Site icon KaltengPos

Mengikuti Kegiatan Donasi Literasi di Tanjung Pusaka (2)

MEMPRIHATINKAN: Murid-murid SDN 1 Tanjung Pusaka antusias menunggu kedatangan tim Donasi Literasi, Sabtu (3/7). Foto: ANISA/KALTENG POS

Menikmati fasilitas pendidikan yang layak merupakan hak bagi setiap anak di negeri ini. Namun dalam realitanya masih banyak sekolah yang terbilang jauh dari layak. Terutama di wilayah-wilayah pelosok. Tak terkecuali SDN 1 Tanjung Pusaka.

ANISA B WAHDAH, Pulang Pisau

SDN 1 Tanjung Pusaka merupakan satu-satunya fasilitas pendidikan di desa yang tidak berlistrik dan jaringan internet ini. Tak ada TK, SMP, dan SMA. Sekolah ini didirikan pada 1983 lalu. Penulis bersama tim donasi literasi yang mendatangi sekolah tersebut pada Sabtu (3/7), merasa cukup prihatin.

Bangunan sekolah berdinding dan beralas kayu memang banyak ditemui di Kalteng ini. Namun kondisi SDN 1 Tanjung Pusaka sangatlah memprihatinkan. Atap berlubang. Cat pun sudah kusam. Dinding dan lantai pun sudah jebol. Lebih parah dari kata rapuh.Kondisi kerusakan berat ini sudah berlangsung enam tahun, tepatnya 2015 lalu.

Belum pernah dilakukan perbaikan hingga saat ini. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala SDN 1 Tanjung Pusaka, Desa Tanjung Taruna, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau (Pulpis) Dino Efraim Kasegah mengaku, sejak pertama kali ditempatkan di SDN 1 Tanjung Pusaka pada 2005 lalu, belum pernah ada renovasi bangunan sekolah.

“Sejak 2005 hingga saat ini memang tidak pernah dilakukan renovasi berat, hanya pernah dilakukan perbaikan atap saja, kondisi rusak parah sudah sejak 2015 lalu dan tidak dilakukan perbaikan hingga sekarang,” katanya saat dibincangi di sela-sela kegiatan tim Donasi Literasi.

Sekolah yang terletak di tepi Sungai Kahayan itu luasannya pun makin berkurang. Tanah yang awalnya memiliki pajang 75 meter kini tersisa sekitar 55 meter akibat kikisan air sungai. Sejak awal didirikan hingga saat ini sekolah itu hanya memiliki tiga ruang kelas.“Kami membagi kelas dari tiga ruangan yang ada itu, satu ruangan disekat sehingga jadi dua ruang kelas,” katanya kepada Kalteng Pos.

Dikatakan Dino, tahun tidak ada kelas 4. Yang ada hanya kelas 1,2,3,5, dan 6. Sebab, empat tahun lalu tidak ada murid baru yang mendaftar ke sekolah ini. Itu merupakan hal biasa. Selama ini SDN 1 Tajung Pusaka memang tak pernah memiliki banyak peserta didik.

“Semenjak saya bertugas di sekolah ini 2005 lalu, tidak pernah mendapati satu kelas itu dihuni oleh lebih dari sepuluh murid, kecuali kelas enam yang tahun ini lulus, jumlah mereka sebelas orang,” ucap Dino.Pria yang ramah dan suka bercanda ini menyebut, selama ini jumlah peserta didik dalam satu kelas hanya dua hingga empat murid saja. Total murid SDN 1 Tanjung Pusaka tahun ini 14 orang. Awalnya 20 orang, 11 murid telah lulus. Ada lima murid baru pada penerimaan tahun ini. Sehingga totalnya 14 murid saat ini.“Pernah terjadi dalam satu kelas hanya ada satu orang saja, karena memang hanya ada satu pendaftar, kondisi desa yang memang hanya ada satu anak saja yang memiliki cukup usia untuk masuk jenjang SD,” tegas dia.

Dino diangkat menjadi Plt Kepala Sekolah SDN Tanjung Pusaka sejak 2017 lalu. Berdasarkan pangkat, semestinya ia belum bisa menduduki jabatan sebagai kepala sekolah. Namun karena kepala sekolah sebelumnya pensiun, ia pun diangkat menempati posisi jabatan untuk eselon IIIa itu.“Awal bertugas di sekolah ini, saya menetap di sini selama dua tahun, tapi kemudian saja putuskan tinggal di Palangka Raya, tiap hari pulang pergi Palangka Raya-Pulang Pisau,” ujarnya.Hal serupa juga dilakukan rekan guru. Semua guru di sekolah ini berasal dari Kota Palangka Raya.

Ada empat guru PNS dan satu guru honorer.“Walau kondisi seperti ini, saya masih betah mengajar di sini, karena saya sayang sama anak-anak, dan saya bangga menjadi seorang guru,” tegas dia.Pihaknya mengucapkan terima kasih atas bantuan dan kepedulian tim Donasi Literasi yang rela datang ke desa yang aksesnya cukup sulit. “Harapan kami bantuan yang diberikan ini dapat memberi manfaat kepada anak-anak kami,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua RT III Tanjung Taruna Sino mengatakan, wilayah Tanjung Pusaka awalnya bagian dari Desa Tumbang Nusa. Karena ada pemekaran, lalu masuk dalam wilayah administrasi Desa Tanjung Taruna. Tanjung Pusaka ini hanya memiliki panjang wilayah 400 meter saja. Semua rumah warga berdiri di bantaran Sungai Kahayan.“Tidak ada rumah lagi selain di 400 meter ini, ada rumah di sisi kanan dan kiri sepanjang jalan 400 meter ini, hanya ada 46 KK seluruhnya,” katanya saat dibincangi.

Mata pencaharian sebagian besar masyarakat desa ini sebagai nelayan. Mengambil sumber daya alam berupa ikan dari Sungai Kahayan, dikumpulkan pada satu orang, lalu dikirim ke Kota Palangka Raya. Sungguh sebuah kehidupan yang serbakurang. Mulai dari kurang listrik hingga kurang air bersih.“Kami tidak ada listrik, untuk penerangan mengandalkan tenaga surta bantuan pemerintah tujuh tahun lalu, tapi sudah banyak yang rusak, sebagian warga ada yang sudah memiliki genset,” bebernya.

Masyarakat desa ini mengandalkan air sungai untuk keperluan harian. Seperti mencuci baju dan piring. Sedangkan untuk konsumsi, air bersih dibeli dari penjual air bersih yang menjajakan dagangan air di kelotok setiap Sabtu dan Minggu.“Jadi setiap Sabtu dan Minggu ada yang menjual air bersih menggunakan kelotok, kami beli air itu khusus untuk makan dan minum, selebihnya menggunakan air sungai ini,” ujarnya.

Pihaknya sudah beberapa kali mengajukan ke pemerintah untuk pengadaan listrik. Namun hingga saat ini belum ada tanggapan. Meski hidup di tengah kekurangan, masyarakat di tempat ini masih bisa mendapatkan pelayanan kesehatan berkat adanya puskesmas pembantu (pustu).

“Ada pustu dan posyandu aktif, masyarakat yang sakit bisa berobat ke pustu, jika ada warga yang mau melahirkan, selalu ada bidan yang datang ke rumah warga,” ujar pria yang sudah menetap di Tanjung Pusaka ini sejak 1986 lalu.

Apabila memerlukan perawat khusus atau rawat inap, warga harus menyeberangi sungai untuk sampai di Puskesmas Jabiren. Begitu pun jika ada warga yang meninggal. Proses pemakaman harus menyeberang sungai menggunakan kelotok.“Di sini tidak ada kuburan, jika ada warga yang meninggal, dimakamkan di seberang, jadi harus menyeberang menggunakan kelotok,” pungkasnya. (*/ce/ala)

Exit mobile version