PALANGKA RAYA-Persoalan tanah di Kota Palangka Raya tidak ada habisnya. Satu per satu kasus tumpang tindih kepemilikan dokumen pertanahan terus bermunculan. Terbaru yang bikin mencengangkan adalah adanya sertifikat hak milik (SHM) ganda atas tanah yang terletak di Jalan Hiu Putih VIII, Kelurahan Bukit Tunggal, Kecamatan Jekan Raya.
Munculnya SHM tersebut berawal dari adanya gugatan seorang warga bernama Hj Musrifah, yang mengaku memiliki lahan di Jalan Hiu Putih VIII. Menanggapi klaim itu, belasan warga yang sudah puluhan tahun tinggal di kawasan tersebut meradang. Mereka berbondong-bondong mendatangi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya di Jalan Tjilik Riwut Km 5, Senin (20/2/2023).
Sardi Efendi selaku koordinator sejumlah warga yang membela kepemilikan dan legalitas tanahnya mengatakan, ada 12 keluarga yang memiliki tanah di Jalan Hiu Putih VIII yang digugat kepemilikannya oleh Hj Musrifah. Kedatangan pihaknya ke PTUN karena adanya keberatan atas terbitnya SHM nomor 9364 atas nama Hj Musrifah dan Matsaleh Yasid oleh Kepala Kantor BPN Kota Palangka Raya di atas tanah milik 12 warga yang sudah ber-SHM.
Sardi pun menjelaskan latar belakang kisruh tersebut. Dikatakannya, sejak 12 tahun lalu, tepatnya pada Februari 2010, di tanah milik warga sudah ada pengakuan dari pihak lain atas nama Hj Musrifah dan kawan-kawan.
“Waktu itu yang menunjuk kuasa Pak Saidi Basirun, ketika mereka pakai surat itu, kami tanggapi dengan baik dan kami balas dengan surat juga, setelah itu kami ketemu dengan kuasa hukum, kemudian setelah beberapa minggu beliau mencabut kuasanya, beliau mundur,” beber Sardi kepada wartawan, Senin (20/2).
Warga sudah memiliki legalitas tanah berupa surat keterangan tanah (SKT) sejak 2005 lalu. Kini mereka telah mengantongi SHM yang diterbitkan pada 2013. Sebelum tahun itu belum bisa diterbitkan sertifikat, karena wilayah itu masih berstatus kawasan hutan produksi.
“Bu Musrifah ini mengaku sudah punya SHM sejak 2008, sementara di tahun itu lokasi ini masih masuk kawasan hak pengusahaan hutan (HPH), sertifikat kami diterbitkan oleh BPN tahun 2013, karena sudah ada pelepasan kawasan itu tahun 2012, jadi tidak ada tumpang tindih,” tuturnya.
Sardi menyebut bahwa warga hanya mengikuti BPN dalam hal ini. Namun, pihaknya selaku warga berada dalam posisi tergugat intervensi dua. “Kami tergugat intervensi dua, jadi tergugat pertama adalah BPN karena menerbitkan surat punya kami, tapi itu masih lisan, kami mau lihat isi surat gugatan itu hari ini (kemarin),” ucapnya.
Pihaknya berharap agar proses penyelesaian sengketa tanah ini sesuai dengan fakta dan saksi-saksi yang ada.
“Kami juga akan mengikuti sesuai peta yang ada saja, kalau memang petanya itu bukan di tempat kami, apabila mereka memaksakan, otomatis sertifikat itu cacat hukum, karena tidak sesuai dengan objek yang ada,” jelasnya.
Di tempat yang sama, Bambang Sakti selaku kuasa hukum warga saat perkara pertama antara warga dengan Hj Musrifah pada 2010 lalu itu, mengaku sejak awal pihaknya tidak tahu latar belakang atau motif pihak Hj Musrifah menggugat kepemilikan tanah warga.
“Kalau dia mau mengurus itu di BPN, itu urusan dia dengan BPN, dulu waktu mediasi orangnya enggak hadir, perwakilannya saja. Yang di petanya itu sebelah kiri masuk Hiu Putih VIII, kok yang diklaim itu Hiu Putih VIII sebelah kanan,” ucapnya.
Selaku kuasa hukum warga yang tinggal di Hiu Putih VIII, Bambang mengaku kaget mengetahui objek tanah tidak sesuai dengan tempat. Sertifikat diterbitkan untuk lokasi yang seharusnya tidak boleh diterbitkan sertifikat.
“Warga kan sudah punya SPPT tahun 2005. Sebelum tahun 2012, lokasi itu masih kawasan hutan produksi. Seharusnya jika sudah beralih status dari HPH menjadi hak pengelolaan lahan (HPL), baru bisa terbit sertifikat. Sementara pelepasan HPL itu baru tahun 2012, maka dari itu jika ada sertifikat yang terbit sebelum tahun itu, harus dibatalkan demi hukum karena belum ada peralihan dari HPH ke HPL,” tandasnya.
Menanggapi terkait tidak bisanya terbit sertifikat tanah di atas lahan berstatus HPH itu, Abdul Sidik selaku kuasa hukum Hj Musrifah membantah. Menurutnya penerbitan sertifikat sudah disesuaikan oleh kepala Kantor BPN yang membuat keputusan.
“Menurut hemat kami sih itu sudah memenuhi prosedur administrasi, tapi semua butuh pembuktian, pembuktian ini bisa saja dibuka oleh pihak kantor pertanahan terkait kesesuaiannya,” ungkapnya.
Ia menegaskan, pembuktian legalitas dapat dilakukan oleh perwakilan BPN, jika memang tanah yang digugat Hj Musrifah tidak sesuai syarat administrasi.
Terkait dasar penerbitan sertifikat milik Hj Musrifah berdasarkan SK BPN tahun 1990 itu, Abdul menyebut tanah yang ditempati warga saat ini yang kepemilikannya digugat oleh Hj Musrifah, dahulunya masih berupa hutan kosong.
“Kemudian hutan kosong itu digarap oleh keluarganya Ibu Musrifah, kemudian terbit SKT-nya, SKT ini kemudian mereka tingkatkan menjadi SHM di Kantor Pertanahan, sehingga terbitlah SK kepala kantor,” bebernya.
Lebih lanjut dikatakannya, meski surat itu terbit tahun 2008, tapi Hj Musrifah baru menggugat kepemilikan tanahnya itu baru-baru ini. Abdul menyebut, sejak peristiwa kerusuhan antaretnis, Hj Musrifah pindah dari Palangka Raya ke Madura. Namun saat Hj Musrifah melakukan pengecekan tanahnya itu belum lama ini, ternyata sudah ada penerbitan sertifikat di atas tanah miliknya.
“Bu Musrifah baru tahu pada November 2022 lalu, beliau kaget karena di atas tanahnya sudah dibangun banyak rumah dan diterbitkan SHM atas nama orang lain,” tandasnya.
Terpisah, Kepala BPN Kota Palangka Raya Y Budhy Sutrisno melalui Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran Rifton Pradityo mengatakan, sampai saat ini pihaknya belum menerima surat dari warga ataupun PTUN Palangka Raya terkait sengketa tanah di Jalan Hiu Putih VIII dan melibatkan pihaknya. Karena itu pihaknya belum bisa berkomentar lebih lanjut terkait masalah ini.
“Terkait masalah ini kami belum membaca dan belum mengerti legalitas dokumennya, jadi enggak bisa saya ngasih statement apa-apa untuk saat ini,” ucap Rifton kepada Kalteng Pos saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (20/2).
Sejauh ini upaya yang ditempuh warga melalui PTUN Palangka Raya masih pada tahap gugatan. Rifton mengatakan pihaknya akan menunggu pemanggilan dari PTUN.
“PTUN pasti akan memanggil kami, karena kami juga terlibat dalam perkara ini, nanti kita lihat hasilnya setelah itu, kami kan hanya menjalankan saja putusan dari pengadilan,” tandasnya. (dan/ce/ala)