Untuk proses perekrutan, pola rekrutmen itu sesuai yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Bisa juga mereka (KPU Pusat, red) langsung mengambil dari perwakilan kampus (akademi) dan dipadukan dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lain-lain.
“Kemudian KPU menetapkan tim seleksinya yang prosesnya itu saya lihat menjadi persoalan, saya sering kritik terkait proses penetapan tim seleksi untuk KPU dan Bawaslu,” ucapnya.
Jhon juga memberi catatan terkait proses penetapan tim seleksi yang seringkali dinilai bermasalah. Semestinya rekrutmen tim seleksi dilakukan secara terbuka, bukan hanya komisionernya. Harus ada ruang yang diberikan kepada publik untuk mendaftar menjadi tim seleksi. Namun, yang terjadi selama ini adalah mekanisme otoritatif. Ada kecenderungan tindakan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh KPU pusat dengan meminta sejumlah nama dari daerah untuk menjadi tim seleksi.
“Saya kira sistem rekrutmen seperti ini semestinya sudah tidak lagi dilakukan oleh KPU, kita harus banyak belajar, jika prosesnya tidak transparan, maka hasilnya pun tidak akan baik,” ujarnya.
Ditegaskan Jhon, pilkada dilaksanakan dengan jurdil dan transparan. Dengan demikian, semestinya rekrutmen komisoner juga dilakukan secara transparan, bukan didasarkan kepentingan pihak tertentu.
“Menurut saya, kalau proses itu dilaksanakan secara terbuka, maka melalui tim seleksi ini akan didapatkan komisoner-komisioner yang andal. Saya pikir hal-hal seperti ini perlu disuarakan, sehingga nanti kita punya komisioner yang siap bekerja,” tegas pria yang menjabat Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP Universitas Palangka Raya ini. (abw/ce/ala)