Rabu, September 18, 2024
31.7 C
Palangkaraya

Ingin Mengenalkan Budaya Lokal ke Kancah Internasional

Seniman Muda Pentaskan Opera Tamanggung Marukuh

Semangat seniman Kalimantan Tengah (Kalteng) melestarikan budaya lokal tak pernah padam. Salah satunya melalui pagelaran opera Tamanggung Marukuh; cerita rakyat dari Kabupaten Katingan. Pemain dalam pentas seni ini semuanya merupakan anak-anak milenial. Mereka sukses memainkan perannya masing-masing hingga membuat penonton berdecak kagum.

PUTRI-IRPAN, Palangka Raya

OPERA Tamanggung Marukuh merupakan pertunjukan yang disutradarai oleh Arbendi I Tue dan Misnawati. Pementasan ini berlangsung di TPT Taman Budaya Jalan Tamanggung Tilung XIII, Palangka Raya, Sabtu malam (28/5). Cerita Tamanggung Marukuh sengaja diangkat oleh sutradara, karena merupakan legenda dari Tumbang Samba, Kabupaten Katingan.

Ada tujuh pemeran utama dalam pementasan tersebut. Mereka adalah Aldrin Ridob Hindo sebagai Tamanggung Marukuh, Sesa Ajulita sebagai Putir Tempun Tihawun, Klinton Sahputra Sitorus sebagai Tamanggung Maruh, Sirina Olimpia sebagai Karing Bawin Kamiak, Yulia Enriati sebagai Mina Nyai Tamamang, Ricka Ronanti sebagai Darung Pukung Pahilep, dan Piping Arianti sebagai Kameloh Bawin Kariau.

Opera ini mengisahkan tentang perjuangan Tamanggung Marukuh untuk mendapatkan kembali anak perempuannya yang bernama Putri Putir Tempun Tihawun. Tamanggung Marukuh harus melakukan ritual untuk bisa mengeluarkan putri dari Lawang Salaka yang berukirkan bulan dan matahari. Setelah 17 tahun melakukan ritual, akhirnya sang putri bisa keluar dari papan Lawang Salaka. Kemudian Tamanggung Marukuh dan putrinya itu pergi untuk memulai kehidupan baru.

Kisah ini dimulai dari Tamanggung Maruh yang merasakan kekuatan yang ia memiliki masih belum cukup. Ia pun meminta saran dari istrinya, Karing Bawin Kamiak. Istrinya mengatakan bahwa kekuatan bisa didapatkan dari sang penguasa kegelapan abadi atau Darung Pukung Pahliep, asalkan ada gadis perawan yang dijadikan tumbal.

Karing Bawing Kamiak lantas membantu Tamanggung Maruh untuk mencari gadis perawan dengan mengerahkan pasukan Kambe. Namun persembahan yang dibawakan Tamanggung Maruh dianggap masih kurang. Karena yang diincar Darung Pukung Pahilep adalah Putri Putir Tempun Tihawun yang memiliki urat leher yang memancarkan 12 gurat anak naga.

Untuk membantu sang suami mendapatkan kekuatan tiada tanding itu, mau tak mau Karing Bawin Kamiak mesti menangkap Putri Putir Tempun Tihawun, yang tak lain merupakan anak dari saudara suaminya itu.

Baca Juga :  Pasutri di Kobar Kompak Mencuri, Ada 13 Motor Diamankan

Sementara itu, Tamanggung Marukuh pergi berperang setelah mendapat kabar buruk dari Kalang Tanjung Parei Malentang yang diserang dengan brutal oleh pasukan asang dari Kalangkang Manunjung Letang. Sang putri tinggal di rumah. Selama ditinggal pergi ayahnya, Putir Tempun Tihawun merasa sedih melihat keadaan dunia yang seperti meminta tumbal darah dan kepala manusia karena dikuasai oleh kegelapan.

Kemudian datanglah Karing Bawin Kamiak dan Tamanggung Maruh beserta pasukan kambenya untuk menculik sang putri. Karena pasukan yang dibawa Karing Bawin Kamiak lebih banyak, orang-orang yang ditugaskan Tamanggung Marukuh untuk menjaga putri tak bisa berbuat banyak. Putri Putir Tempun Tihawun akhirnya dibawa oleh pasukan kambe yang dipimpin Tamanggung Maruh dan Karing Bawin Kamiak.

Setelah menculik sang putri, Tamanggung Maruh bersama istrinya melakukan ritual untuk memanggil Darung Pukung Pahilep. Sang penguasa kegelapan abadi itu langsung menghampiri Putir Tempun Tihawun seperti orang kesurupan sembari menaburkan ajian. Kemudian ia membawa Putir Tempun Tihawun ke dalam bayangan, berbuat asusila dan memakannya. Setelah ritual berhasil dilaksanakan, Tamanggung Maruh pun mendapatkan kekuatan yang diinginkan.

Kemudian datang Temanggung Marukuh bersama Mina Nyai Tamanang untuk menemui Tamanggung Maruh dan istrinya. Terjadilah pertempuran sengit. Tamanggung Maruh dan Karing Bawin Kamiak kalah. Namun sang Putri Putir Tempun Tihawun meninggal karena ritual itu. Demikian gambaran besar alur opera Tamanggung Marukuh yang dipentaskan di Taman Budaya, Jalan Temanggung Tilung, Palangka Raya.

Arbendi I Tue selaku sutradara menjelasakan, tujuan utama pementasan ini adalah untuk mengangkat cerita daerah yang belum banyak diketahui generasi milenial, sekaligus untuk menggugah hati generasi muda masa kini untuk mengenal budaya lokal.  

“Anak muda masa kini sudah terpengaruh budaya barat, seperti K-pop. Oleh sebab itu, dengan adanya pementasan teater ini, kami ingin memperkenalkan kembali cerita-cerita rakyat Kalteng yang jumlahnya mungkin ribuan,” ucap Arbendi.

Pementasan kali ini, kata Arbendi, melibatkan 34 orang sebagai pemain dan 26 orang tim produksi. Seluruh aktor merupakan mahasiswa-mahasiswi Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia. Sedangkan tim produksi dan tim sutrada berasal dari seniman yang berada di bawah naungan Pajawan Tingang Productukn dan dibantu Sanggar Darung Tingang. Pihaknya berharap ke depannya masih ada kesempatan untuk mementaskan kembali opera yang bersumber dari kisah atau cerita rakyat bernuansa budaya Dayak.

Baca Juga :  Cegah Wabah PMK, Percepat Vaksinasi dan Pemberian Obat

“Saya bermimpi seni budaya dan sejarah lokal Dayak makin dikenal luas oleh generasi masa kini, bahkan berharap ke depannya bisa membawa pementasan ini ke kancah internasional,” ungkap seniman muda itu.  

Opera Tamanggung Marukuh yang diilhami dari salah satu legenda besar suku Dayak Katingan ini, lanjut Arbendi, tidak banyak orang yang mengenal. Atas dasar itulah ia mendorong daya imajinasi, menciptakan naskah, dan menggelar pertunjukkan ini agar bisa dikenal oleh generasi pewaris budaya.

Lebih lanjut dikatakannya, persiapan pementasan opera ini memakan waktu yang sangat lama dan panjang. Kurang lebih sejak bulan Februari. Mengingat tidak semua pemain memiliki basic yang sama. Karena itu koreografer bekerja keras dan perlu waktu untuk memberikan latihan.   

“Ada beberapa pemain yang belum pernah mentas, sehingga tidak heran masih ada yang tidak mengenal tempo saat menari,” ucap koreografer Salmakiyah.

Ia menyebut, selama masa persiapan mereka melakukan latihan tiap hari di Taman Budaya dan Thater Tunas PBSI. Salma juga mengatakan, ada kejadian-kejadian tidak diduga selama proses latihan. Salah satunya saat H-2 acara, ada beberapa pemain yang mengalami cedera, karena latihan dilakukan saat hujan yang membuat lantai panggung menjadi licin. 

Salah satu pemeran utama opera Tamanggung Marukuh, Aldrin Ridob Hindon mengaku bahwa untuk bisa tampil maksimal dalam pementasan, mereka harus berlatih selama kurang lebih 100 hari lamanya. “Kalau dihitung, kami sudah mempersiapkan pentasan ini 100 hari lebih, karena sudah dipersiapkan sejak Febuari,” ujarnya.

Sementara, Sesa Ajulita mengaku kesulitan untuk memerankan Putri Putir Tempun Tihaun, anak dari Tamanggung Marukuh, karena dituntut harus menghapal dialog yang panjang serta mengingat posisi blocking yang tepat dalam sejumlah adegan. (*/ce/ala/ko)

Seniman Muda Pentaskan Opera Tamanggung Marukuh

Semangat seniman Kalimantan Tengah (Kalteng) melestarikan budaya lokal tak pernah padam. Salah satunya melalui pagelaran opera Tamanggung Marukuh; cerita rakyat dari Kabupaten Katingan. Pemain dalam pentas seni ini semuanya merupakan anak-anak milenial. Mereka sukses memainkan perannya masing-masing hingga membuat penonton berdecak kagum.

PUTRI-IRPAN, Palangka Raya

OPERA Tamanggung Marukuh merupakan pertunjukan yang disutradarai oleh Arbendi I Tue dan Misnawati. Pementasan ini berlangsung di TPT Taman Budaya Jalan Tamanggung Tilung XIII, Palangka Raya, Sabtu malam (28/5). Cerita Tamanggung Marukuh sengaja diangkat oleh sutradara, karena merupakan legenda dari Tumbang Samba, Kabupaten Katingan.

Ada tujuh pemeran utama dalam pementasan tersebut. Mereka adalah Aldrin Ridob Hindo sebagai Tamanggung Marukuh, Sesa Ajulita sebagai Putir Tempun Tihawun, Klinton Sahputra Sitorus sebagai Tamanggung Maruh, Sirina Olimpia sebagai Karing Bawin Kamiak, Yulia Enriati sebagai Mina Nyai Tamamang, Ricka Ronanti sebagai Darung Pukung Pahilep, dan Piping Arianti sebagai Kameloh Bawin Kariau.

Opera ini mengisahkan tentang perjuangan Tamanggung Marukuh untuk mendapatkan kembali anak perempuannya yang bernama Putri Putir Tempun Tihawun. Tamanggung Marukuh harus melakukan ritual untuk bisa mengeluarkan putri dari Lawang Salaka yang berukirkan bulan dan matahari. Setelah 17 tahun melakukan ritual, akhirnya sang putri bisa keluar dari papan Lawang Salaka. Kemudian Tamanggung Marukuh dan putrinya itu pergi untuk memulai kehidupan baru.

Kisah ini dimulai dari Tamanggung Maruh yang merasakan kekuatan yang ia memiliki masih belum cukup. Ia pun meminta saran dari istrinya, Karing Bawin Kamiak. Istrinya mengatakan bahwa kekuatan bisa didapatkan dari sang penguasa kegelapan abadi atau Darung Pukung Pahliep, asalkan ada gadis perawan yang dijadikan tumbal.

Karing Bawing Kamiak lantas membantu Tamanggung Maruh untuk mencari gadis perawan dengan mengerahkan pasukan Kambe. Namun persembahan yang dibawakan Tamanggung Maruh dianggap masih kurang. Karena yang diincar Darung Pukung Pahilep adalah Putri Putir Tempun Tihawun yang memiliki urat leher yang memancarkan 12 gurat anak naga.

Untuk membantu sang suami mendapatkan kekuatan tiada tanding itu, mau tak mau Karing Bawin Kamiak mesti menangkap Putri Putir Tempun Tihawun, yang tak lain merupakan anak dari saudara suaminya itu.

Baca Juga :  Pasutri di Kobar Kompak Mencuri, Ada 13 Motor Diamankan

Sementara itu, Tamanggung Marukuh pergi berperang setelah mendapat kabar buruk dari Kalang Tanjung Parei Malentang yang diserang dengan brutal oleh pasukan asang dari Kalangkang Manunjung Letang. Sang putri tinggal di rumah. Selama ditinggal pergi ayahnya, Putir Tempun Tihawun merasa sedih melihat keadaan dunia yang seperti meminta tumbal darah dan kepala manusia karena dikuasai oleh kegelapan.

Kemudian datanglah Karing Bawin Kamiak dan Tamanggung Maruh beserta pasukan kambenya untuk menculik sang putri. Karena pasukan yang dibawa Karing Bawin Kamiak lebih banyak, orang-orang yang ditugaskan Tamanggung Marukuh untuk menjaga putri tak bisa berbuat banyak. Putri Putir Tempun Tihawun akhirnya dibawa oleh pasukan kambe yang dipimpin Tamanggung Maruh dan Karing Bawin Kamiak.

Setelah menculik sang putri, Tamanggung Maruh bersama istrinya melakukan ritual untuk memanggil Darung Pukung Pahilep. Sang penguasa kegelapan abadi itu langsung menghampiri Putir Tempun Tihawun seperti orang kesurupan sembari menaburkan ajian. Kemudian ia membawa Putir Tempun Tihawun ke dalam bayangan, berbuat asusila dan memakannya. Setelah ritual berhasil dilaksanakan, Tamanggung Maruh pun mendapatkan kekuatan yang diinginkan.

Kemudian datang Temanggung Marukuh bersama Mina Nyai Tamanang untuk menemui Tamanggung Maruh dan istrinya. Terjadilah pertempuran sengit. Tamanggung Maruh dan Karing Bawin Kamiak kalah. Namun sang Putri Putir Tempun Tihawun meninggal karena ritual itu. Demikian gambaran besar alur opera Tamanggung Marukuh yang dipentaskan di Taman Budaya, Jalan Temanggung Tilung, Palangka Raya.

Arbendi I Tue selaku sutradara menjelasakan, tujuan utama pementasan ini adalah untuk mengangkat cerita daerah yang belum banyak diketahui generasi milenial, sekaligus untuk menggugah hati generasi muda masa kini untuk mengenal budaya lokal.  

“Anak muda masa kini sudah terpengaruh budaya barat, seperti K-pop. Oleh sebab itu, dengan adanya pementasan teater ini, kami ingin memperkenalkan kembali cerita-cerita rakyat Kalteng yang jumlahnya mungkin ribuan,” ucap Arbendi.

Pementasan kali ini, kata Arbendi, melibatkan 34 orang sebagai pemain dan 26 orang tim produksi. Seluruh aktor merupakan mahasiswa-mahasiswi Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia. Sedangkan tim produksi dan tim sutrada berasal dari seniman yang berada di bawah naungan Pajawan Tingang Productukn dan dibantu Sanggar Darung Tingang. Pihaknya berharap ke depannya masih ada kesempatan untuk mementaskan kembali opera yang bersumber dari kisah atau cerita rakyat bernuansa budaya Dayak.

Baca Juga :  Cegah Wabah PMK, Percepat Vaksinasi dan Pemberian Obat

“Saya bermimpi seni budaya dan sejarah lokal Dayak makin dikenal luas oleh generasi masa kini, bahkan berharap ke depannya bisa membawa pementasan ini ke kancah internasional,” ungkap seniman muda itu.  

Opera Tamanggung Marukuh yang diilhami dari salah satu legenda besar suku Dayak Katingan ini, lanjut Arbendi, tidak banyak orang yang mengenal. Atas dasar itulah ia mendorong daya imajinasi, menciptakan naskah, dan menggelar pertunjukkan ini agar bisa dikenal oleh generasi pewaris budaya.

Lebih lanjut dikatakannya, persiapan pementasan opera ini memakan waktu yang sangat lama dan panjang. Kurang lebih sejak bulan Februari. Mengingat tidak semua pemain memiliki basic yang sama. Karena itu koreografer bekerja keras dan perlu waktu untuk memberikan latihan.   

“Ada beberapa pemain yang belum pernah mentas, sehingga tidak heran masih ada yang tidak mengenal tempo saat menari,” ucap koreografer Salmakiyah.

Ia menyebut, selama masa persiapan mereka melakukan latihan tiap hari di Taman Budaya dan Thater Tunas PBSI. Salma juga mengatakan, ada kejadian-kejadian tidak diduga selama proses latihan. Salah satunya saat H-2 acara, ada beberapa pemain yang mengalami cedera, karena latihan dilakukan saat hujan yang membuat lantai panggung menjadi licin. 

Salah satu pemeran utama opera Tamanggung Marukuh, Aldrin Ridob Hindon mengaku bahwa untuk bisa tampil maksimal dalam pementasan, mereka harus berlatih selama kurang lebih 100 hari lamanya. “Kalau dihitung, kami sudah mempersiapkan pentasan ini 100 hari lebih, karena sudah dipersiapkan sejak Febuari,” ujarnya.

Sementara, Sesa Ajulita mengaku kesulitan untuk memerankan Putri Putir Tempun Tihaun, anak dari Tamanggung Marukuh, karena dituntut harus menghapal dialog yang panjang serta mengingat posisi blocking yang tepat dalam sejumlah adegan. (*/ce/ala/ko)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/