Pertunjukkan silat Dayak atau yang dikenal sebagai Lawang Sakepeng biasanya tampil dalam upacara adat penyambutan tamu dan pernikahan. Namun kemarin pagi (26/4/2025), pertunjukan ini hadir dalam nuansa berbeda. Lomba Lawang Sakepeng yang diselenggarakan dalam rangka Festival Palangka Raya 2025 mempertemukan para pemain dari berbagai komunitas seni se-Kota Palangka Raya.
ILHAM ROMADHONA, Palangka Raya
HALAMAN Kantor Pemerintah Kota Palangka Raya berubah menjadi panggung budaya yang meriah, Sabtu (26/4/2025). Dentuman gendang manca dan tabuhan gerantung atau gong berpadu dalam harmoni, menjadi penggiring dari setiap gerakan yang dipertunjukkan oleh penari. Alunan nada itu juga bak menyambut masyarakat yang berkumpul penuh antusias. Di antara mereka, berdiri sebuah gapura kayu berukuran 1,5 meter lebar dan 2,3 meter tinggi. Di sinilah tradisi Lawang Sakepeng digelar—sebuah pertunjukan yang memadukan seni bela diri dan tarian tradisional Dayak.
Di tengah gapura, dua orang berdiri saling berhadapan. Mereka bukanlah lawan yang bertikai, melainkan mitra yang sedang menjalin dialog melalui gerak. Dibatasi tiga utas benang yang terbentang, tiap langkah mereka penuh makna—memutar, menghindar, menyerang dengan ritme, namun tanpa niat melukai.
Gerakan mereka meminjam dari silat, namun tidak kehilangan kelembutan tari. Unsur Tari Kinyah dan Tari Perang menjelma dalam setiap gerak—menggambarkan keberanian, kehormatan, dan keluwesan. Gendang manca mengatur irama langkah, sementara gerantung atau gong menjadi penentu suasana, seolah menyatu dalam setiap hembusan napas para penari.
Tiga utas benang bukan sekadar pemisah ruang. Masing-masing memiliki filosofi mendalam. Tali pertama adalah simbol penghalang atau putusnya segala marabahaya dalam hidup dan keluarga. Tali kedua menggambarkan terputusnya hubungan buruk antara pasangan. Dan tali ketiga, menjadi lambang pemutus sesuatu yang berhubungan dengan maut dan mengangkat harkat martabat orang Dayak.
“Setiap tali memiliki filosofi tersendiri. Inilah yang membuat Lawang Sakepeng begitu sakral dan unik,” terang Roni, salah satu juri lomba, saat ditemui di lokasi kegiatan.
Bukan hanya kekuatan fisik yang dinilai. Nilai etika, sopan santun, keluwesan gerak, hingga stamina menjadi bagian penting dalam penilaian. “Lawang Sakepeng ini seperti perang batin. Gerakannya harus jelas, bukan asal indah. Setiap langkah punya arti,” tambah Roni.
Para peserta lomba berasal dari berbagai kecamatan, mewakili sanggar dan komunitas seni. Mereka berkompetisi dalam dua kategori: putra dan putri.
Salah satu peserta, Erika dari Kecamatan Rakumpit, bersama rekannya Johanna, mengikuti lomba ini untuk pertama kalinya. Meski baru dalam kompetisi, mereka sudah cukup akrab dengan Lawang Sakepeng lewat peran mereka dalam berbagai upacara adat.
“Buat kami, ini jadi pengalaman berharga. Di acara adat kami sering tampil, tapi ikut lomba seperti ini tentu beda rasanya,” ujar Erika dari Sanggar Seni Budaya Tunjung Nyaho.
Erika menyimpan tekad untuk mengenal lebih jauh ragam seni dan budaya di Bumi Tambun Bungai. Alam Kalimantan Tengah yang kaya akan tradisi menjadi ladang pengalaman yang ingin ia jelajahi.
“Kalau ada festival seperti ini lagi, pasti kami ikut. Ini bukan soal menang atau kalah, tapi soal menjaga warisan leluhur,” tutupnya.(*)