PALANGKA RAYA-14 dari ratusan warga pemegang sertifikat hak milik (SHM) mendatangi Polda Kalteng untuk mengadukan kasus dugaan penyerobotan dan perusakan lahan di Jalan Badak ujung, Rabu (30/8). Ada empat orang yang dilaporkan, dengan inisial R, J, K, dan satu orang belum diketahui identitasnya.
Para pemilik lahan ber-SHM sudah tak tahan lagi dengan ulah keempat orang tersebut yang mengklaim sepihak tanah milik mereka yang sudah sah di mata negara. Warga menduga, penyerobotan dan perusakan itu dilakukan oleh orang yang disebut-sebut mafia tanah. Polemik itu sudah terjadi sedari 2010 lalu. Namun, mulai tahun ini terlapor nekat melakukan pembersihan lahan.
Kuasa hukum warga, Sitmar HI Anggen mengatakan, laporan pengaduan polisi telah dibuat pihaknya dan diserahkan ke Ditreskrimum Polda Kalteng. Untuk memperkuat laporan itu, Sitmar menyertakan berbagai bukti berupa dokumen kepemilikan lahan kliennya dan bukti kronologi kejadian penyerobotan lahan.
“Kami melaporkan dugaan tindak pidana terkait penyerobotan lahan, perusakan lahan, dan penggunaan surat palsu untuk menguasai lahan milik para klien yang ada di simpang tiga Jalan Badak ujung dan lingkar luar, Kelurahan Bukit Tunggal, Palangka Raya,” ungkapnya.
“Ada empat orang yang kami laporkan,” tambahnya.
Adapun sebagai bukti kepemilikan tanah tersebut, lanjut Sitmar, para warga memiliki bukti SHM yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Palangka Raya tahun 2001 hingga 2006.
Sedangkan sejarah tanah itu sendiri awalnya merupakan tanah milik negara yang kemudian dilimpahkan oleh Pemko Palangka Raya kepada Dinas Kesehatan Palangka Raya melalui surat SK Wali Kota Madya Palangka Raya tertanggal 25 September 1989.
Pihak Dinas Kesehatan Palangka Raya mengambil langkah untuk membuat kaveling, lalu dibagikan kepada para pegawai negeri di lingkungan dinas tersebut melalui pembelian secara kredit.
“Sebagai bukti kepemilikan tanah itu, pihak dinas membuatkan sertifikat tanah di BPN,” bebernya.
Sitmar menambahkan, setelah tanah kavelingan tersebut bersertifikat dan resmi dimiliki oleh para warga, mereka rajin membersihkan dan merawat lahan tersebut sebagai bukti penguasaan lahan.
“Para klien kami rajin membersihkan, termasuk membuat batas parit dan plang di atas tanah masing-masing,” jelas Sitmar sembari menyebut bahwa seluruh kliennya sudah memiliki tanah tersebut sesuai dengan tata cara dan aturan hukum yang berlaku.
“Eh, tiba-tiba para terlapor itu mengaku mereka pemilik tanah di tempat tersebut,” kata Sitmar.
Tidak hanya mengklaim sebagai pemilik lahan, tutur Sitmar, keempat orang tersebut juga saat ini sudah menguasai seluruh kavelingan milik kliennya.
“Mereka sudah mengekskavator dan mendirikan berbagai bangunan di atas tanah klien kami,” katanya lagi.
Sampai saat ini pihaknya sendiri tidak pernah mengetahui secara jelas dasar hukum dari klaim kepemilikan tanah yang dimiliki oleh keempat orang tersebut. Beberapa kali telah diadakan mediasi di Kelurahan Bukit Tunggal antara kliennya dengan para pihak terlapor untuk menyelesaikan masalah ini. Namun pihak terlapor tidak pernah mau memperlihatkan dasar hukum berupa bukti surat kepemilikan tanah atau alas hak yang dimiliki.
“Mereka tidak pernah mau memperlihatkan alas hak atau warkah yang mereka punya,” ujar Sitmar.
Karena itu pihaknya menduga ada unsur pidana pemalsuan surat yang dilakukan oleh pihak terlapor.
Selain menguasai kavelingan milik 14 orang warga yang menjadi kliennya, diduga keempat orang terlapor itu juga menguasai kavelingan milik ratusan warga lain yang ada di area sekitar yang sudah ber-SHM.
Demi memperjuangkan hak atas tanah milik, 14 warga ini pun memutuskan untuk melaporkan kasus penyerobotan tanah tersebut ke Polda Kalteng.
“Kami berharap pihak kepolisian bisa segera menindaklanjuti laporan penyerobotan tanah ini, karena kasus ini menyangkut hak orang banyak. Kami minta polisi segera memeriksa para terlapor. Jika ada unsur penyerobotan tanah dan pidana pemalsuan surat tanah, tolong polisi segera menindak,” tegasnya. (sja/ce/ram)