LIMA tahun sejak perilisan pertamanya, The Old Guard 2 akhirnya tayang di Netflix. Film ini membawa kembali Charlize Theron sebagai Andy, tetapi sayangnya—sekuel ini gagal mempertahankan energi dan semangat yang menjadikan film pertamanya begitu digemari.
Disutradarai oleh Victoria Mahoney, The Old Guard 2 mencoba mengambil pendekatan yang lebih gelap dan serius. Namun, alih-alih menyegarkan, narasi justru terasa berat dan terlalu filosofis.
Dilansir dari Variety, Andy kini menghadapi krisis besar: ia kehilangan keabadian. Di tengah kebingungannya, muncul kembali Quynh (Veronica Van), sahabat lama yang kini menjadi musuh karena dendam masa lalu.
Kisah makin rumit dengan kehadiran tokoh baru, Discord (Uma Thurman), sosok antagonis yang ingin meraih keabadian dengan cara-cara destruktif—termasuk mengancam reaktor nuklir yang berlokasi di Serpong, Indonesia. Fakta bahwa lokasi fiktif ini memakai latar Jakarta dan Serpong menambah kejutan tersendiri, terutama bagi penonton dari Indonesia.
Sayangnya, karakter Discord terasa janggal dan tidak cukup meyakinkan sebagai ancaman besar. Dialog panjang dan muram membuat alur cerita kurang menggugah emosi.
Beberapa adegan aksi memang mampu menghidupkan kembali ketertarikan—terutama duel sengit antara Andy dan Quynh di gang sempit. Namun secara keseluruhan, konflik emosional yang dihadirkan terasa abstrak dan tidak menyentuh.
Karakter-karakter lama seperti Nile (KiKi Layne), Booker (Matthias Schoenaerts), dan Copley (Chiwetel Ejiofor) kembali tampil, namun tidak mendapatkan pengembangan cerita yang berarti. Tokoh baru seperti Tuah (Henry Golding) pun tampil meyakinkan, tetapi minim sorotan.
Penulisan naskah oleh Greg Rucka dan Sarah L. Walker terlalu fokus pada pesan moral dan eksistensial, namun lupa memberikan keseruan visual yang dulu menjadi kekuatan utama The Old Guard pertama.
Dengan visual standar, alur membingungkan, dan tema keabadian yang diulang-ulang tanpa gebrakan baru, The Old Guard 2 terasa seperti bayangan kusam dari pendahulunya.
Meski membawa nama Indonesia sebagai latar penting dalam film, sayangnya kehadiran Jakarta dan Serpong tidak cukup menyelamatkan film ini dari kritik tajam. (jpg)