Harry Ponto justru mempertanyakan motif PT TCT mengingkari perjanjian 2010 yang sudah mereka akui dan jalankan sejak 2011. Logikanya, jika perjanjian itu merugikan mereka, sejak menjadi pemilik baru menggantikan PT ATP di tahun 2011, PT TCT mestinya sudah melakukan pembatalan perjanjian 2010. Tapi faktanya itu tidak pernah dilakukan.
“Artinya mereka juga mendapatkan keuntungan dengan perjanjian 2010. Karena itu untuk kepastian hukum atas masalah ini PT AGM menggugat PT TCT terkait perjanjian 2010 itu di Pengadilan Negeri Tapin. Saat ini proses persidangan telah berjalan,” katanya.
Harry juga menyayangkan langkah-langkah PT TCT yang mempidanakan pegawai PT AGM ke Polda Kalsel. Padahal tanah di jalan hauling KM 101 Tapin yang menjadi dasar laporan itu sudah terikat dalam perjanjian 2010.
Akibat laporan PT TCT itu Polda Kalsel menerbitkan police line di lokasi tanah dalam perjanjian 2010. Hal itu kemudian diikuti pemasangan portal dan kendaraan milik PT TCT di lokasi yang sama.
Menurut Harry, police line dan blokade oleh PT TCT di KM 101 itu justru menjadi kerugian besar bagi ekonomi Indonesia. Di tengah upaya Presiden Jokowi untuk memulihkan ekonomi akibat Covid-19, pemasangan police line justru berpotensi mematikan ekonomi masyarakat setempat yang menggantungkan hidup mereka dari PT AGM.
“Ada ribuan pekerja dan ribuan keluarga yang kini tanpa penghasilan akibat jalan hauling tidak bisa dilewati. Karena PT TCT mempermasalahkan keberlakuan perjanjian 2010, AGM telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Rantau pada 24 November 2021. Karena permasalahan berlaku tidaknya Perjanjian 2010 sedang disengketakan, sudah selayaknya Polda Kalsel tidak meneruskan penyidikan perkara ini sambil menunggu putusan atas gugatan dimaksud,” tutupnya. (hms/ala)