Rabu, Juni 26, 2024
33.5 C
Palangkaraya

Proyek Lumbung Pangan di Kalteng Dibayangi Kegagalan

“Kami membahas, SDM kita cukup enggak, SDM kita punya kapasitas enggak, terutama SDM yang akan menggarap lahan ekstensifikasi. Kalau untuk lahan intensifikasi sih oke saja, karena sudah mencukupi secara kapasitas SDM-nya,” tuturnya.

Sejak 2021 lalu pihaknya sudah tidak begitu banyak terlibat dalam pembahasan terkait proyek lumbung pangan itu. “Keterlibatan kami masih ada, kami masih termasuk dalam anggota pokja, tetapi keterlibatan kami itu sifatnya insidentil saja. Mungkin karena proyek ini sudah berjalan reguler, sehingga kami tidak banyak terlibat, jika pihak pemprov meminta kami untuk terlibat, kami akan turun,” tandasnya.

Semenjak hadirnya food estate, masyarakat mulai bertani dengan cara bersawah. Sebagian pihak menilai realisasi proyek food estate mengakibatkan tergesernya cara bertani yang sesuai dengan kearifan lokal masyarakat. Menanggapi itu, Taufik menjelaskan bahwa konsep berladang biasanya diterapkan oleh para petani dengan karakteristik lahan kering.

“Berladang itu kegiatan menanam padi yang biasanya dilakukan di lahan-lahan kering, manugal, seperti di daerah-daerah Katingan dan ke atasnya, kalau di lahan rawa bukan namanya berladang, tapi biasanya sawah,” jelas Taufik kepada Kalteng Pos, kemarin.

Taufik berpendapat, mungkin saja pengertian mencerabut budaya lokal itu muncul karena adanya keinginan pemerintah agar masyarakat yang bertani di sekitar lahan food estate menanam padi varietas unggul, sementara masyarakat Kalteng umumnya bertani dengan menanam padi varietas lokal. Padi varietas unggul merupakan padi yang dicanangkan pemerintah untuk ditanam di lahan food estate Kalteng.

“Masyarakat kita biasanya menggunakan padi varietas lokal, sementara pemerintah menginginkan untuk ditanami padi varietas unggul. Mungkin pengertian mencerabut itu karena ada keinginan pemerintah agar masyarakat juga bisa mengelola padi varietas unggul,” jelasnya.

Baca Juga :  Mentan Apresiasi Petani Desa Sanggang

Akan tetapi, lanjutnya, masyarakat butuh kesiapan untuk mengembangkan pertanian menggunakan padi varietas unggul. Mesti disesuaikan dengan kemampuan para petani dan karakteristik lahan tempat padi ditanam. Berbeda dengan menanam padi varietas lokal yang sudah dijalankan masyarakat sejak dahulu kala.

“Pengertian mencerabut budaya kan lahir dari adanya anggapan bahwa pemerintah ingin mengganti padi varietas lokal dengan varietas unggul. Ada salah persepsi menurut saya. Kalau dibilang mencerabut kearifan lokal, berarti masyarakat yang biasanya bertani dengan menanam padi varietas lokal tidak diperbolehkan lagi menanam itu,” tuturnya.

Padahal, lanjut Taufik, pemerintah berkeinginan agar masyarakat tetap menanam padi varietas unggul sembari menanam padi varietas lokal. “Kalau menurut pengertian saya mencerabut itu kan menggantikan, mereka (petani, red) diminta untuk jangan menanam yang lokal lagi, pemahaman saya tidak seperti itu,” tambahnya.

Karena itu, keputusan untuk menanam padi varietas lokal atau varietas unggul selebihnya berada di tangan petani. Taufik menyebut, kebanyakan petani menginginkan panen dua kali dalam setahun atau indeks pertanaman (IP) = 200.

“Tergantung orang, kalau petani berpikir menanam varietas unggul lebih menguntungkan dibanding menanam padi lokal, maka bisa jadi untuk selanjutnya para petani Kalteng akan terus menanam padi varietas yang mereka nilai lebih menguntungkan itu,” tuturnya.

Taufik menjelaskan, petani tentu akan berpikir ekonomis. Misalnya, ketika petani merasa dua kali menanam padi varietas unggul lebih untungnya dibanding dua kali menanam padi varietas lokal, lama kelamaan petani pasti akan beralih ke padi varietas unggul.

Baca Juga :  Izin HGU Dicabut, PT CAA Tetap Beraktivitas

“Namanya orang usaha kan urusannya untung apa enggak. Apalagi para petani, juga tidak lepas dari untung rugi. Misalnya, dari hitung-hitungan usaha tani jika ternyata dalam waktu singkat bisa dapat hasil produksi tinggi, yang pasti pendapatannya bagus, jika sekali tanam varietas unggul hasil untungnya lebih besar dari sekali tanam yang lokal, apalagi kalau dua kali tanam,” ucapnya.

Dijelaskannya, pergeseran budaya menanam dalam konteks masyarakat Dayak yang mengelola food estate, erat kaitannya dengan nilai-nilai ekonomis, bukan nilai-nilai budaya. Hal ini lahir dari pemikiran pragmatis untuk meningkatkan produksi, dibanding mempertahankan cara bertani lokal.

“Para petani akan berpikir, kalau menggunakan varietas unggul lebih banyak untung dibanding varietas lokal, kalau kita analogikan misal, jika menanam varietas unggul petani dapat 100 ribu, sementara jika menanam varietas lokal hanya dapat 50 ribu, secara logika ekonomi pasti mereka akan memilih menanam padi varietas unggul. Mereka berpikir bisa dapat duit banyak dibanding menanam padi lokal,” tuturnya.

Implikasi sosial atas masalah ini dijelaskan lebih lanjut oleh sosiolog Universitas Palangka Raya Dr Saputra Adiwijaya SSos MSi. Menurutnya, fenomena tersebut terjadi karena adanya perubahan makna lahan bagi masyarakat Dayak.

“Perubahan makna lahan inilah yang menyebabkan ketika adanya proyek food estate, masyarakat setuju. Bagi mereka, lahan bukan lagi untuk menanam padi lokal demi memenuhi kebutuhan pangan keluarga, tapi lebih ke bagaimana mereka dapat untung yang sebesar-besarnya,” jelasnya. (dan/ce/ala)

“Kami membahas, SDM kita cukup enggak, SDM kita punya kapasitas enggak, terutama SDM yang akan menggarap lahan ekstensifikasi. Kalau untuk lahan intensifikasi sih oke saja, karena sudah mencukupi secara kapasitas SDM-nya,” tuturnya.

Sejak 2021 lalu pihaknya sudah tidak begitu banyak terlibat dalam pembahasan terkait proyek lumbung pangan itu. “Keterlibatan kami masih ada, kami masih termasuk dalam anggota pokja, tetapi keterlibatan kami itu sifatnya insidentil saja. Mungkin karena proyek ini sudah berjalan reguler, sehingga kami tidak banyak terlibat, jika pihak pemprov meminta kami untuk terlibat, kami akan turun,” tandasnya.

Semenjak hadirnya food estate, masyarakat mulai bertani dengan cara bersawah. Sebagian pihak menilai realisasi proyek food estate mengakibatkan tergesernya cara bertani yang sesuai dengan kearifan lokal masyarakat. Menanggapi itu, Taufik menjelaskan bahwa konsep berladang biasanya diterapkan oleh para petani dengan karakteristik lahan kering.

“Berladang itu kegiatan menanam padi yang biasanya dilakukan di lahan-lahan kering, manugal, seperti di daerah-daerah Katingan dan ke atasnya, kalau di lahan rawa bukan namanya berladang, tapi biasanya sawah,” jelas Taufik kepada Kalteng Pos, kemarin.

Taufik berpendapat, mungkin saja pengertian mencerabut budaya lokal itu muncul karena adanya keinginan pemerintah agar masyarakat yang bertani di sekitar lahan food estate menanam padi varietas unggul, sementara masyarakat Kalteng umumnya bertani dengan menanam padi varietas lokal. Padi varietas unggul merupakan padi yang dicanangkan pemerintah untuk ditanam di lahan food estate Kalteng.

“Masyarakat kita biasanya menggunakan padi varietas lokal, sementara pemerintah menginginkan untuk ditanami padi varietas unggul. Mungkin pengertian mencerabut itu karena ada keinginan pemerintah agar masyarakat juga bisa mengelola padi varietas unggul,” jelasnya.

Baca Juga :  Mentan Apresiasi Petani Desa Sanggang

Akan tetapi, lanjutnya, masyarakat butuh kesiapan untuk mengembangkan pertanian menggunakan padi varietas unggul. Mesti disesuaikan dengan kemampuan para petani dan karakteristik lahan tempat padi ditanam. Berbeda dengan menanam padi varietas lokal yang sudah dijalankan masyarakat sejak dahulu kala.

“Pengertian mencerabut budaya kan lahir dari adanya anggapan bahwa pemerintah ingin mengganti padi varietas lokal dengan varietas unggul. Ada salah persepsi menurut saya. Kalau dibilang mencerabut kearifan lokal, berarti masyarakat yang biasanya bertani dengan menanam padi varietas lokal tidak diperbolehkan lagi menanam itu,” tuturnya.

Padahal, lanjut Taufik, pemerintah berkeinginan agar masyarakat tetap menanam padi varietas unggul sembari menanam padi varietas lokal. “Kalau menurut pengertian saya mencerabut itu kan menggantikan, mereka (petani, red) diminta untuk jangan menanam yang lokal lagi, pemahaman saya tidak seperti itu,” tambahnya.

Karena itu, keputusan untuk menanam padi varietas lokal atau varietas unggul selebihnya berada di tangan petani. Taufik menyebut, kebanyakan petani menginginkan panen dua kali dalam setahun atau indeks pertanaman (IP) = 200.

“Tergantung orang, kalau petani berpikir menanam varietas unggul lebih menguntungkan dibanding menanam padi lokal, maka bisa jadi untuk selanjutnya para petani Kalteng akan terus menanam padi varietas yang mereka nilai lebih menguntungkan itu,” tuturnya.

Taufik menjelaskan, petani tentu akan berpikir ekonomis. Misalnya, ketika petani merasa dua kali menanam padi varietas unggul lebih untungnya dibanding dua kali menanam padi varietas lokal, lama kelamaan petani pasti akan beralih ke padi varietas unggul.

Baca Juga :  Izin HGU Dicabut, PT CAA Tetap Beraktivitas

“Namanya orang usaha kan urusannya untung apa enggak. Apalagi para petani, juga tidak lepas dari untung rugi. Misalnya, dari hitung-hitungan usaha tani jika ternyata dalam waktu singkat bisa dapat hasil produksi tinggi, yang pasti pendapatannya bagus, jika sekali tanam varietas unggul hasil untungnya lebih besar dari sekali tanam yang lokal, apalagi kalau dua kali tanam,” ucapnya.

Dijelaskannya, pergeseran budaya menanam dalam konteks masyarakat Dayak yang mengelola food estate, erat kaitannya dengan nilai-nilai ekonomis, bukan nilai-nilai budaya. Hal ini lahir dari pemikiran pragmatis untuk meningkatkan produksi, dibanding mempertahankan cara bertani lokal.

“Para petani akan berpikir, kalau menggunakan varietas unggul lebih banyak untung dibanding varietas lokal, kalau kita analogikan misal, jika menanam varietas unggul petani dapat 100 ribu, sementara jika menanam varietas lokal hanya dapat 50 ribu, secara logika ekonomi pasti mereka akan memilih menanam padi varietas unggul. Mereka berpikir bisa dapat duit banyak dibanding menanam padi lokal,” tuturnya.

Implikasi sosial atas masalah ini dijelaskan lebih lanjut oleh sosiolog Universitas Palangka Raya Dr Saputra Adiwijaya SSos MSi. Menurutnya, fenomena tersebut terjadi karena adanya perubahan makna lahan bagi masyarakat Dayak.

“Perubahan makna lahan inilah yang menyebabkan ketika adanya proyek food estate, masyarakat setuju. Bagi mereka, lahan bukan lagi untuk menanam padi lokal demi memenuhi kebutuhan pangan keluarga, tapi lebih ke bagaimana mereka dapat untung yang sebesar-besarnya,” jelasnya. (dan/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/