Selasa, Juni 3, 2025
25.1 C
Palangkaraya

Mardiana, Lansia Juara I Lomba Manjawet Uwei di FBIM 2025

Tradisi Dayak Hampir Punah, Tapi Nenek Ini Tak Kenal Lelah Jaga Warisan Budaya!

Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) 2025 baru saja selesai digelar. Meninggalkan jejak warna-warni budaya yang begitu dalam di hati masyarakat Kalimantan Tengah (Kalteng). Lebih dari sekadar ajang perlombaan, festival ini menjadi panggung hidup untuk menjaga dan melestarikan kekayaan kesenian serta tradisi yang sudah turun-temurun.

 NOVIA NADYA, Palangka Raya

 SALAH satu momen paling menarik datang dari perlombaan manjawet uwei, atau dalam bahasa Indonesia berarti menganyam rotan. Perlombaan ini bukan semata soal keindahan kerajinan tangan, tetapi juga simbol ketekunan dan kreativitas yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di tengah keramaian peserta, sosok Mardiana dari Palangka Raya mencuri perhatian juri dan penonton. Dengan ketelitian dan keahlian luar biasa, ia menyulap rotan menjadi karya memukau, membawa pulang juara pertama sekaligus mengharumkan nama kota kelahirannya.

Pada usia 67 tahun, Mardiana bukan hanya datang untuk ikut berlomba. Ia mengusung misi mengenalkan dan menjaga warisan budaya. Di pangkuannya, sehelai demi sehelai rotan berubah menjadi motif-motif sakral Dayak, membawa Palangka Raya meraih juara pertama dalam lomba manjawet uwei dan membawa kita kembali pada makna suatu tradisi.

Di sudut belakang Museum Balanga, Mardiana duduk bersila di atas lantai. Ia tampak tenang meski berada di tengah keramaian. Tangannya cekatan. Jemarinya lincah menari di antara bilah-bilah rotan yang kering. Di balik tubuhnya yang renta, ada semangat yang tak lekang. Ia tidak sedang berlomba untuk menang, ia sedang menjaga sesuatu yang lebih besar, yakni warisan.

Baca Juga :  Dishub Jemput Warga Disabilitas Ikuti Vaksinasi

Meski usianya sudah lebih dari setengah abad, warga Petuk Katimpun itu datang membawa lebih dari sekadar rotan dan keahlian. Ia membawa serta cerita, ketekunan, dan suatu budaya yang kini kian sepi peminat. Menjawet uwei, seni menganyam rotan yang telah diwarisi masyarakat Dayak sejak zaman dahulu.

Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) 2025 menjadikan lomba manjawet uwei sebagai bagian dari perayaan rangkaian hari ulang tahun (HUT) ke 68 Provinsi Kalteng. Peserta dari berbagai kabupaten/kota berkumpul, memperlihatkan keindahan budaya lewat karya tangan mereka. Namun, Mardiana bukan hanya mencuri perhatian karena usia atau pengalamannya, tetapi karena kesungguhan, ketelitian, dan cinta yang tampak dalam tiap helai rotan yang dirajutnya.

“Saya sudah biasa menganyam sejak kecil. Pulang sekolah langsung pegang rotan,” katanya sambil tetap bekerja, membentuk motif banjang balanga dan kawit tuyang yang rumit. Tangannya tak pernah diam, meski sesekali ia menebar senyum atau menyapa penonton yang mendekat.

Anyaman yang selama ini ia hasilkan bukan sekadar kerajinan. Ada makna dalam tiap motif yang dirajutnya. Misalnya, ada sejarah dan filosofi di balik gambar guci, tombak, bunga, maupun kapal. Tiap garis rotan membentuk kisah, dan tiap simpulnya mengikat kenangan akan masa lalu yang tak boleh hilang.

Baca Juga :  Pegiat Seni Bergairah Kembali Pascapandemi

“Menganyam itu seperti melukis, tetapi medianya rotan, dan hati kita harus ikut,” ucapnya pelan.

Di rumahnya, bersama sang kakak, Mardiana menganyam untuk menyambung hidup. Pesanan datang bergantung permintaan motif. Yang termurah biasanya dijual 50 ribu rupiah, yang termahal bisa mencapai 2 juta rupiah jika motifnya rumit dan pengerjaannya butuh waktu berbulan-bulan. Akan tetapi, bukan keuntungan yang ia kejar, melainkan keberlanjutan. Sayangnya, dari keluarganya sendiri, tak satu pun anak cucu yang tertarik untuk meneruskan.

“Mereka tahu dasar anyaman, tetapi yang bermotif belum bisa. Padahal saya ingin sekali mengajarkan. Kalau ada yang mau belajar, saya ajari dengan senang hati,” tuturnya.

Menurutnya, keterampilan ini tidak bisa diajarkan dengan paksa.

“Kalau tidak dari keinginan hati, tidak akan bisa. Namun, kalau seseorang punya rasa ingin tahu hanya dengan melihat, biasanya cepat bisa,” ungkapnya.

Ia berharap pemerintah tidak hanya mengadakan lomba, tetapi juga memikirkan pelatihan kepada generasi muda. Menurutnya, warisan budaya ini harus dikenalkan sejak dini kepada kaum muda.

“Selagi saya masih ada, saya mau berbagi ilmu,” katanya mantap.

Namun ada hambatan lain yang menjadi keluhannya, yakni bahan baku.

“Di Palangka Raya susah dapat rotan. Biasanya harus nunggu kiriman dari desa-desa,” keluhnya.

Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) 2025 baru saja selesai digelar. Meninggalkan jejak warna-warni budaya yang begitu dalam di hati masyarakat Kalimantan Tengah (Kalteng). Lebih dari sekadar ajang perlombaan, festival ini menjadi panggung hidup untuk menjaga dan melestarikan kekayaan kesenian serta tradisi yang sudah turun-temurun.

 NOVIA NADYA, Palangka Raya

 SALAH satu momen paling menarik datang dari perlombaan manjawet uwei, atau dalam bahasa Indonesia berarti menganyam rotan. Perlombaan ini bukan semata soal keindahan kerajinan tangan, tetapi juga simbol ketekunan dan kreativitas yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di tengah keramaian peserta, sosok Mardiana dari Palangka Raya mencuri perhatian juri dan penonton. Dengan ketelitian dan keahlian luar biasa, ia menyulap rotan menjadi karya memukau, membawa pulang juara pertama sekaligus mengharumkan nama kota kelahirannya.

Pada usia 67 tahun, Mardiana bukan hanya datang untuk ikut berlomba. Ia mengusung misi mengenalkan dan menjaga warisan budaya. Di pangkuannya, sehelai demi sehelai rotan berubah menjadi motif-motif sakral Dayak, membawa Palangka Raya meraih juara pertama dalam lomba manjawet uwei dan membawa kita kembali pada makna suatu tradisi.

Di sudut belakang Museum Balanga, Mardiana duduk bersila di atas lantai. Ia tampak tenang meski berada di tengah keramaian. Tangannya cekatan. Jemarinya lincah menari di antara bilah-bilah rotan yang kering. Di balik tubuhnya yang renta, ada semangat yang tak lekang. Ia tidak sedang berlomba untuk menang, ia sedang menjaga sesuatu yang lebih besar, yakni warisan.

Baca Juga :  Dishub Jemput Warga Disabilitas Ikuti Vaksinasi

Meski usianya sudah lebih dari setengah abad, warga Petuk Katimpun itu datang membawa lebih dari sekadar rotan dan keahlian. Ia membawa serta cerita, ketekunan, dan suatu budaya yang kini kian sepi peminat. Menjawet uwei, seni menganyam rotan yang telah diwarisi masyarakat Dayak sejak zaman dahulu.

Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) 2025 menjadikan lomba manjawet uwei sebagai bagian dari perayaan rangkaian hari ulang tahun (HUT) ke 68 Provinsi Kalteng. Peserta dari berbagai kabupaten/kota berkumpul, memperlihatkan keindahan budaya lewat karya tangan mereka. Namun, Mardiana bukan hanya mencuri perhatian karena usia atau pengalamannya, tetapi karena kesungguhan, ketelitian, dan cinta yang tampak dalam tiap helai rotan yang dirajutnya.

“Saya sudah biasa menganyam sejak kecil. Pulang sekolah langsung pegang rotan,” katanya sambil tetap bekerja, membentuk motif banjang balanga dan kawit tuyang yang rumit. Tangannya tak pernah diam, meski sesekali ia menebar senyum atau menyapa penonton yang mendekat.

Anyaman yang selama ini ia hasilkan bukan sekadar kerajinan. Ada makna dalam tiap motif yang dirajutnya. Misalnya, ada sejarah dan filosofi di balik gambar guci, tombak, bunga, maupun kapal. Tiap garis rotan membentuk kisah, dan tiap simpulnya mengikat kenangan akan masa lalu yang tak boleh hilang.

Baca Juga :  Pegiat Seni Bergairah Kembali Pascapandemi

“Menganyam itu seperti melukis, tetapi medianya rotan, dan hati kita harus ikut,” ucapnya pelan.

Di rumahnya, bersama sang kakak, Mardiana menganyam untuk menyambung hidup. Pesanan datang bergantung permintaan motif. Yang termurah biasanya dijual 50 ribu rupiah, yang termahal bisa mencapai 2 juta rupiah jika motifnya rumit dan pengerjaannya butuh waktu berbulan-bulan. Akan tetapi, bukan keuntungan yang ia kejar, melainkan keberlanjutan. Sayangnya, dari keluarganya sendiri, tak satu pun anak cucu yang tertarik untuk meneruskan.

“Mereka tahu dasar anyaman, tetapi yang bermotif belum bisa. Padahal saya ingin sekali mengajarkan. Kalau ada yang mau belajar, saya ajari dengan senang hati,” tuturnya.

Menurutnya, keterampilan ini tidak bisa diajarkan dengan paksa.

“Kalau tidak dari keinginan hati, tidak akan bisa. Namun, kalau seseorang punya rasa ingin tahu hanya dengan melihat, biasanya cepat bisa,” ungkapnya.

Ia berharap pemerintah tidak hanya mengadakan lomba, tetapi juga memikirkan pelatihan kepada generasi muda. Menurutnya, warisan budaya ini harus dikenalkan sejak dini kepada kaum muda.

“Selagi saya masih ada, saya mau berbagi ilmu,” katanya mantap.

Namun ada hambatan lain yang menjadi keluhannya, yakni bahan baku.

“Di Palangka Raya susah dapat rotan. Biasanya harus nunggu kiriman dari desa-desa,” keluhnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/