteng, tapi tak kunjung berhasil. Dampak terhadap penurunan ekosistem dari realisasi proyek ini juga tidak kecil.
“Sejak zaman Presiden Soeharto ditandai dengan adanya proyek pengembangan lahan gambut (PLG) seluas satu juta hektare, food estate Ketapang tahun 2013 seluas 100 juta hektare gagal juga, kemudian food estate Bulungan di tahun yang sama, MIFEE, dan rice estate, semuanya gagal. Pemerintah seakan tidak belajar dari masa lalu bahwa proyek food estate ini terus gagal diwujudkan,” jelasnya.
Ia menyebut, pihaknya telah menolak sejak awal rencana proyek ini. Penolakan ini dipertimbangkan atas dasar kurangnya landasan hukum yang kuat dan tidak adanya aturan spesifik. Proyek strategis nasional terkait pangan berpedoman pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2020 tentang Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor: P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. “Dalam aturan itu, kawasan lindung bisa dimanfaatkan, dapat diterbitkan izin pemanfaatan kayu, lahan, tanpa tanda ada dokumen AMDAL pun, tetap bisa dikerjakan,” ucapnya.
Ia juga menilai penerapan kebijakan ini minim partisipasi publik serta meminggirkan pengetahuan lokal. Saat ini, lanjutnya, target intensifikasi juga tidak tercapai, sementara perluasan ke area gambut justru terus dilakukan.
Proyek food estate juga berdampak terhadap penurunan ekosistem lingkungan hidup. Wilayah pemulihan gambut justru diintervensi proyek. “Pembukaan lahan gambut berdampak pada penurunan fungsinya sebagai pengatur tata air,” ucapnya.
Menurunnya kawasan hutan dan tutupan hutan berdampak pada rusak dan lenyapnya habitat beragam spesies. Juga meningkatkan deforestasi dan pemanasan global hingga menyebabkan banjir di beberapa wilayah, termasuk di wilayah food estate. Selain berdampak pada penurunan ekosistem lingkungan hidup, pemaksaan sistem pertanian food estate IP 300, juga mengganggu pola pertanian dan berdampak pada penurunan produktivitas petani. “Proyek ini juga berujung pada perampasan lahan dan konflik tenurial,” imbuhnya.
Mewakili Walhi, Ani meminta agar pemerintah yang berwenang menghentikan proyek dan memulihkan lingkungan hidup yang telah rusak, baik lahan gambut maupun kawasan hutan di Gunung Mas.