Jumat, Juli 5, 2024
23.1 C
Palangkaraya

Integritas, Loyalitas, Intelektualitas dan Profesionalitas Standar Minimum Setiap Jaksa

TERKAIT Konsep Jaksa Ideal, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan harus selalu ingat bahwa gerak-gerik selaku penegak hukum selalu diawasi oleh masyarakat, dimana sebagai penegak hukum di era digital komunikasi bukan lagi masalah. Setiap orang memegang alat komunikasi, dan alat perekam baik suara ataupun video.

“Artinya apapun yang saudara lakukan akan tersebar luas ke masyarakat hanya dalam hitungan detik, dan ingat peradilan yang digelar di media sosial sangat kejam, karena disana tidak ada ruang klarifikasi. Oleh karena itu, saya ingatkan jaga moral dan integritas saudara. Karena hanya dengan menjaga 2 (dua) hal tersebut maka sikap dan perilaku saudara pasti akan terkendali,”ungkap Jaksa Agung

“Maka jaga moral dengan integritas yang tinggi agar tidak tercoreng dengan perbuatan tercela sekecil apapun, jangan sampai tergelincir dan menghancurkan kepercayaan publik kepada institusi kita,” ujar Jaksa Agung. 

Selanjutnya seorang Jaksa harus memiliki loyalitas, yaitu spirit untuk tetap menjaga kesetiaan yang positif kepada institusi, dengan prinsip dasar bahwa loyalitas tertinggi harus didedikasikan pada halhal yang diyakini sebagai kebenaran. Karena jika loyalitas benar-benar terpatri, maka terjadi satu kesatuan sikap positif di dalam institusi.

Jaksa Agung mengatakan, seorang jaksa juga dituntut untuk memiliki intelektual yang tinggi, sehingga mampu berpikir dan bertindak out of the box ketika menemui kendala yang ada, dan mampu membaca arah serta mengendalikan situasi. Termasuk dalam membaca alur perkara, sehingga tidak terjadi adanya penundaan sidang selain karena alasan teknis.

Selain itu terdapat satu sifat mutlak harus dimiliki oleh seorang Jaksa yaitu profesionalitas, dengan profesionalitas yang prima dalam bekerja, maka penegakan hukum yang saudara jalankan akan berhasil dan tidak menimbulkan kegaduhan, serta sinergitas dengan instansi terkait akan harmonis, tegas Jaksa Agung.  

Baca Juga :  Jaksa Menyapa

Contoh penegakan hukum yang tidak mencerminkan profesionalitas adalah kasus yang baru-baru ini terjadi di Kejaksaan Negeri Karawang. Dimana kegagalan memahami esensi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPenghapusan KDRT) telah mencederai rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat sehingga menimbulkan kegaduhan.

Kegaduhan yang terjadi dalam penanganan perkara tersebut setidaknya menunjukan bahwa para Jaksa pertama tidak tunduk dan patuhnya dalam memahami dan melaksanakan pedoman penanganan perkara yang diberikan oleh pimpinan, kedua tidak ada kepekaan hati nurani para Jaksa yang terlihat dari lamanya tuntutan yang dibacakan merupakan wujud dari mengabaikan rasa keadilan masyarakat dan ketiga tidak profesional, karena terlihat Jaksa telah gagal memahami filosofi dari UU-Penghapusan KDRT, yaitu melindungi kaum perempuan dan anak dari kekerasan dalam rumah tangga.

Oleh karenanya, Integritas, loyalitas, intelektualitas dan profesionalitas sudah sepatutnya menjadi standar minimum setiap jaksa. Kolaborasi sifat tersebut akan menjaga marwah institusi, dan melambungkan kepercayaan publik terhadap institusi kita.

“Dan perlu saya ingatkan, bahwa Saya tidak ragu menindak siapa saja yang melakukan perbuatan tercela atau mengkhianati institusi, termasuk jaksa baru sekalipun,” ujar Jaksa Agung. 

Mengenai Kemanfaatan Hukum, Jaksa Agung menyampaikan bahwa menuntut bukan hanya sebatas menghukum orang, namun berat-ringannya suatu hukuman harus berdasarkan rasa keadilan yang berkemanfaatan, dan berpangkal pada hati nurani.

Selain itu, pembuktian bukan hanya fokus kepada pelaku, tetapi juga fokus pada mendudukan barang bukti sesuai fakta persidangan. Sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menuntut terhadap orang dan barang bukti, dengan demikian penuntutan yang dilakukan benar-benar tuntas dan bermanfaat, serta keadilan yang ditegakan tidak menimbulkan permasalahan.

Baca Juga :  Tingkatkan Profesionalitas  dalam Tugas

“Saudara harus ingat, jangan tempatkan keadilan di Menara gading, karena hanya akan indah dilihat tetapi tidak bermanfaat sama sekali bagi masyarakat. Namun sebaliknya, penegakan hukum harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, karena hukum ada untuk menjawab kebutuhan masyarakat, sehingga apabila penegakan hukum dipandang tidak memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, maka itu sama dengan hukum telah kehilangan rohnya,” ujar Jaksa Agung. 

Perintah harian Jaksa Agung poin 2 pada peringatan HBA ke-61 jelas menyebutkan Gunakan hati nurani dalam setiap pelaksanaan tugas dan kewenangan. Perintah tersebut harus menjadi landasan berpikir seorang Adhyaksa agar penegakan hukum yang dilakukan bukan hanya memenuhi nilai kepastian untuk mencapai keadilan, namun juga kemanfaatan dari penerapan hukum itu sendiri untuk mencapai keadilan yang hakiki.

Kalau diperhatikan kasus-kasus seperti nenek Minah dan kakek Samirin menjadi gaduh penanganan perkaranya bukan karena Jaksa atau Hakim telah salah menerapkan hukum, baik hukum pidana maupun hukum acaranya.

Jaksa Agung mengatakan kegaduhan tersebut terjadi karena telah terjadi pergeseran nilai-nilai rasa keadilan masyarakat, sehingga dalam kasus tersebut masyarakat menilai seseorang tidak pantas untuk diadili, bahkan dihukum atas kesalahan yang dilakukan.

“Disinilah kepekaan seorang Jaksa dibutuhkan dalam melakukan Penegakan hukum, agar tidak lagi hanya mengedepankan kepastian hukum dan keadilan semata, tetapi juga harus memberikan kemanfaatan bagi masyarakat,” ujar Jaksa Agung. (hms/ala)

TERKAIT Konsep Jaksa Ideal, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan harus selalu ingat bahwa gerak-gerik selaku penegak hukum selalu diawasi oleh masyarakat, dimana sebagai penegak hukum di era digital komunikasi bukan lagi masalah. Setiap orang memegang alat komunikasi, dan alat perekam baik suara ataupun video.

“Artinya apapun yang saudara lakukan akan tersebar luas ke masyarakat hanya dalam hitungan detik, dan ingat peradilan yang digelar di media sosial sangat kejam, karena disana tidak ada ruang klarifikasi. Oleh karena itu, saya ingatkan jaga moral dan integritas saudara. Karena hanya dengan menjaga 2 (dua) hal tersebut maka sikap dan perilaku saudara pasti akan terkendali,”ungkap Jaksa Agung

“Maka jaga moral dengan integritas yang tinggi agar tidak tercoreng dengan perbuatan tercela sekecil apapun, jangan sampai tergelincir dan menghancurkan kepercayaan publik kepada institusi kita,” ujar Jaksa Agung. 

Selanjutnya seorang Jaksa harus memiliki loyalitas, yaitu spirit untuk tetap menjaga kesetiaan yang positif kepada institusi, dengan prinsip dasar bahwa loyalitas tertinggi harus didedikasikan pada halhal yang diyakini sebagai kebenaran. Karena jika loyalitas benar-benar terpatri, maka terjadi satu kesatuan sikap positif di dalam institusi.

Jaksa Agung mengatakan, seorang jaksa juga dituntut untuk memiliki intelektual yang tinggi, sehingga mampu berpikir dan bertindak out of the box ketika menemui kendala yang ada, dan mampu membaca arah serta mengendalikan situasi. Termasuk dalam membaca alur perkara, sehingga tidak terjadi adanya penundaan sidang selain karena alasan teknis.

Selain itu terdapat satu sifat mutlak harus dimiliki oleh seorang Jaksa yaitu profesionalitas, dengan profesionalitas yang prima dalam bekerja, maka penegakan hukum yang saudara jalankan akan berhasil dan tidak menimbulkan kegaduhan, serta sinergitas dengan instansi terkait akan harmonis, tegas Jaksa Agung.  

Baca Juga :  Jaksa Menyapa

Contoh penegakan hukum yang tidak mencerminkan profesionalitas adalah kasus yang baru-baru ini terjadi di Kejaksaan Negeri Karawang. Dimana kegagalan memahami esensi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPenghapusan KDRT) telah mencederai rasa keadilan yang hidup di tengah masyarakat sehingga menimbulkan kegaduhan.

Kegaduhan yang terjadi dalam penanganan perkara tersebut setidaknya menunjukan bahwa para Jaksa pertama tidak tunduk dan patuhnya dalam memahami dan melaksanakan pedoman penanganan perkara yang diberikan oleh pimpinan, kedua tidak ada kepekaan hati nurani para Jaksa yang terlihat dari lamanya tuntutan yang dibacakan merupakan wujud dari mengabaikan rasa keadilan masyarakat dan ketiga tidak profesional, karena terlihat Jaksa telah gagal memahami filosofi dari UU-Penghapusan KDRT, yaitu melindungi kaum perempuan dan anak dari kekerasan dalam rumah tangga.

Oleh karenanya, Integritas, loyalitas, intelektualitas dan profesionalitas sudah sepatutnya menjadi standar minimum setiap jaksa. Kolaborasi sifat tersebut akan menjaga marwah institusi, dan melambungkan kepercayaan publik terhadap institusi kita.

“Dan perlu saya ingatkan, bahwa Saya tidak ragu menindak siapa saja yang melakukan perbuatan tercela atau mengkhianati institusi, termasuk jaksa baru sekalipun,” ujar Jaksa Agung. 

Mengenai Kemanfaatan Hukum, Jaksa Agung menyampaikan bahwa menuntut bukan hanya sebatas menghukum orang, namun berat-ringannya suatu hukuman harus berdasarkan rasa keadilan yang berkemanfaatan, dan berpangkal pada hati nurani.

Selain itu, pembuktian bukan hanya fokus kepada pelaku, tetapi juga fokus pada mendudukan barang bukti sesuai fakta persidangan. Sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menuntut terhadap orang dan barang bukti, dengan demikian penuntutan yang dilakukan benar-benar tuntas dan bermanfaat, serta keadilan yang ditegakan tidak menimbulkan permasalahan.

Baca Juga :  Tingkatkan Profesionalitas  dalam Tugas

“Saudara harus ingat, jangan tempatkan keadilan di Menara gading, karena hanya akan indah dilihat tetapi tidak bermanfaat sama sekali bagi masyarakat. Namun sebaliknya, penegakan hukum harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, karena hukum ada untuk menjawab kebutuhan masyarakat, sehingga apabila penegakan hukum dipandang tidak memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, maka itu sama dengan hukum telah kehilangan rohnya,” ujar Jaksa Agung. 

Perintah harian Jaksa Agung poin 2 pada peringatan HBA ke-61 jelas menyebutkan Gunakan hati nurani dalam setiap pelaksanaan tugas dan kewenangan. Perintah tersebut harus menjadi landasan berpikir seorang Adhyaksa agar penegakan hukum yang dilakukan bukan hanya memenuhi nilai kepastian untuk mencapai keadilan, namun juga kemanfaatan dari penerapan hukum itu sendiri untuk mencapai keadilan yang hakiki.

Kalau diperhatikan kasus-kasus seperti nenek Minah dan kakek Samirin menjadi gaduh penanganan perkaranya bukan karena Jaksa atau Hakim telah salah menerapkan hukum, baik hukum pidana maupun hukum acaranya.

Jaksa Agung mengatakan kegaduhan tersebut terjadi karena telah terjadi pergeseran nilai-nilai rasa keadilan masyarakat, sehingga dalam kasus tersebut masyarakat menilai seseorang tidak pantas untuk diadili, bahkan dihukum atas kesalahan yang dilakukan.

“Disinilah kepekaan seorang Jaksa dibutuhkan dalam melakukan Penegakan hukum, agar tidak lagi hanya mengedepankan kepastian hukum dan keadilan semata, tetapi juga harus memberikan kemanfaatan bagi masyarakat,” ujar Jaksa Agung. (hms/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/