PALANGKA RAYA-Kisruh sertifikat hak milik (SHM) ganda atas tanah di Jalan Hiu Putih VIII, Kelurahan Bukit Tunggal, Palangka Raya belum menemui titik terang. Hj Musrifah yang memegang dokumen SHM, menempuh jalur hukum untuk memperjuangkan tanahnya yang kini telah menjadi milik sejumlah warga. Sementara, warga yang bermukim di kawasan yang menjadi objek sengketa ini justru meragukan keabsahan sertifikat yang dimiliki Hj MUsrifah.
Karena memiliki bukti kepemilikan tanah dengan legalitas SHM, sejumlah warga merasa heran ada pihak yang menggugat kepemilikan tanah mereka dengan bukti yang sama kuat, yakni SHM. Hal ini diutarakan Wati (48), warga Jalan Hiu Putih VIII yang memiliki tanah dengan alas hak SHM, tapi turut terklaim oleh Hj Musrifah.
“Tanah saya sudah SHM sejak 2015, sebelumnya kami punya surat keterangan tanah (SKT) yang terbit tahun 2005,” beber Wati kepada Kalteng Pos saat ditemui di kediamannya, kemarin.
Wati mengaku membeli tanah di Jalan Hiu Putih VIII dari keluarga dekatnya. Saat itu masih berstatus SKT. “Saya beli tanah di sini tahun 2009, beli dari keluarga,” ucapnya.
Menanggapi gugatan yang dilayangkan Hj Musrifah, Wati mengaku akan tetap mempertahankan tanah itu. Meski demikian, Wati tetap bersedia jika kedua belah pihak dipertemukan dalam satu forum untuk mediasi.
Warga lain yang tanahnya ikut tergugat oleh Hj Musrifah adalah Muhammad Sukoco (58). Ia mengaku membeli tanah di Hiu Putih VIII sejak 2009 dengan legalitas SKT. Tanah itu dibeli dari rekan kerjanya di perusahaan kayu Cakar Alam di Tumbang Jutuh. “Kami sudah pensiun dari perusahaan itu, kemudian saya dan teman-teman mencari tanah di sini,” bebernya.
Sukoco mengatakan, sejak dibeli hingga sekarang ini tanahnya masih berstatus SKT. “Dulu kami mau ikut Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) yang mana bisa menerbitkan sertifikat tanah dengan proses yang sederhana, sudah kami ajukan, cuman ditolak oleh BPN karena tanah kami bermasalah,” bebernya.
Kendati demikian, Sukoco meragukan keabsahan SHM milik Hj Musrifah yang dimiliki sejak tahun 2008. Menurutnya, tahun itu wilayah di Jalan Hiu Putih VIII masih berstatus kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan belum diubah menjadi Hak Pengelolaan Lahan (HPL) seperti saat ini.
“Waktu itu (2008, red) kan belum ada perda terkait pelepasan kawasan ini, jadi seharusnya sertifikat itu tidak sah,” ujarnya.
Dikatakan Sukoco, tanah yang ia miliki merupakan bekas tanah yayasan. Karena pihak yayasan tidak ingin menggugat, maka hak kepemilikan tanah dilimpahkan kepada warga yang berniat mengelola tanah tersebut. “Pihak yayasan melimpahkan kepada masyarakat untuk kepemilikan dan pengelolaan tanah di sini,” tuturnya.
Menanggapi soal gugatan dari pihak HJ Musrifah, Sukoco mengaku akan terus mempertahankan tanah miliknya itu. “Kami kan tidak merasa mengambil, tapi membeli dengan uang kami,” tegasnya.
Sukoco mengaku siap dipertemukan dengan pihak penggugat untuk mediasi. Ia berharap ada solusi terbaik untuk penyelesaian sengketa kedua belah pihak.
“Kalau memang nanti ada mediasi dan terbukti Hj Musrifah benar, dan dia bersedia mengganti rugi, kami oke oke saja, tapi kan harus sesuai harga bangunannya, kalau hasil mediasinya adil, kami akan terima saja,” tandasnya.
Warga lain yang juga memiliki tanah dengan legalitas SHM adalah Sardi Efendi (41). Ia mengaku memiliki tanah di lokasi itu sejak 2002 dari alas hak yang masih berupa SKT. Ia beli tanah itu dari keluarga neneknya pada tahun 2000-an saat masih berkuliah.
Kini tanah miliknya itu sudah mengantongi SHM. Sardi menyebut, ia dan beberapa warga pernah bersama-sama mengajukan peningkatan status tanah dari SKT menjadi SHM melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) yang dicanangkan Presiden Joko Widodo.
“Dulu di daerah sini, melalui pihak kelurahan, mereka menawarkan Prona, di sini ada 10 tanah yang ditawari, maka terbitlah sertifikat tahun 2014. Tidak ada masalah apa-apa selama proses penerbitan sertifikat, makanya saya heran kenapa tanah kami dipermasalahkan, katanya adanya sertifikat yang lebih dulu terbit, kalau memang tanah ini sudah ada sertifikat sebelum tahun itu, tidak mungkin pemerintah mau menerbitkan sertifikat untuk kami,” ucapnya.
Padahal, lanjut Sardi, sampai dengan tahun 2012, tanah yang dimilikinya sekarang masih belum bisa diterbitkan sertifikat, karena status lahan masih berupa HPH dan belum ada pelepasan status kawasan.
“Jadi kami menilai bahwa dari sisi aturan, penerbitan sertifikat milik Ibu Hj Musrifah itu berlawanan dengan aturan, karena kan berbenturan dengan masalah peraturan RTRWP saat itu, di mana lokasi ini masih dalam kawasan HPH,” tuturnya.
Sardi selaku warga dan perwakilan masyarakat yang mempertahankan kepemilikan tanah mengaku ingin ada mediasi dan musyawarah dengan pihak Hj Musrifah untuk merembukkan solusi terbaik.
“Maunya kami kan ada musyawarah mufakat dengan mereka, tapi kayaknya mereka enggak punya iktikad, jadi kami ladeni sesuai dengan hukum yang berlaku,” tandasnya.
Terpisah, Koordinator Substansi Penanganan Sengketa, Konflik, dan Perkara Pertanahan Kanwil BPN Kalteng Dwiyana Oktarini menyebut kasus tumpang tindih SHM terjadi karena sebagian besar sertifikat lama maupun sertifikat baru yang diterbitkan tidak terverifikasi atau belum terdata pada sistem yang ada saat ini.
“Karena kebanyakan sertifikat lama itu kan banyak yang zaman dulu belum terdata, proses pengukurannya kan masih menggunakan alat yang sederhana, tidak seperti sekarang, sehingga tidak terpetakan dalam sistem yang ada sekarang,” beber Dwiyana kepada wartawan, kemarin.
Tumpang tindih SHM terjadi karena perbedaan metode pengukuran tanah zaman dahulu dengan sekarang ini. Dahulu belum ada titik koordinat yang rinci dan detail layaknya sistem saat ini, sehingga rawan terjadi tumpang tindih kepemilikan jika membandingkan sertifikat terbitan dahulu dengan terbitan sekarang ini.
“Kalau sudah terjadi tumpang tindih seperti itu, untuk penyelesaiannya kami sarankan ke pengadilan sehingga mendapat kepastian hukum,” tuturnya.
Kendati penyelesaian lewat pengadilan lebih bisa memberikan kepastian hukum, Dwiyana menyarankan agar masyarakat terlebih dahulu melakukan mediasi alias menyelesaikan sengketa melalui musyawarah mufakat.
“Mediasi adalah cara paling pertama dan utama untuk menyelesaikan permasalahan, kalau sudah mediasi tetapi tidak kunjung ada kesepakatan, silakan menempuh upaya hukum, bisa ke pengadilan atau lembaga lainnya yang berwenang,” tandasnya. (dan/ala)