Belajar dari Malaysia, Replanting Jalan di Tempat
Yeka menyoroti rendahnya produktivitas sawit rakyat, yang hanya 8–10 ton per hektare, jauh dari potensi maksimal 19–20 ton. Ini banyak disebabkan penggunaan benih tidak berkualitas oleh sekitar 70% petani rakyat.
“Kunci perbaikannya adalah replanting, tapi pelaksanaannya sangat lambat. Dana sebenarnya ada di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), tapi eksekusinya tersendat,” jelasnya.
Hingga saat ini, program replanting baru menjangkau 100 ribu hektare per tahun dari total potensi 6 juta hektare lahan sawit rakyat.
Masalah Lahan dan Kritik untuk Satgas PKH
Persoalan klasik lain adalah tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan. Ini menyebabkan sawit Indonesia sulit mendapatkan sertifikasi internasional seperti RSPO, yang membuat harga CPO kalah saing dari Malaysia.
Ombudsman juga menyoroti keberadaan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) yang melibatkan TNI, Polri, dan kejaksaan. Yeka mengingatkan bahwa kesan militeristik bisa memunculkan kebingungan di publik.
“Kalau niatnya membersihkan tata kelola, bagus. Tapi kalau hanya sebatas penyitaan, lalu mau diapakan lahan itu?” kata Yeka.
Yeka juga mempertanyakan rencana menyerahkan lahan hasil sitaan ke BUMN melalui PT Agrinas Palma Nusantara, sementara status lahan masih sebagai kawasan hutan. Ia mengingatkan agar lahan tersebut diputihkan terlebih dahulu dan diubah statusnya menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) agar sah secara hukum.
Usulan: Satgas PKH Diubah Menjadi Badan Sawit Nasional
Sebagai solusi jangka panjang, Ombudsman mendorong agar Satgas PKH diubah menjadi Badan Sawit Nasional yang mengintegrasikan seluruh aspek kebijakan dan pengelolaan sawit. Badan ini juga diusulkan mengelola 8 fungsi strategis, mulai dari regulasi, perizinan, pengawasan, pembinaan petani, hingga hilirisasi industri.
“Tanpa lembaga tunggal yang kuat, persoalan sawit akan terus berulang,” tutup Yeka. (jpg)