MENINGKATNYA budaya terapi daring mengubah cara Gen Z memahami Kesehatan Mental, Algoritma TikTok mendorong konten terkait yang menarik perhatian pengguna, memberikan manfaat sekaligus risiko dalam memahami kondisi psikologis.
Terapi TikTok merujuk pada tren berbagi pengalaman dan informasi seputar kesehatan mental di platform tersebut. Banyak kreator membahas topik psikologis, tetapi tidak semuanya memiliki latar belakang profesional.
Pemahaman yang benar tentang fenomena ini dapat membantu membedakan antara informasi bermanfaat dan misinformasi.
Kesadaran terhadap dampaknya dapat mengarahkan pengguna pada sumber terpercaya.
Dilansir dari pafisimalungunkab.org, berikut terapi tiktok tentang tren Gen Z dalam kesehatan mental dan risiko algoritma dilansir dari laman Psychologytoday oleh JawaPos.com, Minggu (23/3).
1. Algoritma dan Paparan Konten
TikTok menyajikan video berdasarkan interaksi pengguna, termasuk konten kesehatan mental. Hal ini menciptakan pengalaman yang dipersonalisasi tetapi juga bisa memperkuat bias.
Bagi Gen Z, eksposur berulang dapat membentuk persepsi yang tidak selalu akurat terhadap kondisi psikologis. Video yang banyak ditonton cenderung muncul lebih sering di beranda, membuat pengguna semakin terpapar pada informasi serupa.
Konten ini, menurut artikel dari laman pafisamosirkab.org, bisa memberikan pemahaman awal, tetapi juga berpotensi menciptakan asumsi yang salah. Tanpa penyaringan yang tepat, paparan konten ini dapat mengarahkan pengguna pada informasi yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
2. Diagnosis Diri yang Keliru
Banyak video membahas gejala gangguan seperti ADHD atau OCD dengan cara yang terlalu sederhana. Pengguna bisa salah mengartikan emosi biasa sebagai tanda penyakit serius, sehingga menunda konsultasi profesional yang sebenarnya diperlukan.
Penggambaran kondisi mental secara singkat seringkali mengabaikan kompleksitas diagnosis klinis. Hal ini dapat membuat seseorang merasa memiliki gangguan tertentu hanya berdasarkan kesamaan gejala yang disajikan dalam video pendek.
Kesalahan diagnosis dapat berujung pada pengobatan mandiri yang tidak tepat dan memperburuk kondisi yang ada. Tanpa pemahaman dari ahli, risiko salah kaprah mengenai kesehatan mental semakin meningkat.
3. Normalisasi vs. Penyederhanaan Berlebihan
Diskusi kesehatan mental semakin terbuka di media sosial, tetapi banyak konten kehilangan konteks klinisnya. Emosi sementara seperti sedih setelah perpisahan sering dikaitkan dengan gangguan psikologis, yang dapat mengarah pada pemahaman yang keliru.
Normalisasi pembicaraan tentang kesehatan mental memang penting untuk mengurangi stigma, tetapi penyederhanaan berlebihan bisa berbahaya. Gejala yang digambarkan tanpa penjelasan yang memadai membuat banyak pengguna menganggap perasaan normal sebagai penyakit serius.
Akibatnya, banyak yang merasa harus mencari solusi instan tanpa memahami akar permasalahannya. Fenomena ini berisiko membuat seseorang mengabaikan tanda-tanda gangguan yang lebih kompleks dan memerlukan penanganan profesional.
4. Validasi dari Media Sosial
Sistem like dan komentar di TikTok memperkuat perilaku diagnosis diri. Umpan balik positif dari komunitas bisa memberikan dukungan emosional, tetapi tanpa wawasan profesional, hal ini bisa memperburuk kecemasan atau ketakutan pengguna.
Banyak pengguna merasa lebih dipahami ketika mendapat respons dari orang lain dengan pengalaman serupa. Validasi ini membuat seseorang semakin yakin bahwa diagnosis dirinya benar, meskipun belum diverifikasi oleh tenaga medis.
Semakin banyak interaksi dalam video semacam ini, semakin besar kemungkinan konten serupa akan terus muncul. Hal ini menciptakan lingkaran umpan balik yang memperkuat keyakinan seseorang tanpa adanya pengecekan terhadap kebenarannya.
5. Risiko Misinformasi
Penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 83% saran kesehatan mental di TikTok tidak akurat. Kesalahan dalam menafsirkan gejala dapat menyebabkan pengobatan yang tidak sesuai atau menunda penanganan medis yang lebih tepat.
Informasi yang menyesatkan ini sering kali dibagikan tanpa sumber terpercaya atau bukti ilmiah yang jelas. Banyak pengguna menerima informasi ini tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut, sehingga berisiko mengambil keputusan yang salah.
Beberapa video hanya menampilkan pengalaman pribadi, bukan berdasarkan kajian medis yang komprehensif. Tanpa kesadaran akan resiko ini, pengguna dapat lebih rentan terhadap pengaruh konten yang tidak kredibel.
6. Manfaat Kesadaran dan Komunitas
Meskipun ada resiko, TikTok juga memperkenalkan konsep kesehatan mental kepada banyak orang. Komunitas yang terbentuk bisa memberikan solidaritas dan advokasi terhadap akses perawatan yang lebih baik.
Banyak pengguna merasa lebih nyaman berbicara tentang kesehatan mental karena melihat orang lain terbuka mengenai pengalaman mereka. Kesadaran ini dapat membantu mengurangi stigma terhadap gangguan mental yang sebelumnya dianggap tabu.
Jaringan dukungan sebaya juga bisa menjadi tempat berbagi pengalaman bagi mereka yang belum siap mencari bantuan profesional. Namun, penting untuk memastikan bahwa informasi yang diterima berasal dari sumber yang valid dan bukan sekadar opini pribadi.
7. Pentingnya Literasi Digital
Memahami sumber informasi dan memverifikasi kredibilitasnya menjadi langkah utama dalam menangkal misinformasi. Dukungan dari profesional kesehatan mental dan kebijakan platform dalam menandai konten yang tidak valid dapat membantu pengguna mendapatkan informasi yang lebih akurat.
Mengajarkan cara memilah konten dapat membantu pengguna lebih kritis dalam menilai kebenaran informasi yang beredar. Diskusi dengan ahli dapat memberikan perspektif yang lebih jelas mengenai kondisi kesehatan mental.
Orang tua dan pendidik juga berperan dalam mengajarkan penggunaan media sosial yang lebih bijak. Dengan pemahaman yang lebih baik, pengguna dapat memanfaatkan informasi yang tersedia dengan lebih bertanggung jawab.
Tren terapi daring membawa peluang sekaligus tantangan dalam memahami kesehatan mental. Kesadaran terhadap risiko algoritma serta pentingnya literasi digital dapat membantu Gen Z mengakses informasi yang lebih valid dan mendapatkan dukungan yang lebih tepat. (*)