Kamis, November 21, 2024
26.5 C
Palangkaraya

Gapki Kalteng Buka Suara terkait Polemik Plasma PT HMBP 1

PALANGKA RAYA-Kelangsungan investasi perkebunan kelapa sawit di Kalteng kini tengah diuji. Konflik perkebunan kelapa sawit yang terjadi di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, disinyalir menjadi “portofolio” buruk bagi Bumi Tambun Bungai sebagai daerah penghasil pendapatan dari sektor perkebunan terbesar. Pemerintah diajak evaluasi. Masyarakat diminta jernih memahami regulasi.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalteng merespons konflik tersebut. Pihaknya meminta agar pemerintah mengambil kebijakan dan menyampaikan narasi kepada publik berkaca sesuai regulasi yang berlaku. Permasalahan itu diminta agar jangan sampai berkepanjangan. Sebab, akan membuat nama baik Kalteng buruk di mata para investor.

Wakil Ketua Gapki Kalteng, AU Rizky Djaya mengungkapkan, harus ada upaya untuk meluruskan peraturan-peraturan yang seharusnya diketahui oleh masyarakat secara tepat. Menurut Rizky, pemahaman masyarakat atas realisasi plasma selama ini masihlah keliru.

“Dalam Permentan sudah dijelaskan bahwa plasma itu kalau memang berkewajiban, disiapkan arealnya, disiapkan lahannya, dan ada calon petani dan calon lokasi (CPCL). Pihak yang menyiapkan lahan itu adalah pemerintah sendiri, bukan perusahaan. Perusahaan sifatnya hanya memfasilitasi,” ujar Rizky kepada Kalteng Pos, Sabtu (21/10).

Maka dari itu pihaknya berharap kepada pemerintah daerah melalui dinas perkebunan harus bijak dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Sebab, regulasi mengenai penyediaan plasma perkebunan sudah tertuang jelas seperti pada Undang-Undang (UU) nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Perpu, UU Ciptaker, UU nomor 26 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan di Bidang Pertanian, dan Permentan nomor 98 tahun 2013 tentang Perizinan Usaha Perkebunan.

“Paradigma masyarakat, kalau ada 100 hektare lahan kebun, maka perusahaan harus menyediakan 20 hektare untuk masyarakat. Lalu kalau ada lahan di luar HGU yang sudah ditanam, lalu masyarakat bisa serta-merta mengambil alih, itu keliru,” tambahnya.

Dijelaskan Rizky, jika ada lahan di luar HGU perusahaan tetapi sudah ditumbuhi atau ditanami sawit, maka lahan itu terlebih dahulu diserahkan kepada pemerintah, lalu pemerintah yang mengambil kebijakan sesuai dengan peruntukan lahan tersebut nantinya.

“Dilihatlah peraturan yang ada, tenaga-tenaga yang ada di dinas perkebunan sosialisasi, duduk bersama para pihak untuk meluruskan peraturan-peraturan yang ada,” ujarnya.

Dalam mekanismenya, lanjut Rizky, jika suatu lahan sawit sudah dikelola oleh masyarakat, maka mereka harus bekerja sama dengan pemerintah dan perbankan untuk melakukan kredit. Tetapi pihak yang memanajemen kebun itu tetaplah pihak perusahaan karena mereka orang yang berpengalaman di bidang perkebunan tersebut.

Baca Juga :  Kapolda Kalteng Akhirnya Angkat Bicara soal Tragedi Bangkal, Ini Janjinya....

“Pada prosesnya lahan sawit itu diolah dan dikelola dengan baik melalui pola perusahaan, bukan pola petani atau masyarakat. Di situ mereka hitung bagaimana kondisi pupuk, rotasi, dan lain-lain. Hasilnya itulah yang kemudian menjadi SHU kepada masyarakat, dibayarkan saat masih masa kredit, maka dari hasil itu sebagian dibayarkan untuk mengasuh kredit, sebagian lagi untuk dana talangan yang diperuntukkan kepada masyarakat sebagai sumber penghidupan,” ujarnya.

Setelah dilakukan pelunasan dalam jangka waktu 10-15 tahun, maka semua penghasilan dalam SHU itu akan menjadi hasil untuk masyarakat sendiri sampai dengan usia 25 tahun sebelum replanting. Setelah replanting, maka masyarakat bisa bekerja sama lagi dengan perusahaan sebagai induk semang.

“Saya masih mempertanyakan lahan di luar HGU PT HMBP yang sebesar 1.000 sekian hektare, itu statusnya apa, keterlanjuran atau sudah izin sebelumnya. Kalau memang ada lahan di luar HGU itu, tidak serta-merta bisa diambil masyarakat, tetapi dikendalikan dulu oleh pemerintah untuk diijadikan apa,” tuturnya.

Rizky menjelaskan, menurut peraturan perkebunan yang berlaku saat ini, apabila perusahaan perkebunan berdiri setelah 28 Februari 2008, apabila ada pembukaan atau izin yang keluar, maka perusahaan berkewajiban untuk menyediakan 20 persen kebun masyarakat. “Tapi arealnya itu disediakan oleh pemerintah, perusahaan sifatnya memfasilitasi,” ucapnya.

 

PT HMBP sendiri merupakan anggota Gapki. Namun demikian, Rizky menegaskan pihaknya selaku asosiasi tidak bisa membuat keputusan kepada anggota mengingat setiap anggota memiliki manajemen masing-masing. Persoalan antara satu anggota dengan anggota lainnya pun berbeda-beda. Ia mengaku menyayangkan sikap pemerintah yang belum jernih melihat persoalan. Ia menilai, pihak pemerintah memang memihak kepada masyarakat, tetapi keberpihakan itu tidak diiringi dengan kejernihan dalam melihat regulasi.

“Dari sini saya kemudian bertanya, ke depan bagaimana ya nasib investor. Padahal sejak tahun 2022 Kalteng itu merupakan salah satu provinsi yang memiliki perkebunan sawit yang kontribusinya terbanyak di seluruh Indonesia,” ungkapnya.

Tak hanya itu, bahkan pada Oktober 2023 sekarang, Rizky menyebut Dana Bagi Hasil (DBH) Kalteng sangat besar dengan sektor yang paling banyak berkontribusi adalah perkebunan sawit. Pihaknya sudah memperjuangkan agar DBH teralokasi sesuai dengan unit ataupun kabupaten penghasilnya. Menurut Rizky, banyaknya perusahaan perkebunan di suatu daerah berbanding lurus dengan besaran perputaran uang di daerah tersebut.

“Perputaran terbesar keuangan di Kalteng itu berada nomor satu di Kotim, dua di Seruyan, dan tiga di Palangka Raya. Kenapa? Karena perkebunan itu wilayah terbesarnya ada di Kotim, Seruyan, dan sebagian Palangka Raya yang merupakan ibu kota provinsi,” sebutnya.

Baca Juga :  Gubernur Kalteng Bicara soal Plasma di Tengah Polemik PT HMBP I

Ia meminta kepada pengambil kebijakan agar menyelesaikan konflik tersebut secara tegas sesuai peraturan yang berlaku, tetap menjaga investor, dan bisa memfasilitasi masyarakat sesuai peraturan yang ada. Masyarakat juga diharapkan tidak bertindak anarkis.

“Pemerintah daerah harus tegas dengan aturan-aturan yang ada, segera mengambil solusi sesuai dengan kewenangannya. Kalau memang perusahaan salah, diatur. Salahnya di mana, beri peringatan, teguran, dengan catatan sesuai regulasi yang berlaku,” tuturnya.

Wagub Kalteng H Edy Pratowo mengungkapkan, pihak perusahaan sudah berkenan untuk memberikan CPCL dalam bentuk plasma. Adapun yang harus disiapkan sekarang ini adalah CP yang akan menggarap kebun tersebut. Masyarakat, dalam waktu dekat, diharapkan bisa segera mendapatkan SHU masing-masing.

“Sekarang ini kami harapkan pendaftaran dan pendataan untuk CP sudah ada secara real, jangan sampai nanti terjadi lagi kendala-kendala di lapangan, karena pendataan itu juga harus by name by address,” beber Edy kepada awak media usai mengikuti apel persiapan pengamanan pemilu di Mapolda Kalteng, Selasa pagi (17/10).

Edy menjelaskan, realisasi plasma yang akan direalisasikan tersebut sesuai dengan kesepakatan itu. “Realisasi yang sudah disepakati yang sudah dibicarakan itu, maksudnya, kebun plasmanya nanti akan dibangun di lahan seluas 443 ha, kemudian sisanya itu bisa berjalan dan berproses,” jelasnya.

Edy mengakui bahwa konflik yang terjadi di wilayah itu sangat menjadi perhatian publik. Kementerian terkait juga sudah melihat konflik tersebut. Edy menyebut situasi terkini di Desa Bangkal sudah berjalan kondusif. Pada Minggu (15/10) lalu, pihaknya ada memberikan paket sembako untuk masyarakat setempat. Pihak masyarakat, lanjut Edy, juga mengharapkan agar suasana di sana bisa aman dan damai. Ia berharap agar solusi yang diberikan nantinya bisa memberikan rasa kedamaian dan keadilan untuk masyarakat setempat.

“Masyarakat yang berada di sekitar kawasan perkebunan diharapkan bisa menikmati keberadaan sebuah investasi yang hadir dan diharapkan oleh mereka,” ucapnya.

Disetujuinya realisasi plasma 20 persen oleh perusahaan tersebut mendapat respons dari Sawit Watch. Pihaknya mengapresiasi keinginan pihak perusahaan untuk merealisasikan tuntutan plasma dari masyarakat.

Akan tetapi, pihaknya menilai masih ada segelintir persoalan yang harus diperhatikan oleh pemangku kepentingan agar program itu dapat berjalan dengan baik. Terutama terkait kejelasan mekanisme pembagian plasma dan transparansinya.(dan/ala)

PALANGKA RAYA-Kelangsungan investasi perkebunan kelapa sawit di Kalteng kini tengah diuji. Konflik perkebunan kelapa sawit yang terjadi di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, disinyalir menjadi “portofolio” buruk bagi Bumi Tambun Bungai sebagai daerah penghasil pendapatan dari sektor perkebunan terbesar. Pemerintah diajak evaluasi. Masyarakat diminta jernih memahami regulasi.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalteng merespons konflik tersebut. Pihaknya meminta agar pemerintah mengambil kebijakan dan menyampaikan narasi kepada publik berkaca sesuai regulasi yang berlaku. Permasalahan itu diminta agar jangan sampai berkepanjangan. Sebab, akan membuat nama baik Kalteng buruk di mata para investor.

Wakil Ketua Gapki Kalteng, AU Rizky Djaya mengungkapkan, harus ada upaya untuk meluruskan peraturan-peraturan yang seharusnya diketahui oleh masyarakat secara tepat. Menurut Rizky, pemahaman masyarakat atas realisasi plasma selama ini masihlah keliru.

“Dalam Permentan sudah dijelaskan bahwa plasma itu kalau memang berkewajiban, disiapkan arealnya, disiapkan lahannya, dan ada calon petani dan calon lokasi (CPCL). Pihak yang menyiapkan lahan itu adalah pemerintah sendiri, bukan perusahaan. Perusahaan sifatnya hanya memfasilitasi,” ujar Rizky kepada Kalteng Pos, Sabtu (21/10).

Maka dari itu pihaknya berharap kepada pemerintah daerah melalui dinas perkebunan harus bijak dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Sebab, regulasi mengenai penyediaan plasma perkebunan sudah tertuang jelas seperti pada Undang-Undang (UU) nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Perpu, UU Ciptaker, UU nomor 26 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan di Bidang Pertanian, dan Permentan nomor 98 tahun 2013 tentang Perizinan Usaha Perkebunan.

“Paradigma masyarakat, kalau ada 100 hektare lahan kebun, maka perusahaan harus menyediakan 20 hektare untuk masyarakat. Lalu kalau ada lahan di luar HGU yang sudah ditanam, lalu masyarakat bisa serta-merta mengambil alih, itu keliru,” tambahnya.

Dijelaskan Rizky, jika ada lahan di luar HGU perusahaan tetapi sudah ditumbuhi atau ditanami sawit, maka lahan itu terlebih dahulu diserahkan kepada pemerintah, lalu pemerintah yang mengambil kebijakan sesuai dengan peruntukan lahan tersebut nantinya.

“Dilihatlah peraturan yang ada, tenaga-tenaga yang ada di dinas perkebunan sosialisasi, duduk bersama para pihak untuk meluruskan peraturan-peraturan yang ada,” ujarnya.

Dalam mekanismenya, lanjut Rizky, jika suatu lahan sawit sudah dikelola oleh masyarakat, maka mereka harus bekerja sama dengan pemerintah dan perbankan untuk melakukan kredit. Tetapi pihak yang memanajemen kebun itu tetaplah pihak perusahaan karena mereka orang yang berpengalaman di bidang perkebunan tersebut.

Baca Juga :  Kapolda Kalteng Akhirnya Angkat Bicara soal Tragedi Bangkal, Ini Janjinya....

“Pada prosesnya lahan sawit itu diolah dan dikelola dengan baik melalui pola perusahaan, bukan pola petani atau masyarakat. Di situ mereka hitung bagaimana kondisi pupuk, rotasi, dan lain-lain. Hasilnya itulah yang kemudian menjadi SHU kepada masyarakat, dibayarkan saat masih masa kredit, maka dari hasil itu sebagian dibayarkan untuk mengasuh kredit, sebagian lagi untuk dana talangan yang diperuntukkan kepada masyarakat sebagai sumber penghidupan,” ujarnya.

Setelah dilakukan pelunasan dalam jangka waktu 10-15 tahun, maka semua penghasilan dalam SHU itu akan menjadi hasil untuk masyarakat sendiri sampai dengan usia 25 tahun sebelum replanting. Setelah replanting, maka masyarakat bisa bekerja sama lagi dengan perusahaan sebagai induk semang.

“Saya masih mempertanyakan lahan di luar HGU PT HMBP yang sebesar 1.000 sekian hektare, itu statusnya apa, keterlanjuran atau sudah izin sebelumnya. Kalau memang ada lahan di luar HGU itu, tidak serta-merta bisa diambil masyarakat, tetapi dikendalikan dulu oleh pemerintah untuk diijadikan apa,” tuturnya.

Rizky menjelaskan, menurut peraturan perkebunan yang berlaku saat ini, apabila perusahaan perkebunan berdiri setelah 28 Februari 2008, apabila ada pembukaan atau izin yang keluar, maka perusahaan berkewajiban untuk menyediakan 20 persen kebun masyarakat. “Tapi arealnya itu disediakan oleh pemerintah, perusahaan sifatnya memfasilitasi,” ucapnya.

 

PT HMBP sendiri merupakan anggota Gapki. Namun demikian, Rizky menegaskan pihaknya selaku asosiasi tidak bisa membuat keputusan kepada anggota mengingat setiap anggota memiliki manajemen masing-masing. Persoalan antara satu anggota dengan anggota lainnya pun berbeda-beda. Ia mengaku menyayangkan sikap pemerintah yang belum jernih melihat persoalan. Ia menilai, pihak pemerintah memang memihak kepada masyarakat, tetapi keberpihakan itu tidak diiringi dengan kejernihan dalam melihat regulasi.

“Dari sini saya kemudian bertanya, ke depan bagaimana ya nasib investor. Padahal sejak tahun 2022 Kalteng itu merupakan salah satu provinsi yang memiliki perkebunan sawit yang kontribusinya terbanyak di seluruh Indonesia,” ungkapnya.

Tak hanya itu, bahkan pada Oktober 2023 sekarang, Rizky menyebut Dana Bagi Hasil (DBH) Kalteng sangat besar dengan sektor yang paling banyak berkontribusi adalah perkebunan sawit. Pihaknya sudah memperjuangkan agar DBH teralokasi sesuai dengan unit ataupun kabupaten penghasilnya. Menurut Rizky, banyaknya perusahaan perkebunan di suatu daerah berbanding lurus dengan besaran perputaran uang di daerah tersebut.

“Perputaran terbesar keuangan di Kalteng itu berada nomor satu di Kotim, dua di Seruyan, dan tiga di Palangka Raya. Kenapa? Karena perkebunan itu wilayah terbesarnya ada di Kotim, Seruyan, dan sebagian Palangka Raya yang merupakan ibu kota provinsi,” sebutnya.

Baca Juga :  Gubernur Kalteng Bicara soal Plasma di Tengah Polemik PT HMBP I

Ia meminta kepada pengambil kebijakan agar menyelesaikan konflik tersebut secara tegas sesuai peraturan yang berlaku, tetap menjaga investor, dan bisa memfasilitasi masyarakat sesuai peraturan yang ada. Masyarakat juga diharapkan tidak bertindak anarkis.

“Pemerintah daerah harus tegas dengan aturan-aturan yang ada, segera mengambil solusi sesuai dengan kewenangannya. Kalau memang perusahaan salah, diatur. Salahnya di mana, beri peringatan, teguran, dengan catatan sesuai regulasi yang berlaku,” tuturnya.

Wagub Kalteng H Edy Pratowo mengungkapkan, pihak perusahaan sudah berkenan untuk memberikan CPCL dalam bentuk plasma. Adapun yang harus disiapkan sekarang ini adalah CP yang akan menggarap kebun tersebut. Masyarakat, dalam waktu dekat, diharapkan bisa segera mendapatkan SHU masing-masing.

“Sekarang ini kami harapkan pendaftaran dan pendataan untuk CP sudah ada secara real, jangan sampai nanti terjadi lagi kendala-kendala di lapangan, karena pendataan itu juga harus by name by address,” beber Edy kepada awak media usai mengikuti apel persiapan pengamanan pemilu di Mapolda Kalteng, Selasa pagi (17/10).

Edy menjelaskan, realisasi plasma yang akan direalisasikan tersebut sesuai dengan kesepakatan itu. “Realisasi yang sudah disepakati yang sudah dibicarakan itu, maksudnya, kebun plasmanya nanti akan dibangun di lahan seluas 443 ha, kemudian sisanya itu bisa berjalan dan berproses,” jelasnya.

Edy mengakui bahwa konflik yang terjadi di wilayah itu sangat menjadi perhatian publik. Kementerian terkait juga sudah melihat konflik tersebut. Edy menyebut situasi terkini di Desa Bangkal sudah berjalan kondusif. Pada Minggu (15/10) lalu, pihaknya ada memberikan paket sembako untuk masyarakat setempat. Pihak masyarakat, lanjut Edy, juga mengharapkan agar suasana di sana bisa aman dan damai. Ia berharap agar solusi yang diberikan nantinya bisa memberikan rasa kedamaian dan keadilan untuk masyarakat setempat.

“Masyarakat yang berada di sekitar kawasan perkebunan diharapkan bisa menikmati keberadaan sebuah investasi yang hadir dan diharapkan oleh mereka,” ucapnya.

Disetujuinya realisasi plasma 20 persen oleh perusahaan tersebut mendapat respons dari Sawit Watch. Pihaknya mengapresiasi keinginan pihak perusahaan untuk merealisasikan tuntutan plasma dari masyarakat.

Akan tetapi, pihaknya menilai masih ada segelintir persoalan yang harus diperhatikan oleh pemangku kepentingan agar program itu dapat berjalan dengan baik. Terutama terkait kejelasan mekanisme pembagian plasma dan transparansinya.(dan/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/