PALANGKA RAYA-Kasus dugaan pemalsuan verklaring yang menjerat Madie Goeing Sius alias Madi terus bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Palangka Raya. Salah satu pengusaha properti sekaligus politikus di Palangka Raya, Eldoniel Mahar SE MBA menyatakan kesiapan untuk menjadi saksi bila diminta oleh pihak berwenang untuk memberikan keterangan.
Eldoniel Mahar merasa terpanggil untuk turut memberikan “sesuatu” dan membantu pihak berkepentingan menggali dan mengungkap kebenaran dalam persidangan kasus ini.
“Jika memungkinkan dan tak melanggar aturan serta diminta oleh pihak berwenang, saya bersedia menjadi saksi guna memperlihatkan sebuah dokumen autentik berupa verklaring terbitan tahun 1938 yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda,” kata Eldoniel Mahar kepada wartawan, Kamis (27/4).
Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu menegaskan, verklaring tersebut adalah milik kakeknya, Emanuel Mahar, yang merupakan mantan Bupati Kapuas periode 1962-1964. Verklaring itu ia temukan dari tumpukan berkas dokumen tanah keluarga peninggalan kakek yang berlokasi di Kertak Hanyar, Banjarmasin.
“Saya berharap dokumen tersebut dapat membantu aparat hukum dalam mengungkap kebenaran yang hakiki serta memberi keadilan bagi masyarakat yang telah menjadi korban kasus dugaan pelanggaran hukum ini,” tuturnya.
Di sisi lain, tanpa bermaksud mendahului putusan pengadilan atas dugaan verklaring palsu tersebut, menurut Eldoniel ada dua kemungkinan atau kondisi yang akan muncul dari putusan yang nantinya akan diambil oleh majelis hakim. Pertama, andai kata si pelaku dinyatakan tidak bersalah oleh majelis hakim (dan verklaring yang ada dinyatakan asli), maka para pemilik tanah bersertifikat yang tumpang tindih dengan verklaring tersebut kemungkinan akan kehilangan hak keperdataan.
“Kemungkinan kedua, jika si pelaku dinyatakan bersalah oleh pengadilan (dan verklaring dinyatakan palsu), maka para pemilik surat tanah yang diterbitkan berdasarkan verklaring tersebut tentu tidak akan bisa memiliki dasar atau kekuatan hukum atas dokumen yang mereka miliki apa pun alasannya, mengingat sebuah putusan hukum itu bersifat mengikat dan tak dapat diganggu gugat,” terangnya.
Dengan kata lain, apapun putusan pengadilan atas perbuatan si pelaku, baik itu bersalah atau tidak, semuanya tentu akan menimbulkan korban dampak perbuatan si pelaku. Parahnya, jumlah korban dalam kasus ini tidak sedikit. Apalagi jika para korban tersebut telah mendirikan rumah atau bangunan di atas tanah yang tidak memiliki dasar hukum itu. Tentu masalahnya akan lebih rumit lagi.
“Jika berbagai kemungkinan ini tidak diwaspadai serta tidak diantisipasi lebih awal oleh pihak-pihak terkait, tentu akan berpotensi menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat yang terkena dampak putusan hukum atas perbuatan si pelaku,” imbuhnya.
Masalah rumit ini tentu tak dapat diserahkan dan atau diselesaikan sepihak oleh BPN selaku lembaga penerbit sertifikat, mengingat keterbatasan kewenangan yang dimiliki instansi tersebut.
“Setelah ada keputusan pengadilan nanti, berbagai kemungkinan ini berpotensi menimbulkan masalah besar yang dihadapi oleh warga masyarakat dalam jumlah relatif besar. Oleh sebab itu, negara tidak boleh berdiam diri, negara tidak boleh mengabaikan, negara tidak boleh membiarkan, negara tidak boleh berpangku tangan, negara harus peduli, negara harus hadir, negara harus berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi warga,” katanya.
“Pertanyaannya adalah siapakah “negara” di daerah ini? Khususnya terkait dengan penyelesaian dampak sosial yang sangat mungkin timbul di masyarakat, menyusul putusan pengadilan atas dugaan verklaring palsu nanti. Adalah tugas kita bersama untuk mencari dan menemukan jawabannya,” pungkasnya. (yan/ce/ala)