Tutupan Lahan Berkurang, Pangan Lokal Terancam
MARTA Lisa berjalan menuju pekarangan yang berjarak 500 meter dari rumahnya. Sembari menggendong lanjung atau keranjang dari anyaman rotan untuk membawa hasil panen. Di dalamnya ada sebilah parang. Marta tak sendiri. Ia ditemani empat orang. Tiga perempuan dan satu laki-laki. Masih bertetangga.
Pandangan mata mereka mengarah ke pepohonan dan semak-semak. Mereka mencari daun-daunan, buah, palem, dan umbi. Bagi warga Kelurahan Bukit Sua, Kecamatan Rakumpit, Palangka Raya, aneka macam tumbuhan hutan itu merupakan penopang pangan bagi mereka.
Letak geografis tak memungkinkan pedagang tiap hari datang menjual kebutuhan dapur. Dari pusat kota, menempuh jalur darat sepanjang 76 kilometer, lalu menyusuri Sungai Rungan kurang lebih 3 kilometer.
Setelah sejam pencarian, Marta akhirnya mendapatkan tiga pucuk umbut rotan, sebatang umbut kelapa, dan sembilan biji buah gandis. Tak hanya itu, Marta juga berhasil memetik lebih 10 lembar daun taya muda. Daun ini biasa dipakai suku Dayak sebagai penyedap rasa alami.
“Kalau masak sayur enggak usah pakai vetsin (micin) lagi, cukup pakai daun ini,” ucap Marta. “Ini juga biasa dipakai sebagai bahan campuran pupur basah,” timpal Pimping, rekan Marta.
Sementara, di kediaman Lurah Bukit Sua, Nuliasi, perwakilan ibu-ibu dari Mungku Baru, Panjehang, Petuk Barunai, dan ibu-ibu tuan rumah sedang berkumpul. Mereka sedang mengikuti Festival Pangan yang bertajuk Lokakarya Adaptasi Perubahan Iklim terhadap Pangan Lokal. Kegiatan itu diinisiasi oleh Borneo Nature Foundation (BNF). Kegiatan yang terlaksana pertengahan Februari lalu itu juga dihadiri chef Ragil Imam Wibowo. Chef yang dikenal gemar mendokumentasikan makanan lokal Nusantara.
Ibu-ibu itu duduk melingkar. Beralaskan tikar. Mereka mengidentifikasi bahan pangan lokal yang sudah disiapkan dalam dua lembar kertas. Masih ada, lenyap, atau susah didapat. Tertulis di dalamnya, 25 jenis daun, 32 jenis buah, 25 jenis rempah, 6 jenis batang-batangan, 4 jenis umbut, 7 jenis umbi, 2 jenis pakis, dan 54 jenis ikan sungai. Baik dari hasil budi daya maupun yang tumbuh di hutan, rawa, dan pekarangan.
“Untuk saat ini, 80 persen bahan pangan lokal yang tertulis ini masih ada,” ucap Rusmidah, perwakilan dari Kelurahan Mungku Baru. Meski sejauh ini bahan pangan masih melimpah, mereka bukan tanpa masalah. Faktor iklim, cara pengolahan, kesuburan tanah, lokasi, serta sarana dan prasarana menjadi keluhan mereka. Adanya perkebunan sawit dan pembalakan membuat hutan di sekitar permukiman makin sempit. Belum lagi pertambangan emas liar di sepanjang sungai yang cukup mengganggu habitat ikan lokal.
“Salah satu yang sulit di sini, ya lahan untuk menanam padi. Karena ajaran leluhur, kalau mau menanam padi, suku Dayak harus membuka lahan dulu dengan membakar, biar tanahnya subur. Sekarang ini, kalau mau bakar lahan, malah ditangkap,” tambah Hermedi.
“Semua jenis umbut, ikan, daun-daunan untuk sayur masih tersedia,” timpal Maria.
Kejelian ibu-ibu mencari sumber pangan lokal juga diimbangi kemahiran mereka dalam mengolahnya menjadi masakan. Maria, Murid, Titi, Musni, dan Suzana unjuk gigi dalam memasak dengan mengandalkan bahan pangan lokal. Di antaranya, daun kunyit, daun jahe, singkah potok atau kecombrang, dan daun kalapimping yang bentuknya mirip daun kedondong. Lalu ada ikan baung dan haruan. “Kami akan memasak karundam dan lawas humbang,” ucapnya.
Sedikit digambarkan, karundam itu diolah dari bahan ikan haruan yang sudah difermentasi selama enam jam. Lalu diolah dengan bumbu halus seperti bawang putih, bawang merah, jahe, singkah potok, serai, daun taya, serta daun kalapimping yang rasanya asam. Untuk lawas humbang, mereka menggunakan ikan baung, diolah dengan bumbu serupa dan dimasukkan ke bambu sebelum dibakar.
Mereka berlima tampak sedikit tegang saat memasak di depan chef Ragil, yang sudah masak masai dalam dunia kuliner. Suasana mulai cair ketika chef Ragil meminta mereka untuk menikmati setiap proses memasak dan percaya diri.
Setelah mendengar ucapan itu, para ibu rumah tangga itu pun mulai memainkan peran masing-masing bak orkestra.
Pendiri dan pemilik restoran Nusa Gastronomy Indonesia itu memuji aneka pangan lokal yang ada di kecamatan yang memiliki luas kurang lebih 1.000 km2 ini. Dua menu masakan yang dihidangkan oleh ibu-ibu itu membuat chef Ragil terpikat. Selekas-lekasnya mendekat. Tak hanya sekadar mencicip. Chef berusia 49 tahun itu langsung mesem-mesem usai menelan satu sendok karundam.
Menurut suami dari Meilati Batubara ini, rasa kedua masakan itu universal. Tidak terlalu aneh dan berbeda. Teknik memasak pun menarik. “Rasanya cukup enak di lidah saya yang tak terbiasa. Perlu untuk diketahui, makanan enak itu orang dari luar daerah bisa menikmati,” katanya seraya mengaku kesengsem dengan rasa masakan ibu-ibu itu.
Sementara itu, Koordinator Pemberdayaan Masyarakat BNF Yuliana Nona menjelaskan, sumber pangan lokal masih menjadi andalan masyarakat di tengah isu perubahan iklim yang mengancam. Karena itu, nilai-nilai kearifan lokal terhadap pangan harus terus dilestarikan.
Berbicara soal hutan, tidak harus selalu kayu sebagai barang yang mempunyai nilai ekonomis. Ada pula daun-daunan, umbi, buah, dan umbut yang bisa dijual.
“Kami harapkan bahan-bahan pangan lokal ini bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin. Masyarakat harus percaya diri dengan masakan lokalnya,” ungkap Nona.
Kerawanan Ketahanan Pangan
Keesokan harinya, giliran chef Ragil yang memasak buat ibu-ibu. Datang dari Jakarta membawa dua bilah pisau. Pisau kecil dan pisau golok. Pisau golok yang dibawa itu dibeli seharga Rp300 ribu. Dua bilah pisau itu sudah 15 tahun menemani chef Ragil.
“Beli pisau enggak harus mahal, yang penting terbuat dari stainless bagus,” ucanya sebelum mulai memasak.
Chef Ragil ditemani chef Andi Sintang. Hari itu mereka membuat juhu atau sayur ikan belida. Diolah dengan bahan-bahan yang diambil dari pekarangan. Seperti singkah potok, terong asam, dan buah gandis. Chef sengaja tidak menggunakan penyedap rasa. Ia memakai daun taya sebagai ganti. Untuk menu utama, ada ikan sanggang yang dipanggang. Beratnya kurang lebih satu kilogram. Ikan segar itu diambil dari perangkap yang dipasang di pinggir sungai.
Makan besar pagi itu begitu lengkap, kerena ada sambal khas suku Dayak. Namanya kandas singkah potok. Dalam bahasa Indonesia disebut sambal umbut potok. Rasa makin beraroma setelah ditambah dengan umbut kelapa, rotan, dan daun kalapimping.
Chef yang hobi traveling itu menyebut, hubungan manusia dengan alam tidak bisa dipisahkan. Alam dan kekayaannya merupakan komponen penting. Terutama dalam hal ketahanan pangan. “Mereka sadar, ekosistem tak bisa dipisahkan. Masyarakat di sini benar-benar bisa hidup dengan lingkungan sekitar,” ungkapnya.
Banyak pangan lokal yang tak teridentifikasi dengan baik. Mengapa pangan lokal harus dijaga? Pangan lokal tidak dimiliki negara lain. “Kita harus berdaulat dengan diri kita sendiri. Setelah berdaulat, baru kita bawa ke luar,” katanya.
Selama berkeliling Indonesia untuk mengidentifikasi pangan lokal, chef yang satu ini menyadari ada banyak bahan yang mulai hilang, karena hutan dan lahan berubah atau beralih fungsi. Banyaknya perkebunan, masifnya pertambangan, dan maraknya pembalakan membuat sumber pangan terus berkurang.
“Ini (sumber pangan berkurang, red) yang membuat saya paling sedih sih,” ucapnya.
Dalam 5-10 tahun ke depan, jika kekayaan alam ini tidak dijaga, bukan tidak mungkin akan kehilangan sumber pangan. “Itu akan menjadi masalah baru, karena mereka akan mencari makanan lebih jauh,” tuturnya.
Yang diucapkan chef Ragil bukan omong kosong. Data yang dihimpun Kalteng Pos dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Hutan Lindung (BPDASHL) Kahayan menunjukkan perbandingan tutupan lahan tahun 2016 dan 2020 di sebagian DAS Kahayan (Gunung Mas dan Palangka Raya, minus Pulang Pisau).
Perubahan tutupan lahan hutan meliputi hutan lahan kering primer dan sekunder, hutan rawa primer dan sekunder, serta hutan tanaman di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan pada sebagian DAS Kahayan pada tahun 2020 berkurang 56.731,84 hektare.
“Perubahan penutupan lahan perkebunan dan pertambangan pada sebagian DAS Kahayan tahun 2020 meningkat dibandingkan tahun 2016, yakni kurang lebih 36.703,56 hektare,” ucap Kepala BPDASHL Kahayan Ir Supriyanto Sukmo Sejati.
Pria bergelar magister sains itu menyebut, perubahan penutupan lahan untuk pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campuran relatif tidak banyak perubahan sejak 2016 hingga 2020.
“Perlu kajian lebih lanjut yang melibatkan berbagai sektor tentang dampak perubahan tutupan lahan hutan dan peningkatan penggunaan lahan untuk perkebunan maupun pertambangan terhadap potensi atau kerawanan ketahanan pangan masyarakat di sekitar hutan maupun bencana banjir dan karhutla,” bebernya.
Pangan Lokal Sarat Gizi
Kepala Dinas Ketahanan Pangan (DKP) Kalteng Sunarti mengatakan, dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan, Kalteng memiliki potensi yang cukup besar. Karena ada berbagai macam pangan lokal yang kerap dijadikan alternative untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Ada beberapa jenis pangan di Kalteng ini yang sebagian besar termasuk dalam sumber daya genetik (SDG). Misal saja ganyong, darut, sukun, singkong, gembili, ubi, keladi korup matah dari Lamandau, dan talas beta-beta dari Kapuas. Tentu saja pangan-pangan lokal ini harus terus dilestarikan, agar tetap eksis dan dimanfaatkan masyarakat sebagai ketahanan pangan.
“Memenuhi hal itu, kami tidak berhenti mempromosikan dan menyosialisasikan keberadaan pangan-pangan lokal Kalteng,” katanya saat dikonfirmasi, Rabu (23/2).
Sementara itu, dr Ni Nyoman Sri Yuliani Sp GK selaku dokter ahli gizi dari RS Primaya Betang Pambelum Palangka Raya mengatakan, pangan lokal Kalteng berupa sayuran maupun ikan memiliki kandungan gizi yang sangat baik untuk pertumbuhan anak.
Ia menyebut, salah satu jenis sayuran yang sudah diteliti pihaknya adalah kelakai. Sayur ini memiliki kandungan zat besi yang bisa mencegah anemia. “Begitu pun dengan ikan haruan dan lais, mengandung protein tinggi dan bagus untuk pertumbuhan, mencegah anemia, dan menjaga imunitas tubuh,” bebernya.
Selain itu, ikan patin juga mengandung omega 3 dan vitamin D yang baik untuk kecerdasan otak dan imun tubuh. Secara umum, ikan sungai layak dikonsumsi, karena tidak menyebabkan alergi untuk pengonsumsi.
“Melihat kaya manfaat dan gizi dari ikan ataupun sayuran lokal Kalteng ini, pemerintah tentu harus memberi edukasi kepada masyarakat, agar lebih meningkatkan konsumsi ikan lokal,” tegasnya.
Nyoman menambahkan, pengolahan makanan dengan panas disinyalir akan merusak kandungan gizi. Dari hasil penelitian mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Palangka Raya, durasi perebusan untuk mempertahankan kandungan zat besi pada kelakai yakni tiga menit. Kelakai sebaiknya dimasukkan setelah air mendidih.
Sementara dari hasil penelitian yang pernah dibacanya, ikan haruan yang dioleh dengan cara digoreng, ternyata dapat meningkatkan kualitas proteinnya. “Untuk pangan lokal yang ditambahi dengan bumbu, tentu tidak akan merusak kandungan gizi dan manfaat, justru ada tambahan kandungan gizi dan mineral dari bumbunya,” pungkasnya. (abw/ce/ram)