Petani di Desa Kantan Atas yang sebelumnya menanam padi, kini juga menjatuhkan pilihan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. “Dahulu kalau musim kemarau kami membuka lahan dengan cara dibakar, setelah itu ditanami padi, tapi sekarang beralih ke perkebunan kelapa sawit,” kata Sekretaris MPA Desa Kantan Atas, Stevanus Parwudi.
Terlebih produksi padi di wilayah tersebut terbilang rendah. “Sebagus-bagusnya padi di sini (Kantan Atas), produksinya tak sampai dua ton per hektare. Jika dibandingkan dengan kelapa sawit, pendapatan petani dari mengembangkan kebun kelapa sawit tentunya lebih baik, apalagi saat ini harga kepala sawit sangat bagus,” kata dia.
Dia mengaku, masyarakat Desa Kantan Atas mengenal budi daya kelapa sawit sejak 2008 lalu. Karena desa tersebut sebelumnya menjadi tempat pembibitan kelapa sawit dan sebagian besar masyarakat pernah bekerja di perkebunan kelapa sawit.
“Begitu ada larangan membakar lahan, masyarakat atau petani tertarik ke sawit, karena mereka sudah memiliki pengalaman,” tuturnya.
Menurut dia, budi daya padi juga memiliki kelemahan. “Padi itu tanaman yang tidak bisa membiayai dirinya sendiri. Kalau kelapa sawit dan karet bisa membiayai dirinya sendiri. Jadi produksi sawit bisa dibelikan pupuk dan herbisida untuk perawatan. Karena itu, menurut kami kelapa sawit lebih menguntungkan,” tandasnya.
Kendati demikian, masyarakat dan MPA di tiga desa tersebut selalu mengantisipasi ancaman kebakaran lahan di wilayah mereka. Termasuk rutin melakukan pengecekan dan perawatan terhadap sumur bor. (*/ce/ala)