Sementara itu, Roby Cahyadi, S.H. selaku penasihat hukum terdakwa Bijuri mengatakan, meski ada rasa kecewa atas putusan majelis hakim, tapi pihaknya masih bisa memaklumi.
“Klien kami (Bijuri, red) kecewa dengan kepala sekolah dan pengawas. Selebihnya kami bisa memaklumi,” ujar Roby Cahyadi.
Roby menambahkan, kliennya merasa kecewa atas keterangan yang disampaikan kepala sekolah SDN-1 Sampirang 1 dan pengawasan sekolah yang terkesan menyudutkan. Yang menjadi keberatan, antara lain bahwa terdakwa Bijuri sudah diberhentikan sesuai keputusan Bupati Barito Utara tentang penjatuhan hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai negeri sipil kepada Bijuri tanggal 30 April 2021, sehingga hak-hak terdakwa menerima gaji pokok juga dihentikan.
“Terdakwa Bijuri sudah mendapat hukuman disiplin berat berupa pemberhentikan sebagai PNS karena tidak mengajar, sehingga tidak perlu lagi dihukum,” terang Roby Cahyadi.
Selain itu, berdasarkan temuan auditor Inspektorat Batara, seharusnya terdakwa Bijuri diberhentikan pada 2016. Namun justru baru diberhentikan pada 2021. Alasan Bijuri tidak mengajar lantaran SDN-1 Sampirang 1 tidak beroperasional secara layak sejak 2016 hingga 2019, karena tak ada lagi warga yang tinggal di Desa Sampirang I.
Roby menyebut bahwa pihaknya akan memanfaatkan kesempatan yang diberikan majelis hakim selama tujuh hari untuk membuat pertimbangan, sebelum memutuskan menerima atau mengajukan banding atas vonis majelis hakim terhadap kliennya.
“Putusan majelis hakim sudah lebih ringan dari tuntutan JPU, sehingga kami akan pikir-pikir selama tujuh hari, apakah menerima atau melakukan upaya hukum banding,” pungkasnya. (sja/ce/ala)