Senin, Maret 31, 2025
28.6 C
Palangkaraya

Pawai Ogoh-Ogoh di Kota Cantik Meriah

PALANGKA RAYA – Hujan deras yang sempat mengguyur sore hari tak mampu meredam semangat ratusan warga yang memadati kawasan Wantilan Pura Pitamaha, Palangka Raya, Jumat (28/3). Mereka berkumpul dengan antusias untuk menyaksikan Pawai Ogoh-Ogoh, sebuah tradisi sakral yang menandai perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1947.

Diiringi dentingan gamelan dan gemerlap obor yang menerangi senja, delapan ogoh-ogoh raksasa diarak berkeliling kota. Setiap patung yang diusung melambangkan sifat angkara murka dan energi negatif yang harus dilebur sebelum memasuki Nyepi. Tidak hanya peserta dari Kota Palangka Raya, pawai juga diikuti oleh perwakilan dari Tangkiling, mencerminkan persatuan dan kekompakan dalam melestarikan budaya.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Kalimantan Tengah, I Wayan Suata, menjelaskan bahwa pawai ini bukan sekadar ritual tahunan, tetapi memiliki makna mendalam dalam proses penyucian diri dan alam semesta.

“Ogoh-ogoh ini adalah simbol sifat buruk dalam diri manusia. Dengan mengarak dan membakarnya, kita berharap segala energi negatif dapat lenyap, sehingga kita menyambut tahun baru dengan hati yang lebih suci,” ujarnya, Jumat (28/3).

Di sepanjang rute yang melintasi jalan kota, suasana terasa magis. Sorak sorai masyarakat berpadu dengan cahaya obor yang berpendar di antara gelapnya malam, menciptakan panorama yang menakjubkan. Setiap gerakan dalam pawai mencerminkan filosofi kehidupan, di mana manusia harus mampu menyingkirkan kejahatan dalam dirinya agar mencapai keseimbangan.

Baca Juga :  Pasien Rawat Inap Bisa Coblos

Rangkaian perayaan Nyepi diawali dengan Melasti, prosesi penyucian ke sumber air yang melambangkan pembersihan diri dari segala kotoran duniawi. Selanjutnya, upacara Tawur dilaksanakan dengan menaburkan nasi tawur ke sekitar rumah sebagai wujud harmonisasi dengan alam. Sehari sebelum Nyepi, Pengerupukan digelar dengan penuh kemeriahan melalui Pawai Ogoh-Ogoh, sebagai puncak ritual pemurnian.

Saat Nyepi tiba pada Sabtu (29/3), umat Hindu menjalankan Catur Brata Penyepian dengan penuh khidmat. Tanpa menyalakan api, tanpa bekerja, tanpa bepergian, dan tanpa menikmati hiburan, mereka memasuki masa perenungan yang mendalam. Kesunyian ini menjadi momen untuk mengendalikan diri, merefleksikan perjalanan hidup, dan memperkuat hubungan spiritual dengan Sang Pencipta.

Disisi lain, Arton S. Dohong, Ketua Paruman Walaka, menegaskan bahwa tradisi Hindu di Kalimantan Tengah tetap berjalan sesuai adat dan budaya setempat. Ia menjelaskan bahwa Hindu di daerah ini memiliki kekhasan tersendiri, yang dipengaruhi oleh budaya lokal, seperti Hindu Kaharingan.

“Hindu di Kalimantan Tengah memang memiliki pengaruh budaya setempat, terutama Hindu Kaharingan. Namun, esensinya tetap sama, yakni menjalankan ajaran Dharma sesuai dengan adat dan tradisi masing-masing. Masyarakat luas mungkin belum sepenuhnya memahami perbedaan ini, tetapi yang terpenting adalah menjaga harmoni dan toleransi,” ungkapnya.

Baca Juga :  Sambut 1 Muharam, Ratusan Peserta Ikuti Pawai

Sementara itu, mewakili Gubernur Kalimantan Tengah, Kepala Satpol PP Kalteng, Baru I. Sangkai, turut memberikan apresiasi atas terselenggaranya pawai yang berjalan lancar dan penuh makna.

“Atas nama Pemerintah Kalimantan Tengah, kami mengucapkan selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1947 bagi umat Hindu. Keberagaman adalah kekayaan yang harus kita jaga bersama. Pawai Ogoh-Ogoh ini bukan sekadar tradisi, tetapi juga memiliki filosofi yang mendalam, yakni membakar sifat buruk dalam diri agar kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik,” ujarnya dalam sambutannya.

Setelah Nyepi, umat Hindu akan merayakan Ngembak Geni, momen silaturahmi dan saling memaafkan. Kebersamaan yang terjalin dalam perayaan ini mengingatkan bahwa kehidupan yang harmonis dapat tercipta melalui kesadaran akan keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas.

Lebih dari sekadar ritual tahunan, Pawai Ogoh-Ogoh di Palangka Raya menjadi cerminan kekayaan budaya dan warisan spiritual yang harus dijaga. Dengan semangat kebersamaan dan pelestarian tradisi, perayaan Nyepi tahun ini membawa pesan mendalam tentang pentingnya refleksi, kesucian hati, dan harapan akan masa depan yang lebih baik. (ovi)

PALANGKA RAYA – Hujan deras yang sempat mengguyur sore hari tak mampu meredam semangat ratusan warga yang memadati kawasan Wantilan Pura Pitamaha, Palangka Raya, Jumat (28/3). Mereka berkumpul dengan antusias untuk menyaksikan Pawai Ogoh-Ogoh, sebuah tradisi sakral yang menandai perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1947.

Diiringi dentingan gamelan dan gemerlap obor yang menerangi senja, delapan ogoh-ogoh raksasa diarak berkeliling kota. Setiap patung yang diusung melambangkan sifat angkara murka dan energi negatif yang harus dilebur sebelum memasuki Nyepi. Tidak hanya peserta dari Kota Palangka Raya, pawai juga diikuti oleh perwakilan dari Tangkiling, mencerminkan persatuan dan kekompakan dalam melestarikan budaya.

Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Kalimantan Tengah, I Wayan Suata, menjelaskan bahwa pawai ini bukan sekadar ritual tahunan, tetapi memiliki makna mendalam dalam proses penyucian diri dan alam semesta.

“Ogoh-ogoh ini adalah simbol sifat buruk dalam diri manusia. Dengan mengarak dan membakarnya, kita berharap segala energi negatif dapat lenyap, sehingga kita menyambut tahun baru dengan hati yang lebih suci,” ujarnya, Jumat (28/3).

Di sepanjang rute yang melintasi jalan kota, suasana terasa magis. Sorak sorai masyarakat berpadu dengan cahaya obor yang berpendar di antara gelapnya malam, menciptakan panorama yang menakjubkan. Setiap gerakan dalam pawai mencerminkan filosofi kehidupan, di mana manusia harus mampu menyingkirkan kejahatan dalam dirinya agar mencapai keseimbangan.

Baca Juga :  Pasien Rawat Inap Bisa Coblos

Rangkaian perayaan Nyepi diawali dengan Melasti, prosesi penyucian ke sumber air yang melambangkan pembersihan diri dari segala kotoran duniawi. Selanjutnya, upacara Tawur dilaksanakan dengan menaburkan nasi tawur ke sekitar rumah sebagai wujud harmonisasi dengan alam. Sehari sebelum Nyepi, Pengerupukan digelar dengan penuh kemeriahan melalui Pawai Ogoh-Ogoh, sebagai puncak ritual pemurnian.

Saat Nyepi tiba pada Sabtu (29/3), umat Hindu menjalankan Catur Brata Penyepian dengan penuh khidmat. Tanpa menyalakan api, tanpa bekerja, tanpa bepergian, dan tanpa menikmati hiburan, mereka memasuki masa perenungan yang mendalam. Kesunyian ini menjadi momen untuk mengendalikan diri, merefleksikan perjalanan hidup, dan memperkuat hubungan spiritual dengan Sang Pencipta.

Disisi lain, Arton S. Dohong, Ketua Paruman Walaka, menegaskan bahwa tradisi Hindu di Kalimantan Tengah tetap berjalan sesuai adat dan budaya setempat. Ia menjelaskan bahwa Hindu di daerah ini memiliki kekhasan tersendiri, yang dipengaruhi oleh budaya lokal, seperti Hindu Kaharingan.

“Hindu di Kalimantan Tengah memang memiliki pengaruh budaya setempat, terutama Hindu Kaharingan. Namun, esensinya tetap sama, yakni menjalankan ajaran Dharma sesuai dengan adat dan tradisi masing-masing. Masyarakat luas mungkin belum sepenuhnya memahami perbedaan ini, tetapi yang terpenting adalah menjaga harmoni dan toleransi,” ungkapnya.

Baca Juga :  Sambut 1 Muharam, Ratusan Peserta Ikuti Pawai

Sementara itu, mewakili Gubernur Kalimantan Tengah, Kepala Satpol PP Kalteng, Baru I. Sangkai, turut memberikan apresiasi atas terselenggaranya pawai yang berjalan lancar dan penuh makna.

“Atas nama Pemerintah Kalimantan Tengah, kami mengucapkan selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1947 bagi umat Hindu. Keberagaman adalah kekayaan yang harus kita jaga bersama. Pawai Ogoh-Ogoh ini bukan sekadar tradisi, tetapi juga memiliki filosofi yang mendalam, yakni membakar sifat buruk dalam diri agar kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik,” ujarnya dalam sambutannya.

Setelah Nyepi, umat Hindu akan merayakan Ngembak Geni, momen silaturahmi dan saling memaafkan. Kebersamaan yang terjalin dalam perayaan ini mengingatkan bahwa kehidupan yang harmonis dapat tercipta melalui kesadaran akan keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas.

Lebih dari sekadar ritual tahunan, Pawai Ogoh-Ogoh di Palangka Raya menjadi cerminan kekayaan budaya dan warisan spiritual yang harus dijaga. Dengan semangat kebersamaan dan pelestarian tradisi, perayaan Nyepi tahun ini membawa pesan mendalam tentang pentingnya refleksi, kesucian hati, dan harapan akan masa depan yang lebih baik. (ovi)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/