Site icon KaltengPos

Heboh Kasus Bullying, Psikis Korban Harus Dipulihkan

PALANGKA RAYA-Kasus perundungan yang menimpa seorang murid salah satu sekolah unggulan di Kota Palangka Raya mendapat sorotan dari psikolog. Melihat fenomena perundungan yang dialami murid kelas III sekolah dasar (SD) tersebut, psikolog menyoroti peran pihak sekolah, orang tua, dan para  murid sendiri, serta apa yang harus dilakukan ke depannya agar kondisi psikis korban bisa dipulihkan.

Psikolog anak Gerry Olvina Faz MPsi menjelaskan, perundungan atau bullying merupakan tindakan negatif yang bertujuan untuk melakukan pelemahan kepada seseorang, sehingga relasi kuasa tercipta dan korban berada dalam kendali pelaku.

“Dalam kasus ini, dampak dari adanya perundungan itu korban akan merasa lemah, tidak berdaya, memberikan penilaian buruk atas diri sendiri (self esteem) rendah, dan ketakutan yang berujung pada kecemasan,” kata Gerry kepada Kalteng Pos via pesan WhatsApp, Rabu (22/3).

Terkait kasus perundungan yang terjadi di sekolah akhir-akhir ini, wanita yang menjabat Wakil Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Kalteng ini mengatakan, pihak sekolah dan orang tua sangat diperlukan dalam mencegah tindakan perundungan.

“Mencegah bullying itu adalah peran sekolah dan orang tua. Jika ada anak yang melakukan kekerasan, maka perlu penanganan di sekolah, orang tua juga wajib dilibatkan,” tambahnya.

Dosen Program Studi (Prodi) Bimbingan Konseling Islam Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) IAIN Palangka Raya ini menyebut, tugas sekolah dalam mencegah terjadinya perundungan adalah dengan mengamati perilaku anak, menganalisis akar masalah, mengomunikasikan dengan orang tua, dan membuat intervensi di sekolah seperti pemberian bimbingan konseling terhadap pelaku dan korban.

“Yang harus dilakukan untuk korban adalah memastikannya aman. Ini adalah upaya orang tua. Lalu mendorong anak masuk lagi dalam rutinitas. Jika ada hambatan, silakan berkonsultasi dengan psikiater profesional untuk mendapatkan arahan kongkretnya,” jelasnya.

Mengenai perlu atau tidak korban korban pindah sekolah, Gerry menjelaskan bahwa yang paling utama adalah memberikan rasa aman untuk anak yang menjadi korban. Idealnya, yang salahlah yang harus bertanggung jawab, termasuk diberhentikan dari sekolah bersangkutan. Bukan korban yang mesti pindah sekolah.

“Jika sekolah bersangkutan dianggap tidak mampu memberi rasa aman, maka orang tua korban bisa mengajukan pindah sekolah untuk sang anak. Yang paling penting anak merasa aman, sehingga ia dapat belajar di sekolah dengan nyaman,” pungkasnya.

 

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa pelaku bullying terhadap anak-anak dapat dijerat dengan ketentuan pasal 76c yang berbunyi; tiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 76c itu dapat dijatuhkan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak.

Kasus perundungan yang dialami seorang murid kelas III salah satu SD unggulan di Kota Palangka Raya bukan hanya sekali terjadi. Meski demikian, belum terlihat ada perhatian yang serius dan langkah konkret yang diambil pihak sekolah. Bahkan terkesan ditutup-tutupi, sehingga bullying masih tetap dialami sang anak.

UK (37), orang tua korban akhirnya melaporkan persoalan ini ke Polresta Palangka Raya melalui Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), Senin (20/3). Didampingi kuasa hukum, Heronika Rahan SH MH dan Josman Siregar, mereka meminta bantuan kepolisian sekaligus berharap kasus ini bisa ditangani agar tidak ada lagi korban lainnya.

“Orang tua dan pihak sekolah harus menyadari bahwa bullying terhadap anak-anak sejatinya merupakan perbuatan yang tidak disadari oleh anak-anak, baik sebagai korban maupun pelaku.  Karenannya orang tua dan pihak sekolah (jika bullying terjadi di lingkungan sekolah, red) harus tahu dan paham akibat negatifnya terhadap korban maupun pelaku. Mereka harus bertanggung jawab,” cetus UK seraya mengaku bahwa dalam kasus ini ia hanya meminta perlindungan dan keadilan.

Kasus ini berawal pada 19 Agustus 2022 lalu. Kala itu korban G (anak UK) dirundung sekelompok murid. Saat hendak minum air, G didorong hingga terjatuh, diseret, lalu bagian dada ditusuk menggunakan dua jari. Ada bekas tusukan jari dan luka memar bagian belakang telinga bekas terseret dari ruang kelas ke teras.

Kemudian orang tua korban melaporkan kasus itu ke guru kelas. Kemudian orang tua salah satu murid yang diduga pelaku sudah berupaya meminta maaf kepada keluarga korban.

Selanjutnya, kasus kedua terjadi lagi pada 29 Agustus 2022. Korban ditendang oleh seorang murid kelas III-B hingga terjatuh. Kepala korban terbentur ke beton pot bunga di depan kelas. Lalu kepala korban yang terluka diperban di ruang UKS. Bajunya berlumuran darah. Mengerang kesakitan.

Kemudian korban dilarikan ke RS Muhamadiyah Palangka Raya oleh orang tuanya. Dokter menyesalkan kejadian ini karena korban terlambat ditangani oleh tenaga medis. Luka korban sudah membengkak dan sulit untuk dijahit.

Sekian lama kejadian bullying itu tidak pernah dikeluhkan atau dilaporkan oleh guru atau dari pernyataan korban atau teman-teman korban. Orang tua korban mengira persoalan bullyng di sekolah itu sudah bisa diatasi oleh guru dan pihak sekolah. Bahkan keluarga korban sudah tidak lagi mempersoalkan dua kejadian terdahulu itu.

Namun, kejadian ketiga justru dialami lagi korban pada 15 Maret lalu. Sekelompok murid menyerang korban dan menuduh korban mencuri tipe-X (penghapus cair), hingga berujung pengeroyokan terhadap korban. Korban dibanting, ditonjok bagian perut, dan diinjak-injak pada bagian punggung. Infonya, sekelompok anak itu suka menganggu korban karena dianggap lemah dan tidak bisa melawan.

Paman korban sekaligus paralegal kuasa hukum korban, Josman Siregar mengatakan, pihaknya akan mengikuti proses hukum karena sudah melaporkan kasus ini ke pihak berwajib. Saat ini pihaknya menunggu tindak lanjut kepolisian atas laporan itu.

“Pada dasarnya keluarga mengedepankan bagaimana kejadian ini bisa dimediasi di tingkat sekolah dan dapat diselesaikan secara arif dan bijaksana,” katanya saat dibincangi Kalteng Pos, Selasa (21/3).

Namun pihak keluarga korban menilai kurang ada respons positif dan tidak ada langkah konkret dari pihak sekolah untuk menyikapi kejadian ini. Tentu pihaknya tidak ingin kejadian serupa terulang kembali dan berakibat lebih fatal bagi korban.

“Untuk itu pihak keluarga memutuskan untuk meminta perlindungan dan keadilan melalui jalur hukum,” ucapnya.

Sampai saat ini korban masih menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Namun dengan adanya kasus perundungan yang sudah tiga kali dialami ini, ada kemungkinan korban akan dipindahkan ke sekolah lain agar tidak mengalami trauma.

“Sampai sekarang anak kami sering mengigau dan ketakutan saat tidur, sepertinya sudah ada luka mental, sepertinya sudah terganggu psikisnya, kami tengah mempertimbangkan bagaimana dengan sekolahnya ke depan,” tutur Josman. (dan/ce/ala)

Exit mobile version