Bayu mengatakan, jika hasil audit lingkungan nanti menyatakan daya dukung dan daya tampung lingkungan tidak dapat terpenuhi, maka perizinan dan kegiatan proyek harus dihentikan untuk mencegah bertambah parahnya kerusakan lingkungan.
Selain melakukan audit lingkungan, lanjut Bayu, Walhi juga menyarankan upaya mempertahankan hutan alam dan wilayah gambut yang tersisa harus dilakukan oleh pemerintah. Salah satunya dengan tidak memberikan izin baru terkait perubahan status kawasan hutan untuk pembukaan hutan.
Pemulihan lingkungan ini, dikatakan Bayu, harus dilakukan secara serius oleh pemerintah, termasuk kegiatan penanaman kembali hutan-hutan kritis yang menjadi benteng terakhir pencegah bencana ekologis harus makin diperluas dan dimasifkan. “Pemulihan ekosistem penting seperti kawasan hutan rawa, gambut, dan mangrove, itu menjadi bagian penting dalam proses pemulihan lingkungan yang harus dilakukan,” pungkasnya.
Pegiat lingkungan lainnya dari Save Our Borneo (SOB), Habibi juga menyoroti hancurnya hutan di Kalteng. Ia mengatakan, hilangnya tutupan hutan di Kalteng ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Faktor paling utama adalah alih fungsi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan HTI. “Selain itu, hilangnya tutupan hutan juga disebabkan kegiatan HPH, pembangunan jalan dan permukiman, kebakaran hutan, dan lain-lain,” kata Habibi kepada Kalteng Pos, Minggu (20/11).
Berdasarkan data Mapbiomas Indonesia, total deforestasi Kalteng selama 2000-2019 seluas 1,9 juta hektare. Rinciannya; Palangka Raya 38.943 ha, Gunung Mas 182.655 ha, Pulang Pisau 140.855 ha, Kapuas 296.257 ha, Katingan 201.663 ha, Kotawaringin Timur 270.554 ha, Seruyan 141.578 ha, Kotawaringin Barat 183.954 ha, Lamandau 166.941 ha, Sukamara 71.826 ha, Barito Selatan 35.206 ha, Barito Timur 50.879 ha, Barito Utara 76.045 ha, dan Murung Raya 51.389 ha.
Habibi mengatakan bahwa Pemprov Kalteng harus bertindak cepat atas kondisi yang terjadi saat ini. Karena di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan terdapat tiga kabupaten/kota.
“Kepada pemerintah sebaiknya melakukan evaluasi izin atau konsesi yang ada, karena pemerintah daerah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk itu,” katanya.
Dari hasil evaluasi akan diketahui perusahaan mana saja yang izinnya tidak sesuai. Jika terbukti, maka bisa ditindak sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku. Selain itu, pemerintah harus setop memberikan izin konsesi. Karena hutan dan lahan yang menjadi penangkap air sudah menurun.
Berdasarkan data dari Mapbiomas Indonesia, sejak 2000 hingga 2019 hutan alam di Palangka Raya hilang seluas 38.943 ha, Gunung Mas hilang 182.655 ha, dan Pulang Pisau hilang 140.855 ha. “Hal ini tentu menjadi perhatian serius pemerintah agar tetap menjaga hutan dan habitatnya tidak rusak,” tuturnya.
Menyikapi hal itu, Wali Kota Palangka Raya Fairid Naparin menyampaikan belum mendengar informasi yang dipaparkan SOB tentang adanya lahan yang hilang sejak 2000 sampai 2019 sebanyak 38.943 ha. Fairid menyebut, belum ada data resmi yang diterima dan disampaikan kepada pihaknya terkait hilangnya fungsi hutan lahan atau berkurangnya lahan di Kota Palangka Raya sejak 2000 hingga 2019.