PALANGKA RAYA-Pada 2019 lalu Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran mengeluarkan surat keputusan (SK) pemberhentian tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) kepada salah satu PNS di lingkup Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalteng atas nama Dagut.
Perkara ini akhirnya berlanjut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Pada 6 Mei lalu, PTUN Palangka Raya menyampaikan pemberitahuan isi putusan MA terhadap gugatan oleh penggugat kepada gubernur. Adapun amar putusan MA tersebut berbunyi menolak permohonan kasasi dari pihak pemohon atas nama Drs Dagut SH MT.
“Menghukum pemohon kasasi membayar biaya perkara pada tingkat kasasi sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).” Demikian petikan amar putusan tersebut.
Parno SH selaku salah satu kuasa hukum Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran mengatakan, pemberhentian PNS secara tidak hormat terhadap Dagut tertuang dalam surat keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor: 188.44/183/2019 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Sebagai Pegawai Negeri Sipil tertanggal 22 April 2019.
Parno menerangkan, sengketa dalam perkara tersebut dilatarbelakangi adanya laporan tentang keterlibatan Dagut dalam politik praktis. Pemprov Kalteng akhirnya membentuk tim untuk melakukan pemeriksaan khusus terhadap yang bersangkutan.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, ternyata yang bersangkutan telah menjadi anggota parpol dengan bukti telah memiliki kartu tanda anggota (KTA) Partai Hanura dan telah mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPR RI pada 2018, tapi tidak terlebih dahulu mengajukan pengunduran diri sebagai PNS,” kata Parno, Minggu (16/5).
Diungkapkannya, sesuai aturan perundang-undangan, seorang PNS yang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik tanpa mengundurkan diri terlebih dahulu, maka diberhentikan tidak dengan hormat. Demikian pula halnya bagi PNS yang ikut serta dalam pemilu untuk menjadi bakal calon anggota legislatif tanpa mengajukan surat permohonan pengunduran diri.
“Terhadap pelanggaran tersebut, setelah melalui prosedur yang ditentukan, maka yang bersangkutan dikenakan sanksi dengan diterbitkannya surat keputusan gubernur tentang pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS,” ungkapnya.
Lebih lanjut dijelaskan Parno, Dagut merasa keberatan atas pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS tersebut, sehingga mengajukan gugatan ke PTUN Palangka Raya. Namun majelis hakim PTUN Palangka Raya justru menolak gugatan tersebut.
“Selanjutnya yang bersangkutan mengajukan banding ke PTUN Jakarta, namun hasilnya juga menguatkan putusan PTUN Palangka Raya, yakni menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya,” jelasnya.
Akhirnya, lanjut Parno, yang bersangkutan mengajukan permohonan kasasi ke MA. Lalu pada 8 Desember 2020 lalu, amar dalam putusan tersebut berbunyi menolak permohonan kasasi dari pemohon.
Dengan demikian, putusan PTUN tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkracht dan gubernur sebagai pihak tergugat dinyatakan menang dalam perkara ini.
“Berdasarkan putusan pengadilan yang telah inkracht tersebut, maka penerbitan SK gubernur tentang pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS terhadap penggugat (Dagut) sudah tepat dan benar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” pungkasnya.
Sementara itu, Dagut H Djunas justru berencana mengajukan peninjauan kembali (PK) sebagai langkah hukum selanjutnya.
“Memang kasasinya ditolak dan saya sudah menerima surat sebelum libur kemarin. Namun menurut hemat saya, akan melakukan PK. Artinya hukum tidak berpihak kepada masyarakat, sebab saya melakukan gugatan karena gubernur memberhentikan saya dengan tidak hormat,” kata Dagut kepada Kalteng Pos, Minggu (16/5).
Dijelaskan Dagut, alasan dilakukan pemberhentian karena dirinya disebut masuk keanggotaan partai. Padahal ia tidak pernah masuk keanggotaan partai. Hanya pernah mau menjadi bakal calon dari Partai Hanura, tapi belum menjadi calon.
“Kalau saya sudah jadi calon, maka saya pasti tahu aturannya, saya akan mengajukan pengunduran diri,” tegasnya lagi.
Disebutkannya, pengajuan PK akan dilakukan dalam minggu ini. Pihaknya terlebih dahulu akan berkoordinasi dengan PTUN. Langkah hukum akan tetap ditempuh hingga batas terakhir.
“Karena masih ada ruang yang diberikan oleh hukum untuk kami mengajukan PK, sehingga kami akan memanfaatkan kesempatan atau ruang hukum tersebut,” ucapnya dengan penuh keyakinan. Dagut optimistis bahwa pengajuan PK yang akan dilakukannya akan diterima oleh pengadilan, sesuai dengan harapan dirinya sebagai masyarakat yang merasa dirugikan atas keputusan tersebut. (abw/nue/ce/ala)