Kalteng merupakan salah satu provinsi di Pulau Kalimantan yang memiliki produksi rotan berlimpah. Dari keberlimpahan itu, banyak potensi ekonomi yang dapat diciptakan. Salah satunya bisnis kerajinan. Bisnis kerajinan rotan tak lepas dari peran penganyam. Sayangnya, para penganyam dewasa ini didominasi kaum tua. Minim regenerasi.
AKHMAD DHANI, Palangka Raya
SELAIN jumlah penganyam rotan yang minim dan didominasi kaum tua, produksi kerajinan berbahan baku rotan juga disinyalir tidak terlalu menguntungkan bagi penganyam. Hal ini diungkapkan salah satu pengusaha kerajinan rotan di Kota Palangka Raya.
Amelia Agustina selaku pemilik Galeri Indang Apang mengungkapkan, pihaknya menyuplai rotan setengah jadi jenis sigi dari tiga daerah penghasil rotan di Kalteng, yakni Pulang Pisau, Kapuas, dan Barito Utara. Wanita yang mulai berbisnis kerajinan rotan sejak 2019 itu mengatakan, lelah para perajin rotan daerah jauh lebih besar dibandingkan untung yang didapatkan.
“Butuh waktu enam tahun untuk rotan tumbuh sebelum dipanen, aku beli yang sudah dibelah itu Rp100 ribu per kilo dengan jumlah yang banyak. Tapi kalau dihitung-hitung nilai ekonomisnya, dari ukuran rajutan rotan yang segini aja, mereka (perajin, red) butuh waktu satu bulan dari panen awal hingga pembuatan, dengan adanya proses yang panjang tersebut, apakah worth untuk satu lembar itu Rp150 ribu?” ujar Amelia seraya menunjukkan satu lembar hasil rajutan rotan berukuran 10×15 cm.
Amelia menyebut untuk hasil rajutan rotan dengan ukuran kurang lebih 10×15 cm itu, membutuhkan waktu satu bulan dengan keuntungan yang relatif kecil. Karena itu, lanjut Amel, kebanyakan yang menekuni pekerjaan demikian adalah orang-orang tua.
“Karena mereka mengerjakan itu bukan sekadar untuk cari duit, tetapi lebih ke penyaluran hobi, kalau anak muda mana ada yang mau,” ungkap Amelia kepada Kalteng Pos saat ditemui di Galeri Indang Apang, Selasa (18/7).
Wanita berusia 38 tahun itu berharap kaum muda mau terjun ke bisnis kerajinan rotan, turut andil dengan berinovasi dan berkreasi.
“Kalau anak-anak muda yang turun, saya yakin mereka akan lebih cepat. Tidak hanya lebih cepat, tapi juga lebih bervariasi. Juga lebih punya duit. Kan sekarang penganyam didominasi oleh orang tua berusia 60 tahun ke atas. Yang muda itu ada, cuman sedikit saja jumlahnya,” ungkap Amelia.
Menurutnya, anak-anak muda yang tidak punya ide berbisnis dapat mencoba peruntungan dengan berbisnis kerajinan rotan. Sebab, apabila anak-anak muda sudah mahir dalam mengolah kerajinan rotan, lalu dapat menciptakan berbagai produk kerajinan yang bagus, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi.
“Salah satu customer saya yang punya anak dan tinggal di Belanda, sering beli tas rotan di Palangka Raya dengan harga beli Rp500 ribu untuk dikirim ke anaknya. Sampai di sana (Belanda, red) bisa sampai harga Rp15 juta. Andai saja ada anak muda yang bisa membaca peluang tersebut, tentu akan meraup untung yang besar,” ungkapnya.
Sudah kurang lebih lima Amelia membuka galeri kerajinan rotan. Menurutnya, kendala yang dihadapi sebagai pengusaha kerajinan yakni kewalahan memenuhi orderan konsumen. Produk kerajinan rotan miliknya dijual hampir ke seluruh daerah di Indonesia.
“Ada teman yang menyarankan saya untuk ekspor. Saya bilang, kalau untuk ekspor sepertinya enggak dulu deh, karena untuk memenuhi permintaan pasar lokal saja masih kewalahan saking banyaknya pesanan,” tuturnya.
Wanita asli Dayak itu menegaskan, kendala yang dihadapinya bukan karena minimnya karyawan, tetapi karena minimnya penganyam rotan, sehingga produknya belum bisa memenuhi permintaan pasar yang membeludak.
“Penganyamnya rata-rata sudah tua, kalau di-push (untuk memenuhi target permintaan pasar), mereka bisa kewalahan. Selain itu, hasil rotan setengah jadi kan kami datangkan dari kampung-kampung yang jarak tempuhnya cukup jauh,” tandasnya.
Terpisah, Kepala Dinas Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah (DISKOPUKM) Kalteng, Norhani menyebut berdasarkan data usaha kecil menengah (UKM) yang dihimpun pihaknya, perajin atau penganyam rotan di Bumi Tambun Bungai relatif sedikit.
Karena itu, tiap tahun pihaknya terus menyelenggarakan pelatihan vokasional kerajinan menganyam kepada wirausaha pemula, pemuda putus sekolah, dan komunitas ibu rumah tangga di tiap kabupaten/kota.
“Para peserta kegiatan dilatih untuk menganyam rotan, purun, enceng gondok, atau bahan lainnya yang dapat diproduksi atau budidayakan. Produknya pun beragam. Mulai dari topi, tas, aksesoris, hingga perkakas seperti tikar, bakul rotan, rambat, tutup tempayan, dan lain-lain,” beber Norhani kepada Kalteng Pos, Selasa (18/7).
Setelah dilakukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) para perajin melalui program vokasional yang diselenggarakan itu, pemerintah juga membantu mendesain gambar-gambar produk yang dapat dipromosikan di media sosial dan mengikutsertakan para perajin dalam berbagai pameran di lingkup daerah maupun luar daerah.
“Para perajin rotan juga diberi kebebasan dalam mengembangkan usaha, misalnya para perajin rotan membentuk komunitas atau koperasi, kami sangat dukung itu,” imbuhnya.
Norhani menambahkan, dalam komunitas-komunitas tersebut, anggotanya bisa saling berbagi ilmu dan tips-tips agar produk kerajinan bisa dilirik konsumen. Dengan berkoperasi, ujarnya, para anggota perajin rotan memiliki wadah untuk menampung hasil produk dan bisa dipasarkan ke luar daerah melalui koperasi.
“Kami dari Pemprov Kalteng juga terus mendorong para pelaku UKM memiliki hak merek. Dengan begitu, branding produknya akan makin dikenal luas oleh masyarakat, sehingga turut mengharumkan nama Kalimantan Tengah,” pungkasnya. (*/ce/ala)