PALANGKA RAYA-Insiden kecelakaan kerja di PT Mineral Palangka Raya Prima (MPP) yang menewaskan satu karyawan menjadi sorotan. Kejadian tersebut menguak berbagai permasalahan, mulai dari keberadaan tenaga kerja asing (TKA) hingga persoalan perizinan yang diduga belum beres. Hal ini membuat Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalteng turun ke lokasi.
Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalteng Vent Christway mengatakan, pihaknya telah melakukan kunjungan lapangan terkait rencana kegiatan industri barang galian bukan logam lainnya pada PT MPP di Desa Lahei Mangkutub, Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas pada Jumat (16/7). “DLH melakukan pertemuan dengan pihak perangkat desa serta kunjungan dan wawancara lapangan di lokasi kegiatan,” kata Vent Christway kepada Kalteng Pos, Minggu (18/7).
Alhasil ditemukan beberapa fakta umum. Antara lain mengenai badan usaha (PT MPP) kegiatan bidang usaha industri barang galian bukan logam dan kegiatan lainnya, status permodalan (PMDN), serta luas area perencanaan lahan 120.000 m2 atau 12 hektare.
“Selain itu, hasil pengecekan tim di lapangan, diketahui bahwa PT MPP memiliki izin lokasi yang telah memenuhi komitmen dari lembaga OSS, izin usaha industri dan surat izin usaha perdagangan (SIUP), tapi saat diverifikasi, diketahui bahwa perusahaan itu belum bisa menunjukkan dokumen terkait izin lokasi, izin usaha industri, dan surat izin usaha perdagangan,” terangnya.
Perusahaan memiliki surat izin lingkungan dari ketua pengurus adat Lahei dan diketahui oleh kepala Desa Lahei Mengkutub. Pemrakarsa hanya memiliki perizinan melalui OSS yang belum memenuhi komitmen terkait kegiatan industri barang galian bukan logam.
Ada beberapa fakta ditemukan di lapangan. PT MPP diketahui telah melaksanakan kegiatan pembangunan peralatan dan perlengkapan pabrik pengolahan bahan galian. Lokasi kegiatan tidak dapat dimasuki karena sedang ada kasus kecelakaan kerja yang menimbulkan korban jiwa.
“Evaluasi mengenai pelaksanaan kewajiban khalayak lingkungan, perusahaan telah melaksanakan kegiatan konstruksi tapi belum memiliki dokumen lingkungan sehingga pelaksanaan terhadap kewajiban khalayak lingkungan belum dilakukan,” tegasnya sembari menyebut bahwa pelaksanaan tantangan di lapangan serta fakta diketahui dan dibenarkan oleh pihak perangkat desa dan perwakilan PT MPP.
Pemeriksaan terhadap dokumen lingkungan hidup dan perizinan terkait serta pelaksanaan dan pelaporan RKL-RPL di mana pemeriksa telah mengajukan permohonan arahan penyusunan dokumen lingkungan hidup kepada pemerintah Kabupaten Kapuas melalui DMPTSP.
Kegiatan tersebut merupakan kesimpulan dan rekomendasi, sehingga perlu melakukan peninjauan ke lokasi usaha atau kegiatan untuk memastikan tahap kegiatan yang tengah berlangsung, apakah masih dalam tahap pra-konstruksi atau sudah berjalan.
Apabila hasil peninjauan lapangan menunjukkan bahwa kegiatan belum berjalan, maka pemrakarsa diwajibkan menyusun dokumen analisis mengenai dampak lingungan (Amdal) kategori C dengan lama penyusunan 60 hari. Apabila hasil peninjauan lapangan menunjukkan tahapan kegiatan sedang atau tengah berjalan, maka pemrakarsa diwajibkan menyusun dokumen evaluasi lingkungan hidup (DELH).
Dalam hal ditemukan bahwa kegiatan itu telah berjalan, maka akan dilakukan verifikasi lapangan lebih lanjut terhadap kegiatan usaha oleh instansi lingkungan hidup di daerah sesuai kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup yang ditunjuk membidangi sengketa. Hasil verifikasi akan dituangkan dalam berita acara pengawasan dan laporan hasil pengawasan yang menjadi dasar dalam penetapan sanksi administrasi.
Atas dasar sanksi administrasi, maka pemrakarsa wajib menyusun DELH atau DPLH dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Kewenangan penilaian DELH atau DPLH dan penerbitan persetujuan lingkungan disesuaikan dengan kewenangan penerbitan perizinan berusaha atau persetujuan pemerintah sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang disesuaikan dengan parameter skala industri yang dapat dilihat pada surat izin usaha perdagangan (SIUP) yang dimiliki pemrakarsa sebelumnya serta tingkat risiko kegiatan,” pungkasnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Kepala Bidang Pengawasan Minerba, Energi dan Air Tanah Agus Chandra mengatakan, PT Mineral Palangka Raya Prima (MPP) merupakan perusahaan yang perizinannya dikeluarkan oleh BKPM pusat dan sudah mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB).
Sedangkan untuk kegiatannya, arahnya ke Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus untuk Pengolahan dan atau Pemurnian atau juga disebut IUP OPK Olah Murni. Namun diketahui proses itu belum selesai atau beres, tapi di lapangan perusahaan sudah mulai beraktivitas atau beroperasi.
“Jadi secara legalitas mereka belum memenuhi syarat untuk beroperasi, kapan mereka mulai beroperasi pun tidak ada melaporkan ke kami, dalam artian perusahaan ini masih dalam tahap proses perizinan,” ucap Agus, Kamis (15/7).
Dikatakannya, semenjak terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, per 11 Juni 2020 semua proses perizinan menjadi kewenangan pusat. “Jadi siapa pun yang melakukan permohonan terkait dengan perizinan apa pun, semua sudah melalui pusat, bukan lagi di dinas,” bebernya. (nue/ce/ala)