SAMPIT – Saat matahari mencapai titik tertingginya pada siang hari Sabtu (31/5/2025), umat Khonghucu dari Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) berkumpul di tepian Sungai Mentaya, di wilayah Samuda, Kecamatan Mentaya Hilir Selatan (MHS).
Bukan untuk sekadar menggelar ritual, tetapi untuk menyelaraskan kembali diri mereka dengan alam dan Firman Tuhan, melalui Ibadah Sembahyang Besar Yue dalam rangka peringatan Duan Yang, yang dalam penanggalan Kongzili jatuh pada Go Gwee Ce Go 2576.

Ibadah Yue merupakan salah satu dari empat ibadah besar umat Khonghucu yang dilaksanakan setiap pergantian musim. Khusus ibadah musim panas yang disebut Yue, dilakukan saat Duan Yang. Yaitu ketika matahari memancarkan sinar paling ekstrimnya.
Ibadah dilaksanakan antara pukul 11.00 sampai 13.00 WIB, saat alam berada dalam kondisi paling kuat dan penuh energi.
Namun lebih dari fenomena alam, esensi ibadah ini adalah ungkapan eling dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar manusia senantiasa hidup membina diri dan menyelaraskan langkahnya dengan ajaran agama.
“Cahaya matahari di titik puncak adalah simbol kekuatan alam semesta yang ditata oleh Tuhan. Ibadah Yue mengingatkan kita agar tidak takabur dalam kuasa, tapi justru memperkuat rasa eling dan taqwa,” ujar Wenshi Suhardi, Pemuka Agama Khonghucu Sampit, kepada Kalteng Pos.
Ia menekankan bahwa dalam perspektif Khonghucu, alam semesta adalah wujud dari Firman Tuhan yang dapat dibaca dan direnungkan.
Ketika musim dan waktu berganti, manusia diajak untuk merenungi kembali posisinya dalam semesta: kecil, namun memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keharmonisan hidup.
Makna spiritual Duan Yang juga diperkuat dengan nilai sejarah dan budaya. Dalam tradisi Tionghoa, peringatan ini berkaitan dengan sosok Qu Yuan, seorang negarawan dan menteri besar yang setia pada negaranya.
Ketika terjadi pengkhianatan oleh pejabat yang memiliki kepentingan pribadi, negara tempat Qu Yuan mengabdi akhirnya hancur. Merasa gagal menjaga bangsanya, Qu Yuan memilih menyudahi hidup dengan menyeburkan diri ke Sungai Mi Luo.
“Kisah Qu Yuan adalah pelajaran tentang kesetiaan, tanggung jawab, dan keberanian moral. Ia adalah cerminan dari seseorang yang menjunjung kebenaran di atas kepentingan pribadi,” jelasnya.
Sebagai bentuk penghormatan, rakyat Tionghoa dahulu melakukan berbagai cara agar jasad Qu Yuan tidak dimakan ikan sungai, seperti melemparkan kue bakcang ke air.
Kue ini terbuat dari beras ketan dan diisi daging, telur, atau sayuran, dibungkus dengan daun bambu. Hingga kini, tradisi itu tetap dilakukan sebagai simbol penghormatan terhadap pengorbanan dan integritas.
Selain itu, ada pula tradisi mendirikan telur tepat pada pukul 12 siang. Fenomena ini diyakini dapat terjadi karena posisi matahari yang tegak lurus terhadap bumi, sehingga gaya gravitasi menciptakan keseimbangan yang memungkinkan telur berdiri.
“Tradisi seperti mendirikan telur atau membuat bakcang adalah sarana untuk mengingat nilai-nilai luhur. Tapi inti dari Duan Yang adalah refleksi moral: bagaimana kita, sebagai manusia, tetap setia dan jujur di tengah dunia yang berubah cepat,” lanjutnya.
Tak kalah penting adalah tradisi Pek Cun, yang berarti Seratus Perahu. Ini adalah bentuk upaya rakyat zaman dahulu mencari jasad Qu Yuan dengan menyusuri sungai menggunakan perahu.
Kini, tradisi ini hidup sebagai simbol kebersamaan dan gotong royong dalam membela kebenaran.
Wenshi Suhardi berharap agar generasi muda Khonghucu dan masyarakat luas tidak hanya melihat peringatan ini sebagai kebiasaan budaya, tetapi juga sebagai ruang pembelajaran spiritual.
Di tengah dunia yang makin kompleks, kata dia, ajaran tentang eling, taqwa, dan tanggung jawab moral justru semakin dibutuhkan.
“Bukan seremoni yang penting, tapi pesan yang kita bawa pulang dari momen ini. Duan Yang mengajarkan kita untuk tetap jujur, setia, dan menjaga keseimbangan hidup. Dalam terang yang paling tinggi, manusia seharusnya paling sadar akan kelemahannya di hadapan Tuhan,” pungkasnya. (mif/ram)